Senin, Desember 28, 2009
Heart Block : Biarkan Cinta Menemukanmu, a (new) Novel by Okke SepatuMerah
Mari kita tutup tahun ini dengan memberikan applause sebesar-besarnya buat pendiri (jiah, pendiri!), Lajang dan Menikah, Okke SepatuMerah atas diterbitkannya buku ke 7 (tujuh aja!) di penghujung tahun ini.
Iya, setelah bolak balik edit dan bolak balik mikirin cover buku, akhirnya Heart Block : Biarkan Cinta Menemukanmu terbitan GagasMedia, bisa dinikmati semua pecinta buku di Indonesia (iya, maksudnya kamu!).
Bercerita tentang Genta dan Senja, keduanya pekerja seni yang dituntut selalu berkreasi dengan tampungan ide yang diharapkan tidak pernah habis. Tapi apa daya, yang namanya stuck dengan ide itu toh selalu menghantui mereka yang berkecimpung di bidang kreatif seperti ini.
Gaya bercerita Okke yang mengalir apa adanya dengan celetukan khas, menambah serunya cerita ini. Pemilihan nama tokoh, lokasi cerita dan bumbu sana sini membuat novel ini bisa dibilang, terlalu bagus untuk dilewatkan.
Dan Sitta Karina bilang,
Writers’ block memang bisa menimpa semua penulis—bahkan tekanannya cukup membuat traumatis bagi sebagian orang. Namun dengan menikmati kisah pontang-panting Senja di buku ini, semoga dapat menjadi hiburan dan pembelajaran informal yang bagi para penikmat buku: pembaca, penulis, maupun penulis aspiratif!
(Sitta Karina, novelis, kontributor Cerpen CosmoGirl! Indonesia)
Kalau saya bilang,
BELI GIH !
Minggu, Desember 27, 2009
Celoteh Bocah : Kado Santa
Saya : Hugo dan Yves mau kado natal apa dari Santa Claus?
Yves : Nggak ada kemiskinan di dunia ini!
Hugo : Saya mau ketemu Yesus. Dan saya mau minta supaya nggak ada peperangan lagi di dunia ini.
Halo dunia, kalian dengar apa yang diinginkan anak-anak seperti Yves, Hugo dan mungkin anak-anak lain di dunia?
Selamat Natal Buat yang merayakannya. :)
Sabtu, Desember 19, 2009
Celoteh Bocah : Sehat apa Nggak Sehat?
Rama : Mah, katanya sifat kita itu turunan orang tua ya?
Mama : Iya, lah. Kalau orangtuanya pintar, anaknya juga pintar.
Rama : Kalo adek suka nungging-nungging itu turunan siapa ma? Papa apa Mama?
Celoteh 2
Kartini (bukan nama sebenarnya, 4 SD) : Aku suka sama kamu. Kamu mau gak, jadi pacar aku?
Rama: (berpikir...) Hm.. boleh, tapi ada syaratnya
Kartini : Apa syaratnya?
Rama : Bayar, dulu, lima belas ribu!
Kartini membayarnya, dan beberapa minggu kemudian meminta putus dan meminta uangnya kembali (yang sudah habis dipakai Rama jajan)
Celoteh 3
Yusuf (1 SMP) : Ma, kok burung Ucup sekarang suka berdiri kalo lihat cewek?
Mama : Ga papa, itu berarti sehat..
Rama : Adek kok enggak Ma? Adek ga sehat, dong?
Mama langsung minta bantuan Papa.
Rama adalah adiknya, kelas 6 SD
Dan, bakal ngerayain ulangtahun ke 11 tanggal 21 Desember nanti
Yusuf juga adiknya, berumur 13 tahun, kelas 1 SMP
Foto di atas adalah foto Rama.
Sabtu, Desember 12, 2009
Celoteh Bocah Project
Mama : Biyan, besok ulang tahun ya?
Biyan: Nggak, besok Biyan ulangan IPA.
Pashatama dan Biyan (2 tahun-an), jelang ulang tahun.
Gara-gara sering banget denger celoteh lucu bocah-bocah, lajang dan menikah bikin semacam project baru nih, idenya sih rada-rada dari nguping jakarta, tapi kalo di lajang dan menikah, jadi nguping celoteh bocah.
Semua pembaca lajang dan menikah boleh ikutan!
Caranya, kalau misalnya kebetulan anda mendengar anak-anak anda atau keponakan anda, atau anak-anak teman anda mengatakan sesuatu yang lucu/ kocak/ sweet, kalian bisa mengirim e-mail ke lajangdanmenikah@gmail.com, sertakan nama pengirim (dan blognya kalau ada), nama dan umur sang bocah. Kalau mau masukin foto anaknya juga boleh. :) Umur bocah sampai kurang lebih kelas 6 SD ya, lewat dari situ soalnya udah pra-remaja. Oh iya, jangan lupa tulis : Celoteh Bocah di subject e-mailnya ya.
Celoteh bocah ini bakal ditampilkan setiap Sabtu, di blog ini. :)
Ditunggu ya...
And this one is funny. :D
Senin, November 30, 2009
Cerita Kiriman : Manajemen Mantan Pacar
Sekarang sih saya sudah berhasil melewati fase sulit itu, dan sudah berada dalam fase "bisa menertawakan" kebodohan yang saya lakukan dulu waktu pacaran. Tapi kalau disuruh memilih kembali, sebagaimana saya ingin bagi kepada sesama wanita, terutama yang masih lajang dan terutama sekali yang belum punya pacar, saya akan lebih memilih untuk tidak tahu sama sekali tentang:
1. Siapa saja nama mantan-mantannya
2. Seperti apa penampakkan mantan-mantannya
3. Apa saja yang mereka lakukan dulu
Saya berpikir mungkin secara tidak sadar kebanyakan wanita adalah makhluk yang gemar berkompetisi untuk selalu jadi yang nomor satu di hati pasangan, namun sekaligus mudah merasa tidak aman. Nah, karena pengen selalu jadi yang nomor satu itulah maka kadang wanita suka penasaran "Seperti apa sih orang yang pernah jadi ratu di hati pasangan kita?". Beranjak dari situ, pertanyaannya biasanya jadi lebih kreatif: "Dulu putusnya kenapa ya?" atau "Masih cinta nggak ya sama dia", dan lain sebagainya.
Selesai?
Tergantung orangnya. Repotnya kalau si wanita punya sifat bawaan seperti saya: Ahli sejarah sejati yang bisa mengingat detil setiap peristiwa, detil setiap perkataan, detil waktu kejadian, dan kemudian saya cari hubungan sebab dan akibatnya secara logis. Hehe, mungkin kalau saya benar-benar jadi ahli sejarah, karir saya bisa melejit. Sayangnya, saya mempergunakan bakat saya itu untuk sesuatu yang salah: saya menjadi terobsesi sekali sama salah satu mantan pacar suami saya dulu, setelah suami saya (dulu pacar) cerita detil tentang mantannya.
Saya sendiri nggak tahu kenapa awalnya saya bertanya duluan tentang mantan pacarnya. Mungkin sekali karena saya cemburu dan saya merasa nggak aman.
Nggak aman kenapa? karena pasangan saya termasuk kategori pria yang baik hati yang selalu ramah kepada setiap orang, termasuk kepada mantan-mantan pacarnya yang pada saat itu masih sering telepon-telepon suami saya. Setelah suami saya jawab dengan jujur dan detil tentang mantannya dan apa saja yang mereka lakukan dulu, bukannya saya menghargai kejujurannya dengan mengakhiri saja topik tentang mantan, eh malah saya kelimpungan nggak bisa terima dosa-dosa masa lalu mereka. Waktu itu saya bener-bener nggak siap mendengar cerita masa lalu yang seburuk itu. Saya nggak menyangka perbuatan mereka dulu hina sekali.
Antara cinta banget sama suami (waktu itu masih pacar) dan benci setelah mendengar cerita itu, saya jadi suka kepikiran sendiri. Endingnya, karena saya terlalu mencintai suami saya, jadinya saya malah benci banget sama mantannya. No mater what, pokoknya benci!
Setelah itu saya melewati hari-hari nggak menyenangkan karena selalu curiga sama suami (waktu itu masih pacar), termasuk jadi suka cek-cek HP nya yang ujungnya malah membuat dia makin nggak nyaman ada di dekat saya karena bawaannya saya pengen marah-marah melulu. Akhirnya? Mantannya yang emang masih ngebet BUANGET sama suami jadi sempet deket lagi!! Duuuhhh, mau mati nggak sih looo... Makin jauh aja saya dan pasangan secara emosional walaupun berstatus pacar.
Tapi mungkin karena kami memang berjodoh, akhirnya saya dan suami (waktu itu masih pacar) jadi menikah. Sebelum menikah kami sepakat untuk benar-benar tutup buku masa lalu kami. Dan feeling saya sih mengatakan kalau suami saya benar-benar jujur dan tulus mencintai saya.
Meskipun Alhamdulillah berakhir bahagia, tapi untuk melupakan masa lalu suami, saya butuh 2-3 tahun lamanya setelah menikah. Apalagi kalau mau berintim-intim sama suami, jadi kepikiran mereka berdua. Nggak banget kan ya? Tapi saya belajar, kalau saya percaya diri, maksudnya percaya kalau suami benar-benar cinta sama saya seorang, maka sikap saya kepada suami akan lebih hangat. Dan itu terbukti! Itu membuat suami makin betah di rumah, makin perhatian sama saya. Akhirnya memperkuat cinta kami.
Skemanya begini:
Kita pede bahwa pasangan cuma cinta ke kita seorang ---> bawaannya jadi nggak curigaan ke pasangan dan nggak pengen ngecek-ngecek HP atau FB atau e-mail ---> sikap kita jadi lebih hangat ke pasangan ---> Pasangan merasa nyaman sama kita
Makanya, untuk para wanita, terutama yang masih lajang, saya sih menyarankan dua hal:
1. Nggak perlu tahu deh masa lalu pasangan. BIG SWEAR: Nggak perlu!
2. Satu lagi, please repeat after me: PEDE aja lagi!!
Sekarang kalo inget dulu saya pernah stres setengah mati gara-gara cerita masa lalu itu, saya suka geli sendiri, kenapa saya dulu begitu nggak percaya diri sampai-sampai butuh cerita detil tentang suamu dan mantannya. Hiihihi.
