Selasa, November 30, 2010

Ini Pestanya Siapa Sih?

“Nyokap gue ngomel kenapa gue ngambil tempat resepsi yang cuma muat dua ribu orang.”

“Bokap gue tadi nyindir, karena gue dan cowok gue nekat mau biayain pernikahan sendiri, jadinya bokap malu karena banyak kenalan bisnisnya yang gak diundang. Bajet gue gak cukup.”

“Gilaaaa! Nyokap tau-tau minta tambahan 500 undangan. LIMA RATUS! Buat pelanggan salon dia.”

Kalimat-kalimat tersebut dan semacamnya makin sering diucapkan Leti, sahabat saya menjelang pernikahannya.

Leti dan Andri, tunangannya, sejak awal sudah berniat membiayai resepsi pernikahan mereka sendiri, tanpa meminta sedikitpun dari orang tua kedua belah pihak. Hanya saja resikonya ya itu, tabungan mereka terbatas. Jadi perayaan juga terpaksa terbatas.

Yang jadi masalah, mereka berdua sama-sama anak pertama yang akan menikah di keluarga mereka. Wajar sebenarnya kalau orang tua mau bikin semewah mungkin, kalau saya bilang sih. Yang tidak wajar adalah memaksakan perayaan akbar walaupun tahu anak mereka tidak mampu melakukannya.

“Bukannya mereka gak nawarin, Dis. Mereka nawarin BANGET buat ngebiayain pernikahan kami. Malah kami sebenernya gak boleh keluar uang sama sekali,” keluh Leti

“Trus lo kenapa gak terima aja tawaran mereka? Lumayan tabungan kalian bisa buat biaya hidup ke depannya,” saya gatel komentar.

“Gue ama Andri gak mau. Kami tuh pengennya ini pernikahan sederhana. Cuma kami, teman dekat, keluarga dekat yang dateng. Lah kok yaaaa mereka gak mau ngertiin sihhhh.” Sebenernya saya mau nyengir lat muka stress Leti, cuma gak tega.

Jadi inget waktu saya nikah sama Panji dulu. Sama sebenernya masalahnya kayak gini, kami nekat mau ngadain resepsi dengan cara kami sendiri, orang tua juga keukeuh mau bantuin. Ya akhirnya kami ngambil jalan tengah aja sih. Resepsinya dua kali. 

Boros? Ya gak juga. Satu resepsi dibiayai penuh oleh orang tua, dengan akibat tamu yang dateng jarang banget yang kami kenal. Yaiyalah, temen-temen dan rekanan mereka semua :D

Sementara resepsi satunya lagi sepenuhnya tanggungan kami. Diadakan di sebuah restaurant yang kami sewa penuh semalaman, makan malam bareng teman-teman dekat, tanpa pelaminan. Santai, penuh tawa, penuh kebahagiaan.

Kami bahagia, orang tua puas.

Balik ke soal Leti, saya pernah coba usulin begitu. 

“Gak mau gue, gue pengen semua sekali kerja, kelar. Kayak gitu dua kali kerja, ribet!”

Ya udah, jadinya saya paling hanya bisa dengerin dia curhat dan nemenin dia di kala stress berat kayak sekarang. Semoga acara mereka nanti juga berakhir dengan kebahagiaan semua pihak seperti saya dulu :) 


Gambar dari sini.

Selasa, November 23, 2010

Yang Tersisa

“Ini gak diabisin?” Mario menggeleng. Anak saya itu suka laper mata. Seneng mesen ini itu, seneng makan ini itu, tapi ujungnya gak diabisin.

“Sayang, mau? Aku gak abis nih.” Lah ya bapaknya juga sama aja, makan ini makan itu, ujung-ujungnya gak abis.

Tempat sampahnya? Ya saya.

Ya sayang dong, udah dimasak capek-capek, udah dibeli mahal-mahal, kok ya gak abis.

Leftovers alias makanan sisa itu pantang buat saya untuk dianggurin. Pertama, saya pernah (dan masih sih sebenernya kadang-kadang :P) jadi orang yang susah. Dalam arti mau makan aja susah, gak ada uang. Sekarang giliran liat makanan sisa, bawaannya gemes, maunya diabisin aja, atau ngomelin yang ngabisin. Huh.

Dulu waktu jaman saya masih SMP dan masih tinggal sama oma dan opa saya, saya juga sering sih laper mata. Ngambil banyak, baru setengah jalan sudah eungap. Kenyang parah.

Akibatnya oma saya sering ngomelin, “Kamu itu makan harus dihabisin, di luar sana banyak orang yang gak punya uang buat makan, gak bisa makan. Ini dikasih makan malah dibuang-buang.”

Dan saya dengan cueknya nyautin dong, “Ih emang kalo saya makannya abis, mereka bakal makan?” Kurang ajar emang :D

Nah sekarang gantian saya yang ngomong gitu ke Panji dan Mario. Duo bapak anak itu emang kompak kalau soal makanan, banyakan gak abisnya.