Sumber gambar : gettyimages.com
Jumat, November 20, 2009
Bukan Mahmud K
Satu yang bikin saya nggak sreg adalah, Tanti itu, dia doyan banget belanja! Ya ampun! Dan bukan belanja di pusat grosir (seperti saya! haha), tapi di gerai barang ber-merk di mall. Duh, dia ini semacam Mahmud K. Mamah Muda Kaya. High Maintenance habis. Kadang-kadang saya berpikir, jangan-jangan Tanti punya pohon duit di rumahnya. Tapi ya sudah-lah, saya maklum, menurutnya ia bekerja di perusahaan multinasional, pemasukannya pasti gede banget --- dimerger dengan penghasilan suaminya, yang juga sama-sama bekerja di perusahaan besar. Cocok sudah. Untung ia kadang-kadang menurunkan standar-nya, saat nongkrong dengan saya. Kadang-kadang, dia juga menraktir saya ('kadang-kadang' yang terakhir ini, selalu membuat saya senang!)
Cuma dengan kehidupan yang serbeberkelimpahan tersebut, ia masih juga mengeluh. Kadang-kadang bosan juga sih mendengarnya --- karena ia selalu mengulang keluhan yang sama. Katanya enak banget saya masih lajang.
Ada kali sejuta kali ia mengatakan betapa enaknya jadi saya yang masih lajang ini. Oke, salah, saya hiperbola, dia baru 999.999 x kok mengeluh demikian. Menurutnya, kalau masih lajang, saya tidak harus memikirkan pengeluaran-pengeluaran rumah tangga, macamnya bayar listrik, bayar air, belanja keperluan keluarga, tagihan ini dan tagihan itu. Endeswey, endeskoy. Jadi lajang, pemasukan yang buat diri sendiri.
Saya sih percaya bahwa dalam setiap fase kehidupan itu ada enaknya ada enggaknya. Jadi lajang itu, selain enak karena pemasukan hanya buat diri sendiri, ada kok, yang nggak enaknya : ditanya kapan kawin eh nikah, tuh satu contoh.
Terus...
terus....
eh, bentar-bentar. Apa lagi yang nggak enaknya jadi lajang? Kok saya nggak nemu ya? :D
Anyway, ya gitu deh, Tanti bolak-balik mengeluhkan tentang banyaknya pengeluaran yang harus dihabiskan untuk keluarga. "Aduh, susah deh itu, yang namanya belanja buat nyeneng-nyenengin diri sendiri..." cetusnya.
Saya meledek, sambil menunjuk BlackBerry Javelin-nya, laptop SONY Vaio VGN-TT46GG merahnya, sepatunya yang keluaran Christian Louboutin.
"Susah ya, Neik, belanja buat nyeneng-nyenengin diri sendiri?"
Dan ia pun membalas sambil tersenyum malu.
Well. Saya percaya bahwa setiap pilihan pasti ada risiko-nya. Dengan menikah, artinya seseorang itu ya dengan sadar memilih untuk hidup tidak sendiri; berbagi suka-duka-tanggung jawab-kewajiban dan lain-lain. Kalau seseorang secara sadar memilih untuk menikah, sudah tentu siap dong sama risiko untuk 'membagi' hidup-nya dengan pasangan dan anak - kalau sudah punya, termasuk urusan finansial. Tul nggak?
Dan, enak-nggak enak itu sebenarnya masalah bersyukur saja sih. (Ya ampun, terdengar sangat relijius sekali si saya ini!)
....
Sudah empat bulan ini, saya tidak pernah mendengar keluhan Tanti. Bukan karena ia sudah berhenti mengeluh, ini karena tiba-tiba ia menghilang tak tentu rimbanya. Entah kenapa. Tidak pernah datang di kelas yoga. Dihubungi via handphone-nya, eh nggak aktif.
Sampai dua minggu yang lalu, mendadak ada sebuah nomor asing menghubungi saya. Ternyata itu nomor barunya. Ia bilang ia punya masalah; dan ingin bertemu dengan saya. Agak khawatir juga mendengar suaranya yang terdengar sangat sedih. Kami pun mengatur jadwal pertemuan; hari Jumat dua minggu yang lalu, dinner di sebua resto. Saya agak heran dengan penampilannya yang tidak sekinclong biasanya.
Sambil menikmati makan malam kami, ia pun menceritakan masalahnya. Katanya rumahnya akan disita sebentar lagi.
Eh lho? Kok Mahmud K sepertinya bisa bermasalah seperti ini ya? Saya mendengarkan ceritanya dengan seksama. Sambil menangis, ia menceritakan permasalahannya. Katanya suaminya diajak berbisnis oleh seorang perempuan cantik. Untuk modal, sang suami meminjam dari bank, dengan agunan sertifikat rumah. Lalu cerita belum berhenti sampai sana, akhirnya suaminya terpikat pada perempuan tersebut, berpacaranlah mereka. Suaminya menggunakan kartu kredit untuk membiayai kencan-kencan mereka sampai over limit. Lalu empat bulan kemudian, si perempuan ini kabur tak tentu rimbanya, meninggalkan hutang untuk keluarga Tanti. Gara-gara itu mereka sibuk menjual-jual seluruh aset berharga yang mereka miliki untuk melepaskan belitan maut hutang-hutang tersebut. Duh, ribet ya book. Pokoknya gitu deh ceritanya sepenangkapan saya, saya sih nggak mengerti soal hutang-hutangan.
Elahdhalah.Saya pikir cerita seperti ini cuma ada di sinetron. Lho kok ya ada di dunia nyata. Yang mengalami ada di depan saya pula!
Maksud ia bertemu dengan saya adalah untuk meminjam uang. Bukan untuk membayar hutang, tapi untuk biaya hidup mereka sehari-hari.
Miris saya mendengarnya. Jumlah yang ia pinjam memang tidak seberapa... eh lumayan seberapa deng buat saya, tapi kalau dibandingkan dengan jumlah hutangnya ke bank ya emang nggak seberapa.
Akhirnya, hari itu, saya meminjamkan sejumlah uang padanya. Saya bilang lunasi kalau memang dia bisa, boleh dicicil. Pusing lah ya bo, kalau saya juga memaksanya untuk membayar dengan tenggat waktu tertentu. Nggak apa-apa lah, biar nggak seberapa, gaji saya masi cukup kok untuk memuaskan kebutuhan saya --- kan saya semacam low maintenance girl. Sudah begitu lajang pula - dan parasit pula, di rumah orangtua; nggak kudu mikir pengeluaran rumah tangga.
Saya dapat satu pelajaran : jangan ngutang!
....
Anehnya, setelah transaksi peminjaman tersebut, mendadak ia menghilang lagi. Susah dihubungi. Seminggu pertama saya berusaha berpikir positif. Tapi memasuki minggu ke-dua, saya mendadak merasa nggak enak.
Akhirnya saya menghubungi beberapa teman yoga kami. Semuanya tampak malas begitu mendegar nama 'Tanti.' --- "Bermasalah parah itu orang!" hanya itu kata mereka.
Yang bersedia menceritakan lebih detil hanya Lila, setelah dia menanyakan,"Dia pinjem duit ke elo?"
"AH! I should've warned you!" kata Lila,begitu saya mengangguk.
Ternyata mereka juga mengalami masalah yang sama. Tanti meminjam uang dari mereka juga.
Dan Tanti menghilang begitu saja. Tapi dasar Lila, yang mungkin sewaktu kecil bercita-cita jadi detektif, ia menyelidiki keberadaan Tanti.
"Kayaknya elu musti ngerelain uang yang lo pinjemin deh." ujar Ida.
"Karena?"
"Er, dia itu nggak seperti yang dia ceritakan..."
"Maksud?"
"Dia nggak kerja di perusahaan multinasional, suaminya juga nggak."
Saya semakin mengerutkan kening.
"Tapi, dia... punya penyakit nggak bisa kontrol belanja. Makanya terlibat utang gede-gedean. Ceritanya tentang suaminya minjem duit di bank untuk modal bisnis, suaminya yang selingkuh dan lain-lain... er... sebenernya nggak bener. Dia kebelit utang credit card-nya. Ya gara-gara nafsu belanjanya itu."
"Sial." tiba-tiba saya geram.
"Bok, kita nggak bisa deh nagihnya. Soalnya... "
"Tapi utang kan utang?" potong saya.
"Ya, ngeliat keadaan aslinya dia mau bayar pake aja, coba?"
Saya terdiam.
"Lihat deh, nanti kalau kamu tagih excuse-nya pasti banyak. Dipecat dari kantorlah.kanker serviks stadium satu dan harus membiayai pengobatan dirinya seminggu sekali lah, keguguran. Sampai pada akhirnya memutus kontak dengan elu, ganti nomer, ngeremove elo dari facebook. Gitu deh."
Saya menghela napas.
Kenapa sih orang itu nggak bisa berpijak pada kenyataan saja? Nerima kemampuan dirinya apa adanya? Apa enak hidup bermasalah dengan banyak orang dan dibelit hutang? Masa hanya gara-gara keinginan untuk hidup bergaya high-maintenance, harus merugikan orang lain? Bukannya dengan bergaya hidup grosiran, kita juga nggak mati?
sumber gambar : gettyimages.com
The first is so basic I'm almost embarrassed to say it:
spend less than you earn.
~Paul Clitheroe
Selasa, November 03, 2009
Seks itu susah....
"Terus, terus, lo apain?" tanya saya.
"Ya gue marahin lah bok! Mau diapain lagi coba?" jawabnya,"Gue bilang dosa liat begituan..."
"Basi ah lu." saya tertawa.
"Ih, elu yeeee...." ia pun mendelik.
"Lu nggak sekalian bilang bakal masuk neraka kalo liat bokep?" saya meledeknya lagi.
"Er, gue bilang gitu sih. Supaya dia nggak liat-liat lagi."
"Halaaaah..." saya tertawa lagi,"Dan elo pasti ngomongnya sambil marah-marah dan panik-panik."
"YA IYALAH! Anak umur lima belas tahun liat bokep! Adik gue sendiri boook! Pokoknya gue ga mau dia liat bokep lagi!!!"
Saya mendadak teringat dengan kawan perempuan saya di masa kuliah dulu. Ceritanya, waktu itu, tanpa sengaja ia menemukan laser disc bokep di laci oom-nya, maka menontonlah ia. Dan sialnya ketahuan oleh -nggak tanggung-tanggung- ibunya. Yah, kena marah lah ia katanya, menonton film porno itu dosa besar, apalagi melakukannya. Seks adalah dosa. Dan puncaknya adalah, seluruh LD bokep oomnya dibakar. (oh kasihan sekali oomnya, secara LD itu mahal ya bok)
Terus, apakah kawan saya jadi takut 'dosa' setelah itu? Nggak ya bok. Dia-lah yang pertama kali memberi usul untuk iseng menonton bokep pada kawan-kawan se-gengnya di masa kuliah, termasuk saya.
"Ngng, nggak tau ya, emangnya kalo ditakut-takutin itu dosa, dia bakal berhenti?" tanya saya,"Siapa yang jamin dia nggak nonton diem-diem lagi, di tempat lain?"
"Itu diaa.. ngeri gue." kawan saya menghela napas.
"Ngng, emang apa salahnya sih nonton bokep?" iseng saya bertanya.
"AH GILA LO!" kawan saya mendelik lagi,"Kalo gara-gara itu dia jadi terdorong buat melakukan hubungan seksual, apa kabar hidupnya?"
Iya sih. Apa kabar ya, kalau ternyata, dengan pengetahuan minim dan konsep yang salah tentang seks --- hanya bersumber dari tayangan klip porno, yang mostly sama sekali nggak edukatif, kecuali untuk gaya-gaya berhubungan seksnya :P --- gawat saja, kalau adiknya kawan saya jadi terdorong untuk 'mencoba'nya.
Harus nikah karena menghamili anak orang. Doh, pipis aja belum lempeng, kerjaan nggak punya, berkeluarga? Yasalam.
Atau ditangkap polisi karena melakukan sexual harrasment. Atau karena mendadak narsis merekam aktivitas dan tersebar di internet.
Atau terkena penyakit menular seksual.
Gawat beneran. Banyak banget kemungkinannya. Bukan sang anak saja yang masa depannya hancur, tapi keluarganya.
"Ehm, lo nggak ngejelasin tentang apa yang diliatnya?" tanya saya.
"Maksud lo?"
"Ya jelasin aja, itu lagi ngapain, risikonya gimana kalo dia nekat ngelakuinnya, siapa yang boleh ngelakuinnya etc."
"Doh, manalah gue kepikir buat ngasih sex education, keburu panik duluan gue..."
"Sebelumnya, pernah ga adik lo diceritain soal seks?"
Kawan saya menggeleng.
Ah, orang dewasa ini. Kalau soal seks, aja, pasti menutup-nutupi, mentabukan. Begitu si anak tau dari luar, eh, panik jaya.
Jujur saja, waktu kecil saya tidak pernah sekalipun mendapat proper sex education. Yang sering saya dengar dari mulut orangtua saya adalah mitos : adik bayi dikirim lewat langit-langit rumah. Bahkan untuk menyebut kelamin pun, harus pake metafora.
Saya baru tahu perkara seks ini dari guru biologi SMP. Plus waktu SMU, dua kali ada 'acara' nonton film dokumenter sebagai bagian dari program sex education --- saya lupa judul-judul filmnya, tapi yang satu menceritakan tentang apa akibat (buruk)nya jika kita melakukan hubungan seksual secara tidak bertanggung jawab --- yang jelas akibat buruknya ekstrim banget lah. Sedangkan film yang lain, menceritakan tentang proses aborsi. Ya ampuuun, itu sih ditunjukan bagaimana proses aborsi, yang nonton jadi mual dan sedih. Yang ada begitu selesai menonton film kedua, mata kami memerah karena semua menangis. :)
Tapi kedua film tersebut --- walaupun tanpa peringatan yang berhubungan dengan dosa--- mengena dan membekas sekali, pokoknya tertanam dalam benak bahwa tidak bertanggung jawab ujung-ujungnya sengsara. Yang jelas setelah SMU, biar pun sempat mengalami nakal-nakal remaja, semacam nonton bokep bareng (haha!), tapi ujung-ujungnya nggak babar-blas, ya gara-gara dua film itu. Nggak ada satu pun dari kami yang terjerat hal-hal buruk gara-gara urusan seks tak bertanggung jawab.
"Eh, kalo soal seksual dibilang dosa dan kotor, mungkin ga ujung-ujungnya adik lo punya konsep yang salah tentang seks, bahkan sampai waktunya nanti?" tanya saya, sebenarnya untuk diri saya sendiri.
"Nah lo. Iya ya?"
Akhirnya kami sampai pada satu kesimpulan, bahwa sex education itu penting ditanamkan sejak dini. supaya tidak terjadi hal-hal yang berbahaya yang berhubungan dengan 'salah menggunakan' perkara seks. Juga supaya tidak menimbulkan kesalahan konsep seks.
.....
Beberapa hari kemudian, saya mendapat 'tugas' untuk menjaga anak kawan saya yang terkenal kritis. Umurnya enam tahun. Saya membawanya ke sebuah tempat bermain dan kebetulan di sana ada seorang ibu hamil. Eh, nggak dinyana, mendadak anak kawan saya ini bertanya...
"Dedek bayi itu gimana bisa masuk ke perut mamahnya sih, Tante?"
Arrgh! Why me, why oh why?
Oke, baiklah, tentu saja saja saya tidak boleh bilang bahwa ada burung bangau diam-diam menyelinap ke dalam kamar bapak dan ibunya dan meletakkan adik bayi di sana. Tapi gimana coba menjelaskan proses 'penyerbukan' manusia dengan bahasa yang sederhana dan mudah dicerna oleh anak berumur enam tahun.
Arrgh! Sekali lai : Why me, why oh why?
"Yang masukin ya papanya. Setelah menikah, karena papanya cinta, jadi dikasih hadiah adek bayi ke dalam perut mamanya" jawab saya setelah berpikir keras. Euh, jawaban yang terdengar konyol.
"Papanya masukin pake apa? dimasukin lewat apa? Perut mamanya dibuka?"
Yaolooooo. Tolong sayaaaa.
"Er, gimana kalo nanti kamu tanya mama dan papa kamu?" akhirnya saya menyerah dan melempar tanggung jawab pada kawan saya --- papa dan mamanya.
Lho iya dong, sex education itu selayaknya diberikan oleh orangtua dari anak kan? Dan saya bukan orangtua gadis cilik kritis ini.
Ya toh? Ya toh?
*hela nafas*
Seks itu, ternyata susah ya.... untuk dijelaskan :D
"Young people need real sex education that provides them with all the information they need to stay safe and make healthy choices." (Angus McQuilken quotes)
Sumber gambar : sxc.hu
Selasa, Oktober 27, 2009
Si Lajang/Si Menikah : Monster Tukang Larang.
"Cha, Maia cantik ya?" kata saya tulus.
"Oh." Icha tersenyum sumringah. Ibu mana sih, yang tidak suka jika putrinya dipuji.
"Cepet gede aja, berasa lahir baru kemarin..."
"Iya, time flies..."
"Tau-tau udah remaja aja..."
"Duuh, ga kebayang..." Icha menggelengkan kepala.
....
Saya bersahabat dengan Icha sejak kami masuk ke SMA yang sama. And she hated her parents, khususnya ibunya. Soalnya, ibunya itu memang basi banget, banyak peraturan dan tukang ngatur. Emang sih, ibu-nya Icha kolot banget. Sori, sori aja ya, rada basi. Setiap hari harus sudah ada di rumah jam dua siang. Kalau weekend boleh sampai jam lima sore (Cuma kalau main ke rumah saya, boleh sampai jam tujuh atau delapan malam). Keluar rumah nggak boleh pakai celana pendek/rok mini. Harus pakai baju yang dibelikan ibunya (padahal aduh, baju-baju pilihan ibunya itu... enggakbanget! kalau nekad pakai baju itu keluar rumah, kau bakal jadi bulan-bulanan). Ke mana-mana harus antar jemput. Nggak boleh nginep-nginep. Nggak boleh pergi sama cowok (apalagi pacaran). Lalala.. Lilili.... pokoknya masih banyak lah, hal-hal yang membuat saya merasa beruntung, karena Ibunya Icha bukan Ibu saya.
Tapi Icha bukanlah anak penurut. Akibatnya saya sering jadi bumper ya, bok. Icha sudah pacaran sejak kelas satu SMA --- dan setiap ia hendak berkencan, ia akan meminta supirnya untuk mengantar sampai ke rumah saya. Dari rumah, ia meminta izin untuk main ke rumah. Begitu sampai di rumah saya, ia selalu mewanti-wanti saya
"Gue bilang, gue ke rumah lo. Jadi kalo lo ditelepon nyokap gue, jangan bilang nggak tau..."
"Lah terus gue kudu bilang apa dong, kalo nyokap lo nelpon...?"
"Apa kek..."
Daaan,akhirnya setiap ibunya Icha menelepon saat Icha sedang berkencan, saya harus menjawab "Ada tante, tapi lagi di toilet, ntar saya bilang kalo tante nelpon...". Untung saja, Icha selalu sudah ada di rumah saya sebelum supirnya menjemput, kalau nggak berabe, aja.
Kalau pergi dari rumah,tentu saja Icha memakai pakaian layak-pakai menurut standar ibunya, tapi tentu saja ia akan sangat niat segera mengganti bajunya dengan tanktop dan rok mini di toilet mall yang kami kunjungi.
Kalau saya disuruh membuat daftar kebadungan Icha (dan ehm.. saya.. juga sih), pasti bakal panjang sekali!
Saya masih ingat banget, suatu hari, saat kami mengobrol ngalor-ngidul di kamar saya sambil menonton film dan memamah popcorn, Icha sempat bertanya-tanya, kenapa orangtua itu hobi sekali melarang-larang.
Waktu itu saya hanya mengangkat bahu --- walaupun orangtua saya juga suka melarang ini dan itu, dan kadang saya bete juga; tapi saya sih nggak segitunya memberontak, nggak kayak Icha. Pada dasarnya, saya sebangsa orang yang malas berfriksi. Cinta damai, bok. Lagipula,orangtua saya tidak se-strict orangtua Icha. Segala larangan masih bisa lah, ditoleransi (walaupun nggak jarang juga saya menabrak larangan-larangan tersebut kecil-kecilan--- gimana ya, rules are meant to be broken, aren't they?)