Alasan kedua, ya saya emang doyan makan aja sih sekarang :D

Akibatnya? Pertumbuhan saya jadi lancar. Tumbuh ke samping maksudnya. Makin lebar.

Pernah baca entah di mana gitu, para ibu yang suka ngabisin sisa makanan anak atau suaminya (atau loh. Atau. Saya malah ‘dan’) cenderung membesar, Yaiyalah, udah pesen buat porsi sendiri, ngabisin porsi orang lain juga :P

Untuk mencegah pelebaran itu, dan mencegah suami melotot liat saya beli baju baru karena baju lama gak muat lagi, sekarang saya menyiasatinya dengan gak ikutan pesen. Mereka pesen makan, saya pesen minum.

Tapi yaa, inget kan alasan kedua di atas? Saya doyan makan. Liat makanan di meja, liat menu di resto, malah kalap sendiri.

Jadi ya lupain aja itu niatan gak ikut pesen atau ngambil makan dan cuma nunggu limpahan.

Tapi yaa, sekarang sih saya pikir daripada ngomel (tapi dimakan juga) ya dinikmatin ajalah. Bisa makan bareng anak dan suami. Bisa ngeliat mereka seneng liat saya makan banyak (entah kenapa). Bisa masih mendapat kesempatan untuk makan sampai kenyang. Ngapain juga dikeluhkan.

Hidup cuma sekali. Halah pembenaran. Makan mah makan aja padahal. SELAMAT MAKAN!

*Ditulis sambil menghabiskan sisa nasi goreng sosis sarapannya Panji.*

sumber gambar dari sini

Jumat, November 19, 2010

'Ibuku Bilang Aku Harus Kawin eh Nikah!'

Tibanya undangan pernikahan sepupuku, Senny, yang berumur 24 tahun, tadi siang benar-benar menjadi perusak moodku! Gara-gara undangan itu, mendadak Ibu-ku jadi ingat obsesinya menikahkan putri tunggalnya --- alias aku --- saat umurku 25.

Yang mana..... sudah blas lewat empat tahun ya bok. Umurku 29 sekarang, 29 lewat 3 bulan.

"Tuh, Rae, Neng Senny aja udah nikah. Kamu teh gimana sih? Cepetan atuh, nikah. Kamu tuh udah kelewat nikah berapa banyak sepupu coba?" itu adalah preambule dari Ibu, saat ia menerima undangan tersebut. Sialnya, aku nggak sempat kabur.

"Udah atuh lah, Mamah. Bosen. Tsk." aku berusaha memaksimalkan rengutan di wajahku, berharap dengan ini, ibuku malas meneruskan konversasi.

"Ya abis, kamu nih gimana, sih? Santai banget. Umur kamu teh udah nggak muda lagi, Raenina. Mau nikah umur berapa siih?"

"Udah! Ya ampun, mamah! Capek dengernya."

"Tah, anak muda jaman sekarang, mah, dibilangin baik-baik malah marah-marah sama ibunya. Kumaha sih? Ini mamah teh maksudnya baik, Rae. Mamah teh udah tua, si papah udah nggak ada, gimana coba kalau misalnya sebentar lagi mamah meninggal, dan kamu masih sendiri? Nggak ada yang ngejagain?" suara ibuku bergetar.

Ya ampyuuun. Nggak suka deh sama drama 'ntar-kalau-mamah-meninggal'. Iiiih. Ibuku tau banget bahwa kalimat 'kalau-mamah-meninggal' itu selalu berhasil menyodok ulu hatiku. Membuatku merasa super bersalah --- karena nggak becus cari suami.

"Mamah, atuh gimana lagi coba? Jangan dikira aku belum usaha, tapi ya emang jalannya belum aja. Kan kata orang juga, jodoh itu bakal datang?" suaraku melunak. Iya memang aku sudah usaha, tapi cowok-cowok itu selalu kabur setiap aku menyatakan keseriusanku, dan bilang bahwa aku sudah malas pacar-pacaran. Aku nyari suami.

"Ya, tapi kamu teh udah ampir 30 tahun! Mau punya anak umur berapa coba? Mamah teh pengen gendong cucu juga." ibu berkaca-kaca.

Ibuku memang drama queen. Pandai membuat aku merasa terpojok.

"Arrgh, itu lagiiiiii. Ibu tuh, cuma pengen aku nikah supaya keinginan ibu punya cucu tercapai! Ingin aku membahagiakan ibu dengan ngasih cucu, tapi ibu terus menekanku dan bikin aku nggak bahagia. " aku menepuk jidatku dengan dramatis, lalu menggeleng-gelengkan kepalaku. Eh aku sudah bilang belum, kalau aku juga drama queen? Genetis. Tapi aku tidak sepiawai ibu, buktinya, aku selalu merasa terpojok dalam setiap drama episode 'ayo-kawin-eh-nikah-nak!'