Icha sempat memberi label Ibunya sebagai 'monster tukang larang' dan 'monster curigaan'. Menurut Icha, orangtua macam ibunya ini-lah yang membuat masa remaja jadi tidak indah.
"Pokoknya, kalo gue udah jadi ibu-ibu, gue mau bebasin anak gue kalo udah remaja, mau pulang malem kek, mau ngapain kek. Anak gue bakal gue kasih kepercayaan sepenuhnya. Gak deh, gue gak mau jadi monster tukang larang dan monster tukang curigaan. Biar anak gue menikmati masa remajanya.'
"Lagian,bukannya kalo semakin dilarang, anaknya bakal semakin memberontak? Siapa bilang anak di depan iya-iya, tapi di belakang nggak nakal-nakal? Daripada gitu, mending dilepas aja kali, ya nggak?" katanya lagi.
"Iya kali..."
....
Segala aturan dan segala curfew ala Ibu-nya Icha itu masih eksis, bahkan sampai ia lulus kuliah. Iya sih, agak melonggar, tapi tetap aja masih bisa dimasukkan dalam kategori kuno. Saya sempat ketawa-ketawa saat jam tujuh malam, di satu malam minggu, di umur Icha yang ke-23, mendadak sang Ibu meneleponnya dan menyuruhnya pulang. Ya ampun, dua puluh tiga tahun dan masih disuruh pulang! Dan saya tambah geli, karena melihat Icha ngomong "Iya bu, ntar lagi aku pulang." di telepon dengan suara ala anak manis sedunia, padahal ia memberot-berotkan mukanya tanda sebal.
"Gue pengen kawin aja deh, biar bebas dari aturan nyokap." kata Icha setelah telepon ditutup, sambil buru-buru menyeruput minumannya dan bersiap-siap untuk pulang.
Anyway, Icha menikah di usia dua puluh empat. Saya nggak tau dia menikah karena memang merasa sudah waktunya menikah, atau karena ingin bebas dari aturan ibunya.;-) Setahun kemudian, lahirlah Maia.
.....
"Kebayang ga sih lo, sepuluh taun lagi dia tau-tau bawa cowok, terus bilang 'Kenalin, ini pacar aku, Mama...'" seloroh saya.
"Hhh, iya euy, gue suka serem aja mikir gitu. Pengennya sih Maia nggak usah gede-gede lah, terus gue pingit di rumah."
Saya tertawa geli mendengarnya.
"Eh, gue masih inget lu dulu pengen ngebebasin anak lu mau ngapain aja..." cetus saya.
"Er, gue tarik deh perkataan gue. Seriusan, gue nggak mau ngebebasin blas anak gue ngapain aja, takut dia ngelakuin yang ga bener!"
"Emm, mungkin itu juga yang ditakutin nyokap lo sampe lo dilarang-larang segitunya."
Icha terdiam.....
"Iya sih, bisa jadi. Setelah punya Maia, gue jadi tau gimana perasaan nyokap gue dulu." katanya sambil menghela napas.
"Artinya lo mau mengekang Maia seperti nyokap lo mengekang lo?" ledek saya.
"Oh, tentu enggak. Gue nggak bakal deh terlalu kayak nyokap gue. Gue bakal mendidik Maia bebas tapi terkendali. Gue berusaha jadi sahabat Maia, supaya ntar kalo udah gede, dia bisa ngelakuin segala sesuatu tanpa harus sembunyi-sembunyi."
"Ah teooriiii..."
"Hu, liat ajaaa..."
"Baiklah. So, ntar kalo mendadak anak lo jujur sama lo dan bilang "Mama, tadi aku ciuman dong sama pacar aku. French Kiss, lho."
"IIIIH! GA MAAU..." Icha mendelik.
"Atau mendadak kalo dia bilang 'Mama, tadi toket aku dipegang-pegang sama pacar aku, kok rasanya gitu ya?"
"Ga mauuuu..." Icha mendelik sambil menggelengkan kepala.
"Atau..."
"Udah cukup! Jangan bikin gue pengen ngurung anak gue yaaaaaa..."
Dan saya pun ketawa-ketawa mendengar protes Icha.
Ehm, mendadak kepikir, jangan-jangan, begitu punya anak, memang seorang perempuan akan selalu menjadi monster tukang larang, karena kuatir pada anaknya?
If you've never been hated by your child, you've never been a parent.
Bette Davis
sumber gambar : sxc.hu
Rabu, Oktober 21, 2009
Cerita Kiriman : Miss A(nnoying)
Saya bukan orang yg rese dengan cerita nostalgia soal mantan pasangan, mengingat saya pun pernah punya cerita dengan mantan-mantan yg (mungkin) sulit saya lupakan. Rasanya saya sangat toleran terhadap masa lalu. Tapi saya paling sebel kalau ada orang dari masa lalu yang terang-terangan datang dan mengganggu 'masa sekarang'.
Tersebutlah 1 teman suami yg hobi sekali mengupdate info tentang saya, esp waktu saya dan suami masih pacaran. Kita sebut saja dia Miss A(nnoying). Setiap dia online di messenger, pasti dia akan sok ramah menyapa saya dan bertanya ini-itu. Dimana saya bekerja, berapa gaji saya, fasilitas business trip saya, sampai dimana tempat gaul saya. Hohoho.. penting yaaa?
Mengingat dia teman suami dan lebih tua beberapa tahun di atas saya, saya selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan dia dengan ramah. Tapi setelah pertanyaan-pertanyaannya berubah menjadi pernyataan-pernyataan berbau kompetisi, saya mulai terganggu.
Rasanya sebel setengah mampus dengar cerita soal ibu suami a.k.a mertua saya yang suka banget sama dia, sampai pengen banget menjadikan dia sebagai menantu waktu itu. Juga soal suami yg dulu semasa SMA rajin banget mengupdate dia soal info chart lagu indonesia, sampai bela-belain kirim surat ke negara tetangga. *ceritanya waktu SMA dia sempat ikut pertukaran pelajar.
Karena sebel dengan cerita rese yg diulang-ulang hampir di setiap chat, secara tidak langsung saya mengkonfirmasi cerita-cerita itu, baik kepada ibu mertua maupun kepada suami. Dan hasil yang saya dapatkan tidak se'berbunga' ceritanya.
Ternyata, ibu mertua malah mengatakan kalo keluarga Si Miss A-lah yang gencar ngajak besanan. Sedangkan suami mengatakan kalo dia ga penah membayangkan menjadi seorang anak SMA yg pergi ke kantor pos untuk rajin berkirim surat. Moreover waktu itu si suami udah punya pacar. Well, saya tidak berminat untuk berkomentar lebih jauh. Saya hanya menyimpulkan kalo mungkin si Miss A naksir suami (yang waktu itu masih berstatus sebagai pacar saya).
Kemudian dari cerita teman-teman suami (yg notabene para pria), saya jadi tahu kalo si Miss A ini memang punya hobi ngarang cerita, seolah-olah semua pria di dunia pernah naksir sama dia. Sakit jiwa menurut saya. Saya sempat heran, si A ini cantik dan pintar. Benar-benar tidak ada yg salah dengan dia. Saya yakin (kalo dia anteng, ga kebanyakan ngarang cerita) yg naksir dia juga banyak. Kok ya bisa-bisanyaaa.. Anyway, itu bukan urusan saya.
Waktu berlalu. Sekarang si Miss A sudah menikah. Begitupun saya dengan suami. Tapi saya sungguh heran mendapati habit si Miss A tidak berubah.
Dia masih suka mengarang cerita soal suami saya yg kata dia dulu ‘blablabla’ sama dia. Lalala.. saya tidak terlalu peduli hingga suatu hari, menjelang lebaran, dia mengarang cerita yg menurut saya sudah menjurus ke arah adu domba suami istri. Disinilah saya mulai membencinya setengah mati.
Kali ini si Miss A mengarang cerita kalo suami saya mengajaknya berbuka puasa bersama di luar sepengetahuan saya. Waktu saya mengetikkan 1 kalimat “Oh iya?”, dia langsung semangat mengeluarkan kalimat-kalimat pengundang depresi seperti "Oh, kamu ga tahu ya? Aduh, maaf. Aku kira suami kamu cerita", atau "aduh, aku jadi ga enak nih. uhm.. nanti aku tanya suami kamu lagi aja", “Uhm.. atau kamu aja yg tanya. Aduh, aku beneran jd ga enak, nih” etc. Waktu itu pengen banget saya membalas “Aduh, kamu lucu banget sih mba, jadi pengen nabokin”. Hehe..
Well, pada waktu itu akhirnya saya memilih untuk segera memasang status “busy” dan tidak lagi menanggapi window messenger yg terus berkedip-kedip, tapi saya langsung marah-marah pada suami. Bukan menuduhnya ini-itu karena termakan omongan si Miss A tadi, tapi karena saya butuh tempat untuk ngomel panjang lebar sebagai pelampiasan agar saya tidak menyemprot si Miss A secara langsung atas nama sopan santun (selain males ribut sama orang gila). Suami saya tentu saja hanya tertawa. Dia malah membodoh-bodohkan saya yg gampang banget menjadi emosi, padahal saya sudah tahu bagaimana habbit si Miss A.
Saya tahu dan sepenuhnya sadar kalo saya bodoh. Membuang-buang energi untuk marah-marah dan sebel, bahkan sampai benci setengah mati sama orang gila. Tapi saya rasa kebanyakan perempuan yang ada di posisi saya akan melakukan hal serupa, ngomel-ngomel dan memaki-maki untuk menumpahkan kekesalan. Apalagi kali ini cerita si Miss A sudah menjurus ke arah adu domba. Itu yg membuat saya (bodohnya) jadi benci sama dia. Coba kalau saja saya belum tahu bagaimana ‘kondisi kejiwaan’ si Miss A. Ada kemungkinan terjadi percekcokan rumah tangga kan? Apalagi usia pernikahan saya dengan suami baru jalan 3 bulan.
Setelah emosi saya reda, saya jadi berpikir betapa mudahnya saya ter-provokasi dengan kegilaan si Miss A. Nyaris saja saya tertular jadi ikut gila (dengan ngomel-ngomel ga berujung). Benarkah semua wanita mudah ter-provokasi oleh orang-orang seperti Miss A, atau jangan-jangan hanya saya?
Btw, kalo dipikir-pikir saya jahat sekali ya memvonis si Miss A sakit jiwa. Hehe..
Sumber gambar : sxc.hu
Kamis, Oktober 15, 2009
Si Lajang : Karena Cinta, Perempuan Jadi Bodoh.
Karena bosan menunggu, maka oh maka, saya pun memutuskan untuk membaca salah satu majalah yang tersedia di sana. Karena semua majalah berbau-bau politik, maka pilihan jatuh pada majalah perempuan nasional --- tapi bukan semacam majalah panduan bergaya hidup sangat konsumtif--- inisialnya K. (ada yang bisa nebaaak?)
Dalam majalah tersebut saya membaca satu kasus di mana seorang remaja, berusia sekitar 16 tahunan rela 'dijual' oleh pacarnya untuk berhubungan seksual dengan teman-temannya. Anjir, pra-remaja masa kini ya, mainannya! Parah.
Di artikel tersebut dibeberkan secara runut, bagaimana awalnya sang pra-remaja tersebut 'rela' diperlakukan demikian oleh sang pacar. Menurut pengakuannya, semua diawali oleh ajakan sang pacar untuk berhubungan seksual; remaja putri tersebut tidak mau, namun akhirnya sang pacar berhasil membuat remaja putri tersebut mau, tentunya dengan ancaman terselubung : bahwa kalau tidak mau, maka sang pacar akan meninggalkannya. Kesediaan sang remaja putri jadi semacam 'bukti cinta'nya pada sang pacar.
Nah sialnya, nggak cuma berhenti sampai situ saja, tapi sang pria dengan geblek-nya menawar-nawarkan si remaja putri pada teman-temannya. Sang remaja putri mau, karena (sekali lagi) takut kehilangan pacarnya. Aww, so sweet.... NOT!
Sumber dari semua ini adalah rasa ketakutan sang remaja putri kehilangan sang pacar. Miris waktu membacanya. Dan satu hal yang tersirat dalam benak adalah, perempuan ini bodoh. Atau untuk memperhalus, naif, lah. Tentu saja karena masih muda dan level pendidikannya pun belum terlalu tinggi (dia masih SMU), 'nalar'-nya nggak nyampe. Alih-alih menganggap dirinya lebih penting dari segalanya, ia malah memutuskan untuk melakukan hal yang awalnya tidak dikehendaki hanya agar tidak kehilangan sang pacar.
Sepulangnya dari dokter gigi, kebetulan saya harus bertemu dengan beberapa teman.
Semua sepakat dan mengatakan hal yang sama seperti yang saya pikirkan ketika selesai membaca artikel tersebut : Gila ya tu anak, bodo benerrr....
Sampai di sana topik berpindah, membicarakan sepak terjang teman-teman yang lain. Si Alya yang dapat beasiswa ke luar negeri. Si Benita yang kerjanya beranak lagi beranak lagi. Si Callista yang baru membuka bisnis unik.
Lalu pembicaraan tiba pada si Dina, yang setelah satu dekade putus-nyambung-putus-nyambung dengan pacarnya,akhirnya bertunangan juga. Setahu saya, pacar si Dina ini semacam pria-nggak-asik lah, punya kecenderungan untuk melakukan kekerasan secara psikologis. Dina pernah mati-matian diet dan olahraga karena dikatain 'Gendut', Dina sempat terisolasi dari pergaulannya, karena pacarnya memonopoli waktunya, Dina sempet stress karena selalu dicurigai dan dicemburui, bahkan setahu saya, sekitar sembilan tahun yang lalu, sewaktu pertama kalinya Dina balikan lagi dengan pacarnya, itu karena... sang pacar mengancam akan bunuh diri kalau ditinggal (And it's oh so lame)
Kami bilang Dina bodoh. Dan salah satu dari kami nyeletuk, tapi ya sudahlah, namanya juga cinta.
Lalu perbincangan lanjut pada Elsa. Perempuan yang berasal dari keluarga super mampu, sempat mengenyam pendidikan sampai jenjang S2, memiliki karir luar biasa --- eh menikah dengan seorang pria, yang kuliah S1 pun hanya sampai semester 1, dan... pengangguran. Mending cakep (ha! fisik!), tapi ini enggak! Mending juga punya karakter baik, nggak! Semacam pria-pria tak berguna tapi belagu gitu deh. But they got married anyway. Dan Elsa menjadi tulang punggung keluarga; kalau sudah gitu, mbok ya'o sang pria ikutlah berpartisipasi dalam kehidupan berkeluarga mereka. Eh enggak ya. :P
Kami bilang Elsa bodoh. Dan salah satu dari kami nyeletuk, tapi ya sudahlah, namanya juga cinta.
...
Sepulangnya dari pertemuan tersebut, saya berusaha mengingat-ngingat bagaimana saya kalau sedang jatuh cinta/sikap saya terhadap pasangan.
Well, yang pasti sih, kalau memang sedang jatuh-jatuhnya cinta *heyah!*, mendadak saya 'membutakan' diri saya untuk banyak fakta/hal, yang sebenarnya nggak sreg di hati, bisa jadi dari habitnya, bisa jadi dari cara dia bekerja, bisa jadi dari kelempengennya/ ketidakekspresifannya *er, curcol ajah ya belakangan ini*, bisa jadi dari perilaku teman-temannya dan seterusnya.
Lalu, jiwa pemaaf saya mendadak besaaaaaar sekali. Saya memiliki kecenderungan untuk memaafkan pasangan - telat, lupa telepon,lupa janji, pasti maaf saya lewat lah. Lalu saya mendadak jadi sangat pemaklum, dia emang orangnya gitu, jadi gue harus terima dia apa adanya. Pokoknya jadi fleksibel,lah. Pun jika telat-nya dan lupa-nya pasangan itu mengakibatkan jadwal harian saya amburadul, paling saya hanya ngambek dikit, dan sudah, begitu saja. Ada kecenderungan di diri saya untuk bilang 'Ya sudaaaah....'
Memang sejauh ini, saya fleksibel hanya untuk hal-hal yang tidak prinsipil. Tapi, bisa juga kan dikatakan bahwa ini adalah bentuk kebodohan? Soalnya, jika dipikir-pikir lagi, kalau yang melakukan itu adalah orang lain, tentu saya nggak segitu pemaafnya, segitu pengertiannya, segitu fleksibelnya. Yup,aslinya, saya benci banget kalau ada orang yang merusak jadwal/hal-hal yang berkaitan dengan saya karena kelalaiannya.
Jangan-jangan, memang semua perempuan mendadak 'bodoh', kalau sedang jatuh cinta. Tanpa peduli umur dan tingkat pendidikan. Buktinya bukan remaja putri yang masih SMA saja yang 'bodoh', tapi juga Dina dan Elsa. Dan... saya!
Bagaimana dengan anda?;-)
Minggu, Oktober 04, 2009
Si Lajang : Gonta-ganti Pantyliners Pacar
Setelah urusan perkacamataan beres, dia mengajak saya ngupi-ngupi bergaya di salah satu warung kopi kapitalis berinisial S.T.A.R.B.U.C.K.S yang ada di mall tersebut. Kami mengobrol panjang lebar mengenai banyak hal sambil menikmati susu yang dinodai kopi (well, maksudnya latte gitu). Di tengah-tengah obrolan mendadak teman saya ini menghentikan kalimatnya, lalu menjulurkan kepala ke arah pintu masuk.
"Apaan?" tanya saya sambil menoleh ke arah matanya memandang. Di sana tampak sepasang remaja yang bergandengan tangan super-mesra memasuki warung kopi ini.
"Ponakan gue." jawabnya.
"Oh." saya membalas,"Terus?"
"Nggak apa-apa..."
Kemudian kami melanjutkan mengobrol lagi. Tak berapa lama, teman saya mendadak tersenyum. Saya jadi menoleh kembali, sepasang remaja tersebut mengarah ke meja dekat kami.
"Eh, tante..." sang remaja putri terkejut.
"Halo,Vien." jawab teman saya.
Saya bisa membaca bahwa ia malas-malasan menghampiri kami. Mungkin kalau sebelumnya ia tahu bahwa tantenya --- teman saya ini --- ada di tempat ini, ia akan lebih memilih untuk menyambangi warung kopi lain.
"Udah lama,Tante?" katanya basa-basi.
"Lumayan." jawab teman saya.
Jeda.
"Eh,iya, kenalin, ini...ngng... pacar saya..." keponakan teman saya memperkenalkan sang cowok yang berdiri super canggung.
"Riza." kata sang cowok sambil menjabat tangan teman saya--- dan teman saya pun menyebutkan namanya.
Jeda.
"Eh, silahkan lho,kalau mau lanjut..." kata teman saya.
Jelas sekali keponakan kawan saya itu merasa lega.
"Kita ke sana, ya Tante..." katanya sambil menarik sang pacar ke arah yang berbeda.
"Yuk.. salam ya buat Mami di rumah."
Dan mereka pun berlalu. Teman saya kembali berkonsentrasi pada saya.
Ia menggelengkan kepala.
"Apaan?" tanya saya.
"Anak muda jaman sekarang ya..." katanya sambil menggantungkan kalimat.
"Apaan sih?"
"Perasaan minggu lalu pacarnya bukan yang ini deh..."
"Ya terus kenapa?"
"Terus bulan lalu,pacarnya juga beda. Dia ganti pacar seminggu sekali gitu kali ya?" ia mengernyitkan kening"Duh, dia tuh, ganti pacar sesering ganti pantyliners ..."
Lebay. Katakanlah keponakan teman saya itu berganti pacar seminggu sekali; saya nggak bisa membayangkan apa jadinya kalau saya berganti pantyliners seminggu sekali. Keputihan akut kali.
"Ya biar aja lah, namanya anak muda..." kata saya.
"Iya sih, tapi tu anak udah diomongin gitu sama keluarga besar. Omongannya rada negatif."
Well, saya bisa ngebayangin gimana omongan negatif tentang cewek yang sering berganti pacar. Antara playgirl, gampangan, agresif atau yang paling parah, murahan. Pokoknya nggak baik aja!
'Jangan gonta-ganti pacar melulu, sama satu orang aja. Perasaan orang dulu tuh belasan tahun pacaran, terus menikah aja. Ora ilok perempuan gonta-ganti pacar, kesannya negatif.'
Gitu deh, katanyaaa...
'Ya namanya pacaran, harusnya sih, saling bertoleransi, jangan kalau nggak cocok dikit, udahan...'
Gitu juga katanya.
Iya, tau, namanya juga dua orang berbeda latar belakang yang mencoba bareng-bareng dan mencoba untuk berhubungan lebih mendalam,pasti bakal menemukan banyak hal yang berhubungan dengan 'asli'nya pasangan. Pacaran itu adalah ajang untuk latihan saling menyesuaikan diri... TAPI kalau ternyata 'aslinya' tidak bisa ditolerir dan membahayakan, apa kabar? Abusif misalnya.
Duh, masa sih harus dipertahankan? Dan masa juga dipertahankan hanya demi menghindari image negatif?
Nggak deh.
Lagipula, keponakan teman saya itu masih ABG ya bok. Seingat saya, di masa ABG, saya sering salah 'mengartikan' perasaan, sering banget cinlok. Baru kenal sebentar, tapi begitu 'merasakan' getar-getar aneh *tsaaah bahasanya!*, langsung hayuk saja begitu ditembak. Saya sama sekali tidak mencoba menilik lebih jauh lagi ini-itu tentang gebetan saya. Pokoknya kalau orangnya (berasa) asyik (saat pedekate yang seumur jagung), jadian!
Dan di saat remaja itu, karena nggak benar-benar kenal, begitu jadian, saya baru menemukan bahwa saya mengambil keputusan yang salah; ternyata si pacar jelesan. Ternyata abusif. Ternyata nggak segitu nyambungnya. Ternyata ini dan ternyata-ternyata lainnya yang bikin kehidupan saya nggak hepi. Well,saya sih,daripada nggak hepi mending putus, duh, masih remaja kok hidup harus susah, apalagi kalau gara-gara cowok.
Terus terang, sampai saat ini saya merasa, ya nggak apa-apa juga gonta-ganti pacar, selama gonta-gantinya karena ketidakcocokan, bukan karena gatelan saja. Hehe. Namanya juga lagi masa penjajagan, sebelum menjalani hubungan yang komitmennya lebih kuat, boleh dong memilih-milih yang terbaik? Daripada entarnya terjebak dengan orang yang salah?
Soalnya saya rasa nggak semua orang 'seberuntung' orang dulu --atau mungkin juga ada orang sekarang --- yang mendapatkan pasangan 'langsung cocok' sampai menikah.(Uhm, jangan-jangan, sebenarnya bukan 'beruntung' juga, tapi daripada dicap jelek, mending dipertahankan? Siapa tau kan? hehe)
"Ya nggak apa-apa lah,keren ponakan lo, laku." kata saya sambil terkekeh.
sumber gambar : sxc.hu
Jumat, Oktober 02, 2009
Lajangdanmenikah Jalan-jalan : Batik One Day Project
Agen Lajangdanmenikah.com yang ada di Bandung (haha, agen? kayak koran ada agennya) mendadak iseng turun ke jalan, dengan maksud 'menangkap' mereka-mereka yang memakai batik. Tempat yang kami satroni (Ya ampun, satroni, sungguh istilah jadul...) adalah Ciwalk alias Cihampelas Walk, sebuah mall bernuansa pedestrian yang berada di bilangan cihampelas. Alasannya adalah... ya karena kami suka saja tempat itu. Hehehe.
Seru juga berburunya --- agak canggung juga menegur orang yang tidak kami kenal, tapi berbekal muka tebal, maka kami pun memberanikan diri menghampiri, memanggil dan menahan serta mengajak ngobrol buruan kami. Awalnya ada beberapa yang kaget, tapi semuanya bersikap ramah dan memperbolehkan kami untuk mengambil foto mereka. Dari hasil bertanya-tanya, sebagian besar, mereka memang khusus memakai batik (siang-siang) di tanggal 2 Oktober ini, sedangkan di hari-hari biasa, bisa dikatakan jarang. Ada juga yang memakai batik karena tempatnya bekerja mewajibkan karyawan memakai batik tanggal 2 Oktober.
"Biasanya kalau ada hal-hal khusus saja, misalnya harus presentasi." kata Nurul.
Berbeda kasusnya dengan Sarah, "Sebenarnya nggak ngaruh, karena tiap hari jumat, di kantor emang wajib pake batik."
Anyway, inilah hasil perburuan kami.
Sekarang, menunggu Agen lajangdanmenikah.com di Jakarta! *wink*
Kamis, Oktober 01, 2009
Pakai Batik :)
Tanggal 2 Oktober 2009 mendatang Lembaga PBB untuk Pendidikan, Sains, dan Budaya (UNESCO) bakal menetapkan batik sebagai warisan budaya dari Indonesia (the world cultural heritage of humanity from Indonesia).
Dari Kompas.com
Sebenarnya memakai 'batik' sebagai outfit harian bukanlah hal yang asing bagi beberapa orang, namun berhubung besok bisa dikatakan 'hari spesial', nggak ada salahnya kalau kita ikutan rame-rame pakai batik. Ya daripada rame-rame menghujat negara yang menjiplak, mendingan yang seneng-seneng aja. Hehe.
So,sudahkah anda menyiapkan pakaian batik anda untuk dipakai besok? Kami sudah --- dan besok kami akan memajang apa yang kami pakai di sini. :D
Dan, untuk kalian yang memakai batik besok, dan tidak berkeberatan untuk memfoto kalian, dan ingin share dengan teman-teman,boleh lho, kalian post di blog masing-masing dan ninggalin tautan blog post yang memuat foto kalian di commenting system entri yang ini.
Minggu, September 27, 2009
Si Menikah : Pertemuan Sore Itu
Salah satu faktor menyenangkan dari adanya facebook tentu karena dia menjadi sarana kita untuk ketemu sama temen-temen lama. Dengan umur saya yang sekarang dan kesibukan saya yang bejibun, saya sebenernya udah ga minat mencari teman baru lagi. Makanya saya membuat akun di facebook tidak untuk ketemu orang-orang baru, tapi dengan hasrat 'keep in touch' dengan teman-teman lama, apalagi yang udah lama pada ga ketemu.
Teman-teman lama tentunya termasuk juga teman dari SMA. Ada yang memang dari SMA suka kongkow bareng, ada juga yang waktu SMA cuma kenal selewat-selewat. Serunya, anak-anak se-gang waktu SMA, semua ada di facebook! Pendek kata akhirnya kita janjian untuk ketemuan. Sebetulnya sih ga lama-lama amat kok terpisahnya. Yah, baru.. hmm 12 tahun. Oh ya ampun, menyesal bahas ini, jadi berasa tua, hehe. Maksudnya, nggak selama itu kita absen ketemuan kok. Pas ada yang nikah, kita kumpul, pas ada yang melahirkan, kita kumpul juga. lumayanlah.
Minggu kemaren akhirnya jadi kita ketemuan, sesuai janjian, saya bawa Freiya juga. Soalnya semua janji bawa anak-anaknya masing-masing. Bahkan ada beberapa yang saya belum pernah ketemu. Maklum, saya kan udah bilang saya sibuk berat, jadi sering juga bolos menengok teman yang melahirkan.
Dan mau janjian ketemuan aja susahnya ampun deh. Ga bisa sabtu malem (sesuai usul saya) karena anaknya Susan nggak bisa tidur lewat dari jam 9 malem. Ga bisa minggu siang karena anaknya Grace sekolah minggu sampe jam 1 siang (dan membuat saya bertanya, mulainya jam beraapa sih?). Akhirnya kita sepakat untuk ketemuan jam 4 sore. Jam nanggung buat saya keluar rumah sebenernya, ganggu tidur siang di hari minggu kan.
Menentukan tempat ketemuan ternyata lebih repot lagi. Semua sih sepakat untuk ketemuan di tempat makan (masa iya ketemuan ga makan). Lalu Nadya usul ketemu di Kartika Sari Dago dengan dalih ada tempat main buat anak. Anak gua bisa main sama baby sitternya selama kita kongkow, katanya. Libie minta ketemu di mall supaya suaminya bisa jalan-jalan sambil nunggu kita kongkow. Saya? Saya memilih untuk menutup mulut dan menerima saaran apapun yang mereka tentukan, daripada bikin keruh.
Akhirnya kita ketemuan di Cihampelas Walk, jam 4 sore. Nggak pake terlambat. Oke deh. Situ sih pake baby sitter, selama dandan, anak bisa diasuh baby sitter. Nah sini? Repot yaw.
Saya tiba jam 4 lebih 15. hampir semua dari mereka udah dateng. Iya lengkap dengan anak masing-masing. Ada yang bawa baby sitter, ada juga yang bawa mertua untuk ngasuh anaknya. Saya datang bertiga dengan suami. Cipika cipiki, basa basi bentar, saya pun mulai ikut dalam obrolan mereka. Sambil penasaran kenapa seorang teman bernama Patricia nggak ikutan dateng padahal dulu dia termasuk yang paling rajin kalo ngumpul-ngumpul begini. “Ditelepon ga jawab”, kata Susan. “Sama tuh, Nesta juga absen, katanya nggak bisa ninggalin rumah”, kata Libie.
Freiya cukup banyak mendulang pujian sore itu. Matanya belo, rambutnya keriting dan yang penting, dia ga dusun. Eh tau dusun ga sih? Ga malu-malu ketemu orang baru, maksudnya. Semua yang ajak salam, dia salam balik sambil senyum. Lah, mamanya public relation :) Suami saya nampak mengerti keinginan saya untuk kongkow, “Freiya sama Papa yuk”, katanya sambil menggandeng si anak keriting itu. Pemandangan ini cukup menyita perhatian Nadya, “hebat suami lu”, katanya. Suami gua mana mau ngasuh anak. Hmm, ya. saya dan suami memang selalu bagi-bagi tugas begini. Untungnya dia ngga gengsi-gengsi kalo harus ngasuh anak, bahkan sampe ganti pampers segala waktu Freiya masih bayi.
“Freiya dikasih minum susu apa Joy?”
“Waktu baru lahir sih susu Babylon, sekarang Sucow” jawab saya sambil memberikan beberapa alasan. Dan berusaha ramah, saya tanya balik mereka, “lu pake susu apa?” . Dan dalam 15 menit ke depan, kongkow sore itu dipenuhi berbagai macam merek susu, mencakup kadar gula, kandungan protein, dan lain-lain. Saya mendengarkan sambil sesekali menguap. Tadi malem abis marathon “Desperate Housewives”.
Pembicaraan bergeser ke arah makanan. “Anak lu dikasih makan apa ?” Begitu deh temanya. anaknya Susan setiap hari dibuatin soup. Ada soup makaroni, soup ayam, cream soup, soup brokoli. dan soup-soup lainnya. Tanpa MSG, katanya. Makanya harus masak sendiri, nggak bisa beli. Yaelah repot ya. Anaknya Libie, maunya cuma buatan omanya katanya. Kasihan si oma, harus masak setiap hari.
Tapi yang paling susah sih urusan camilan, kata Susan.
“Maunya anak-anak kan ga konsumsi gula banyak-banyak, apalagi coklat”
“Iya, makanya buat camilan di rumah, aku selalu sedia rumput laut”, kata Libie
glek. Saya tersedak. Nyamil rumput laut? anak umur dua taun gitu? ih.
“Kalo Freiya sih paling suka tempe, digoreng ala mendoan gitu”, sahut saya
“Digoreng? aduh pake minyak dong?”, Susan membelalak.
menurut lo San ?
Ehem. kalo diterusin, bisa panjang tuh ceritanya. Pendeknya, mereka berusaha memberikan makanan terbaik buat anaknya. Yah, saya juga sih. Tapi someday Freiya kan bakal sekolah, bakal pergi sama temen-temennya. Masa iya mau bawa bekel rumput laut ?
Kongkow hari itu berlangsung kira-kira 2 jam. pembicaraan selanjutnya mengenai jam tidur, lokasi tidur, jam mandi, jam bangun tidur, sekolah dll. Ya, semuanya soal si kecil. Saya berusaha menahan kantuk sambil ga kuat, beberapa kali ya nguap juga. Sekarang saya mengerti kenapa Patricia yang belum punya baby dan Nesta yang belum nikah nggak mau dateng. Saya yang sama-sama ibu rumah tangga aja merasa salah kerumunan !
Girls, bisa ngga laen kali kita ngumpul seperti dulu? Ngobrolin yang asyik-asyik gitu deh, butik baru, cowok keren, atau gosip sekalian?
gambarnya 'minjem dari smilesideya.blogspot.com
Jumat, September 25, 2009
Review Lajang dan Menikah di detikInet
http://lajangdanmenikah.com (family blog)
Menikah, bagi sebagian orang, adalah sebuah peristiwa yang sangat dinanti-nanti dengan penuh kebahagiaan. Tetapi ada pula mereka yang tidak menganggap penting menikah. Mereka senang-senang saja terus hidup melajang meski banyak orang di kanan-kiri yang mulai kasak kusuk soal pilihan itu. Blog lajangdanmenikah.com mencoba menyeimbangkan perspektif tentang dunia orang yang sudah menikah dan dunia para lajang. Artikel-artikel yang ada memaparkan kedua sisi kehidupan dari orang-orang yang sudah menikah dan para lajang; baik yang sifatnya positif atau pun yang negatif. Dalam sebuah artikel, ada cerita tentang seorang istri yang cemburu suaminya berbalasan pesan dengan mantan pacarnya semasa kuliah di Facebook; atau kisah tentang seorang lajang yang hobi menuliskan semua kisah asmaranya di sebuah blog rahasia. Dengan tulisan-tulisan yang segar dan menggelitik, siapa pun Anda, apakah seorang lajang atau pun yang telah mengikatkan diri ke perkawinan, membaca blog ini bisa jadi sumber inspirasi.
Rabu, September 23, 2009
Cerita Kiriman : Ternyata Saya Hanyalah Istri Kedua!
“Jadi, boleh nggak beli tiketnya?” suara suami saya terdengar membujuk, eh, memaksa namun dengan nada membujuk.
“Emang bisa dilarang?” jawab saya pasrah.
“Beli dua ya? Kamu mau juga kan?”
Pletaaaak! Saya menjitak Ucup. Ehm, pelan sih. Tapi dia tahu itu artinya ‘TIDAK’.
Enak aja! Cukup 90 poundsterling (kurs saat itu kira-kira 1,5 juta rupiah bo!) melayang buat beli satu tiket pertandingan sepak bola. Saya sih mending dikasih mentahnya aja, trus bisa menjelajah gerai Miss Selfridges atau Top Shop lah… *tanduk belanja mulai nongol dikiiit *
Kami berjalan bergandengan tangan *tsaaah!* di luar stadion tempat derby Manchester United vs Manchester City akan berlangsung sejam lagi. Stadion udah penuuuh banget sama manusia-manusia penggila bola, dan Ucup udah gatel aja pengen cepat-cepat gabung sama mereka.
Maka dalam hitungan detik Ucup segera melipir ke pojokan entah mana bareng si calo tiket. Yeah, di Inggris pun ternyata ada juga yang namanya calo tiket. Bedanya, mereka jualannya lebih ati-ati dari yang jual narkoba! Kasak-kusuk nawarin barang lalu transaksinya secepat kilat sambil ngumpet di tempat yang nggak keliatan polisi.
Ucup pun jejingkrakan memamerkan tiket di tangannya sebelum melesat masuk ke stadion. Hhhm… dua jam lebih nih saya harus nunggu. Apakah saya sengsara? Tentu tidak. Saya pun memacu langkah ke sebuah shopping mall tak jauh dari stadion. Window shopping, lalu duduk di coffee shop. Saya bersedia pergi nemenin Ucup ke stadion kan setelah liat peta dan menemukan ada shopping mall dekat stadion! Hehehe…
Setahun awal menikah kami habiskan di London. Tepatnya saya tinggal di London (sepenuhnya atas biaya pemerintah Inggris, cihuy!) sementara Ucup tinggal di Budapest, Hungaria. Ini terpaksa, setelah Ucup cari-cari kerja di London malah dapetnya di Budapest. Mungkin pikirnya, mending ambil kerjaan di Eropa Timur itu dari pada tinggal di London dengan status ‘ikut istri’. Apalagi uang beasiswa yang saya terima memang ngepas banget. Penerbangan London-Budapest cuma sekitar 2 jam, plus ada Easy Jet yang harga tiketnya murah meriah dan mudah (bookingnya). Okelah. Saya pun senang.
Jadwal kunjungan kami atur sesering mungkin. Saya yang waktu itu mahasiswa S2, jelas lebih fleksibel waktunya. Sementara Ucup harus cuti atau membujuk rayu rekan kerjanya untuk tukar shift. Dasar namanya gila bola, saban kali datang ke Inggris Ucup selalu mengisi waktu dengan nonton sepak bola, mengisi tujuan plesir dengan mendatangi stadion sepak bola, dan pergi ke pub yang ngadain nonton bareng sepak bola!
Baru belakangan saya tahu, Ucup selalu nyocokin jadwal kunjungannya ke Inggris biar pas sama jadwal pertandingan klub yang ia suka. So seeing me wasn’t his priority at all! Belum juga setahun kawin, saya harus menerima kenyataan kalau saya ternyata adalah istri kedua.
“Please meet my first wife. Her name is football… and darling, just never get jealous if I spend more Saturday nights with her,” kira-kira gitu deh kalimat yang muncul di kepala saya saat terpaksa rela ‘dikacangin’ Ucup demi nonton sepak bola.
Berikut kronologis proses penyadaran bahwa saya hanyalah menduduki tempat kedua di hatinya, setelah sepak bola *ooh… * :
Munich.
Pertama kalinya saya bengong melihat Ucup jejingkrakan gak karuan setelah tiba di Olympia Stadium untuk nonton Bayern Muenchen vs Dortmunt (cukup ajaib bahwa saya masih inget klub mana yang main). Saya pun segera beranjak ke pusat kota Munich, jalan-jalan sambil menunggu pertandingan selesai.
Amsterdam.
Ucup berfoto di setiap sudut stadionnya Ajax, di depan semua logo Ajax yang dia temui. Karir saya sebagai fotografer privat buat Ucup pun dimulai. Beberapa hari kemudian, Ucup tanpa sengaja mengover write foto-fotonya itu dengan foto lain! Dan saya pun bengong ngeliatin dia gulung-gulung dilantai menangisi foto-fotonya yang terhapus...
London.
Bersama ribuan England football fans, di sebuah taman yang luaaas kami nonton layar tancep pertandingan Inggris vs Paraguay di World Cup 2006. Namanya lagi summer gitu ya, saya pake rok dong! Summer dress ceritanya. Eh, ternyata rusuh! Para suporter itu berantem, sampe mecahin pintu kaca dan chaos total. Duuuuh…. Sumpah deh, enggak banget mesti mengevakuasi diri dari puluhan suporter bola yang ngamuk, sementara saya pake rok span!
Jakarta
Sudah jam 00.30 ketika kami parkir di halaman EP, sebuah pub di area Kemang. Ucup sekali lagi bertanya, “Beneran gak mau ikut masuk?” Saya hanya menggeleng, lalu mengatur sandaran jok mobil supaya enak buat rebahan dan mulai memejamkan mata. Ucup pun menyerahkan kunci mobil, segera melompat keluar mobil untuk nonton bola di pub itu.
Saya? Seperti biasa, tidur di mobil sambil nunggu pertandingan selesai… Much better than sitting with a bunch of guys who pay no attention to anything but the game and their beers!
With all its wicked ups and downs, I'm enjoying this ride!
Sumber gambar : sxc.hu
Kamis, September 17, 2009
Lajang dan Menikah Mengucapkan....
Selamat Menyambut Idul Fitri.
Mohon Maaf Lahir dan Batin.
Selamat Liburan.
Jumat, September 11, 2009
Perempuan Tiga Peran
Menjadi seorang ibu dan seorang istri sekaligus harus bekerja, memang tidak pernah menjadi pekerjaan yang mudah. Coba lihat di majalah-majalah khusus wanita itu, hamppir semua pernah membahas soal bagaimana kita menyeimbangkan hidup antara bekerja di kantor dan menjadi ibu di rumah.
Selain jadi seorang istri dan seorang ibu, saya juga bekerja sebagai seorang public relation di sebuah universitas swasta di Bandung. Sebelum menikah dulu, saya rasanya bangga 'menjabat' sebagai ibu yang bekerja, atau pekerja yang juga seorang ibu. Nyatanya agak sedikit melenceng dari itu. Inilah sebabnya hidup saya rasanya sebelah disini sebelah disana. nggak mampu rasanya menjadi 'jagoan' di kedua sisi kehidupan ini.. Tuh yah, belom apa2 udah mulai curhat :)
Waktu belum menikah dulu, saya memang tidak pernah sama sekali berpikir untuk berhenti kerja setelah menikah. Seandainya pun secara finansial kami tidak kekurangan, saya merasa sayang aja kalo menyia-nyiakan pengorbanan saya kuliah selama 4 taun itu dan berakhir menjadi seorang ibu rumah tangga. Tanpa bermaksud merendahkan 'jabatan' sebagai ibu rumah tangga, tapi bekerja itu memberikan banyak hal ; kesempatan bergaul, kesempatan berkembang, dan uang sendiri tentunya.
Sayang sekali setelah 4 tahun menjalani peran ganda ini, saya menyadari bahwa kenyataan tidak pernah ada yang seindah andai-andai dan rencana semula. Yang ada saya sering terlambat ke kantor karena pagi-pagi harus sambil ngurusin keperluan Freiya, anak saya semata wayang. Belum lagi kalo Freiya sakit, saya sering terpaksa harus bolos. Otomatis performa saya di kerjaan tidak lagi secerah dulu. Masih bisa mengikuti kerjaan yang ada aja udah bagus, jangan berpikir untuk menciptakan hal-hal baru dan membuat gebrakan di kantor seperti yang selalu saya lakukan dulu, selagi masih lajang.
Meninggalkan peran sebagai ibu meski cuma 8 jam sehari justru lebih berat dari 'sekedar' tidak bisa berkarya di kantor. Kerja sih memang cuma 8 jam sehari. Tapi kan sering juga ada lembur yang membuat saya tiba di rumah lumayan larut dan mendapati Freiya yang baru berumur 3 taun itu sudah tidur duluan. kalo sudah begitu, rasanya dunia sepiiii sekali. Ketidakmampuan saya ada di rumah sepanjang hari juga berdampak kurang baik buat perkembangan Freiya. Angan-angan saya punya anak yang fasih berbahasa Inggris sejak kecil terpaksa saya kubur dalam-dalam. Nenek Freiya yang 'bertugas' menjaga dia setiap hari tentu tidak bisa diharapkan untuk beringgris-inggris ria. Dan saya harus maklum.
Tambahan lagi, selain bekerja, saya juga menuntut diri saya untuk juga tetap bergaul di luar jam kerja. Bukan apa-apa, lingkungan pekerjaan saya yang di bidang akademis itu seringkali terasa membosankan. Sementara saya, musuh berat sama yang namanya bosan . Bergaul menjadi salah satu kebutuhan primer saya, dan terpaksa saya lakukan di luar jam kerja, yang lagi-lagi menyita waktu saya bersama Freiya, dan juga ayahnya.
Jadilah saya ini perempuan dengan tiga peran ; pekerja kantoran, ibu rumah tangga, dan perempuan gaul.
notes : gambarnya pinjem dari http://thespeciallife.com
Rabu, Agustus 26, 2009
Jumat, Agustus 21, 2009
Cerita Kiriman: (setengah) lajang dan (setengah) menikah
Seingat saya, Saya selalu ingin menikah muda sejak SMP. Jangan tanya kenapa dan bagaimana bisa karena sebenarnya saya sendiri tidak tahu, yah mungkin karena ingatan manusia (baca: saya) seringnya tidak bisa menjangkau masa yang terlalu jauh di belakang dan tidak terlalu dramatis. Tapi kalau saya tahu efeknya pada kehidupan saya sekarang, saya pasti akan sangat mengingat alasan kenapa saya ingin menikah muda.
Mungkin… ini karena orang tua saya. Ibu saya menikah saat dia berusia 19 tahun (saat itu ayah saya berusia 29 tahun), lalu dia melahirkan kakak saya di usia 20 tahun, melahirkan saya di usia 22 dan adik saya yang paling kecil di usia 27. Saat kami – seluruh anak gadisnya – menginjak remaja, ibu saya terlihat seperti kakak saya yang paling tua. Walaupun tetap ada gap pemikiran (tentu saja! dia ibu dan saya anak kan?!?) tapi dia termasuk ibu yang sangat mengerti anak-anak gadis abege-nya ini.
Melihat rumah tangga orang tua saya, saya selalu berpikir kalau menikah muda itu menyenangkan. Ibu saya adalah seorang full time wife and mother, ayah saya pekerja di sebuah perusahaan yang memonopoli penyediaan listrik negara (kenapa sih ga bilang PLN aja?!), kami –anak perempuannya- juga punya prestasi yang cukup membuat orang tua saya bahagia dan moral kami juga baik, pokoknya semuanya serba keluarga bahagia versi jendela rumah kita, rumah masa depan, atau yah sinetron keluarga macam itulah.
Setelah cinta-cinta monyet masa SMP dan di awal-awal SMA, akhirnya sayapun jatuh cinta pada kakak kelas yang usianya dua tahun lebih tua dari saya, masa pacaran itu berlanjut terus sampai saya kuliah tingkat satu.
Empat tahun berpacaran, kekasih saya saat itu sudah lulus kerja dan bekerja di perusahaan milik orang tuanya sendiri (oh, saya belum bilang ya kalau pacar saya saat itu termasuk golongan “the man who has everythin, tapi setidaknya sekarang sudah tahu kan…) lalu mulailah “wejangan” dari orang tua yang…” sudah empat tahun pacaran, mau ngapain lagi?” dan “jangan kelamaan pacaran, nanti ada apa-apa” dan juga, “menikah itukan ibadah, kenapa harus takut? Udah yakin kan? Atau masih mau cari yang lain?”
Saya dan sang pacar saat itupun berpikir, “Ini sama sekali bukan ide yang buruk, malahan sangat baik…” dan dengan niat baikpun kami menikah.
Sangat benar kalau lajang dan menikah sama senangnya, sama repotnya. Tapi untuk saya saat itu, pernikahan bukan sebuah hal yang saya asumsikan dengan kebahagiaan apalagi cinta. Saat itu yang ada adalah permasalahan, air mata dan rasa sakit. Ya, ternyata masa pacaran hampir lima tahun tidak jadi jaminan kalau pernikahan akan bertahan lama dan cinta serta niat baik saja jauh dari cukup. Permasalahan yang dulu ada saat pacaran dan terlupa begitu saja karena rasa rindu, rasa takut ditinggalkan dan rasa tidak mau sendirian, kini jadi sangat sulit untuk dipecahkan. Apalagi saat anak kami lahir, anggota keluarga baru yang harusnya menjadi sumber kebahagiaan baru malah menjadi sumber rasa sakit dan masalah yang baru.
Akan butuh satu buku – yang depresif- kalau saya harus menceritakan masa pernikahan. Yang pasti, saya kemudian mengambil langkah untuk bercerai. Dengan wajah tegak dan hati yang dikuatkan dengan doa, saya mengurus segala urusan perceraian dan memperjuangkan pengasuhan anak, tanpa menuntut harta gono gini, tanpa meminta tunjangan ini itu.
Masa berlalu, dan inilah saya 7 tahun kemudian. Perempuan berusia 27 tahun dengan seorang anak laki-laki berusia 8 tahun yang terbiasa untuk hidup hanya dengan maminya yang (setengah) lajang karena tak punya partner hidup namun juga (setengah) menikah karena tetap hidup dengan tanggung jawab, kewajiban dan tentunya juga kebahagiaan seorang wanita yang sudah menikah.
Sekarang saya sering berpikir tentang saat dimana saya melajang dan juga saat dimana saya menikah. Pernah terlintas, kenapa saya tidak memilih untuk melajang lebih lama? Mungkin saat ini saya baru akan heboh mengurus pernikahan saya setelah sebelumnya menikmati masa muda bersama teman-teman saya. Mungkin saya kuliah lebih tinggi (walaupun sekarang saya juga lulusan dari Universitas Indonesia dengan IPK nyaris sempurna), mungkin saya bekerja lebih keras dan karir saya lebih tinggi.
Atau seharusnya saya berjuang lebih keras mempertahankan pernikahan saya, seharusnya saya bersabar, seharusnya saya percaya kalau orang akan berubah. Mungkin saat ini saya sudah mencapai impian terbesar hidup saya, menjadi istri, ibu rumah tangga dan penulis!
Tapi kemudian saya mengerti kalau segala sesuatu terjadi karena alasan dan selalu ada hal indah dibalik segalanya. Kalau saya memutuskan untuk tidak menikah, mungkin saya akan mengalami masa muda yang bergejolak dan penuh tawa, tapi saya tidak akan memiliki anak laki-laki yang kini jadi alasan saya untuk tetap berjuang dan tersenyum.
Kalau saya memutuskan untuk tetap menikah apapun alasannya, mungkin sekarang saya sedang menjadi pecandu kopi untuk meredakan beban pikiran (dulu saya sempat begitu), kurus karena tidak pernah napsu makan dan terus menerus merasa tidak bahagia. Mungkin saya tidak akan bekerja di tempat saya bekerja sekarang dimana saya bisa bertemu banyak orang-orang luar biasa yang menginspirasi hidup saya. Dan saya tidak akan pernah menyadari satu kalimat dengan pasti, “cobaan, rasa sakit, kekecewaan, apapun itu, kalau itu tidak bisa membunuh kamu, itu hanya akan membuat kamu makin kuat”
Saya telah memilih jalan hidup saya. Saya pernah menikmati senang dan repotnya jadi lajang dan juga hidup dalam sebuah pernikahan, dan kini saya sedang menjalani masa saya sebagai si (setengah) lajang dan (setengah) menikah. Sedikit lebih berat memang, saat tak ada pendamping sementara sang anak harus masuk rumah sakit (bahkan masuk sekolah pun cukup menegangkan bagi si setengah lajang dan setengah menikah), saat orang-orang senang menjadikan kita bahan diskusi atau obrolan di sela minum kopi atau saat ingin mendiskusikan kemana langkah saya akan dibawa (tentunya bersama seorang anak kecil dalam genggaman tangan).
Masa lajang dan menikah, sama senangnya, sama repotnya dan juga sama – sama harus disyukuri nikmatnya. Saya mungkin tidak akan pernah lagi bisa merasakan masa melajang, tapi saya tidak sabar untuk bisa menikmati lagi senang dan repotnya menikah. Saya tidak trauma kok, dan saya percaya Tuhan akan mengizinkan saya bahagia dalam pernikahan, satu kali lagi.
Picture credit : svilen001. Taken from : http://sxc.hu