"Raenina," ibu menghela napas," Bukan gitu, justru ibu yang pengin kamu bahagia, Nak. Punya suami, punya keluarga yang harmonis, punya anak-anak yang lucu-lucu. Kalau kamu udah punya itu semua, ibu bakal tenang deh ninggalin kamu."

Jah, dianya, ngebajay, ngeles.

"Udah ah Bu. Aku capek." aku pun bangkit.
"Mau ke mana kamu?" tanya Ibu.
"Mau ketemu Alexa."
"Aduh, Alexa? Kamu nih, jangan kebanyakan bergaul dengan dia, nanti nggak kawin-kawin."
"Tsk, apaan sih Bu?"
"Ya itu, Alexa kelewat cuek, kemarin pas dia ke sini, masak ditanya kapan nikah, dia jawab,'ntar lah tante, menopause masih jauh ini.' Ibu nggak suka, dia tuh pengaruh buruk buat kamu karena dia seolah merendahkan pentingnya menikah."
"Udah ah. Pamit bu." aku memutuskan untuk cabut, kalau diterusin kagak beres-beres. Aku pun meraih lengan kanan ibu dan menciumnya.
"Ya sudah, hati-hati Nak, pulangnya jangan malem-malem."

...

"Sembilan bulan cari suami? Itu bukan memotivasi diri, itu... lu sintiiing." Alexa terkekeh. Mukanya tampak geli setelah mendengar cerita bahwa aku ingin menikah sebelum tiga puluh. Beneran deh, konversasi dengan Ibu membuatku nggak nyante.

"Mbok ya elu, sebagai temen, dukung dong. Cariin calon suami kek." Balasku.

"Raenina, bilang elu nggak serius." muka Alexa masih tampak geli.

"Serius nggak serius sih. Serius nggak serius dengan bonus desperate. Ga tau ah."

"Kenapa sih lo? Yang bener aja lo mo buru-buru nikah gara-gara pengen punya anak. Tolong laaah."

Aku terdiam. Iya barusan aku bilang, aku ingin menikah, karena ingin punya anak. Ih, alasan yang tolol, aku tahu itu. Beneran deh drama episode 'Kamu harus kawin,Nak' memengaruhiku banget hari ini.

"I sound stupid, ya?" tanyaku.

"Banget." jawab Alexa,"Pasti gara-gara dipaksa nikah sama nyokap lo ya?"

"Bijitulah, Lex." aku mengerutkan bibir.

"Cuekin aja napa sih?"

"Jaaah, gimana cara mau nyuekin nyokap? Empat tahunan, Lex, gue diteror nikah sama nyokap."

"Atau bilang sama nyokap lo, santai aja, ntar kalo waktunya, ya terjadi juga. Kalau emang belum mungkin menikah, ya masa dipaksain? Masa sih lo kudu mungut calon suami dari pinggir-pinggir jalan demi cepat menikah? Nikah kan seumur hidup. Nggak bisa buru-buru, nggak bisa instan." Kata Alexa. Ia benar, tapi aku bosan.

"bosen ah sama teori lo!" aku makin merengut.

"Ih dibantuin mecahin masalah malah gitu, jawabnya. Nyebelin lu." Alexa --- si cewek yang opininya nggak boleh dibantah --- merengut. Ia tampak tersinggung.

"Ya, karena itu nggak ngebantu, Lex. Elu pernah diteror nikah segitu rupa sama ortu lo?"

"Nggngng... nggak."

"Nah, berarti lo nggak tau gimana rasanya jadi gue. Semua teori lo cuma applicable sama kehidupan lo, nggak di kehidupan gue. Ortu lo membebaskan lo soal nikah-menikah, nyokap gue nggak --- segala teori nyantai aja itu nggak berlaku buat nyokap gue."

"Emang lu udah nyoba?"

"udah. Empat tahun itu. Nggak ngaruh, Cooong."


Alexa terdiam. Tampak ia juga kehabisan kata-kata. Aku menghempaskan punggungku ke sandaran kursi.

"Tapi, serius. Lo emang beneran mau kawin sebelum umur tiga puluh, which is 9 bulan lagi? Atau lo cuma emang lagi kesel aja?" tanya Alexa.
"Ntah."

Marriage is not about age; it's about finding the right person.
(Sophia Bush)


Sumber gambar : Gettyimages.com
By the way, ini mencoba cerita bersambung dengan label : Raenina Mencari Suami, kalau mendadak bosen pengen ganti cerita, jangan protes yah. Protes Mbayar :))

Kamis, November 11, 2010

Raenina Mencari Suami : Target Menikah.


"Gue pengen nikah sebelum umur 30!" Kata Raenina tak berujung pangkal, saat kami sedang makan siang bareng di foodcourt sebuah pusat perbelanjaan.
"Deuh, kemarin katanya umur 27." jawabku.
"Kali ini beneran 30, nggak boleh mulur lagi!" perempuan manis berambut lurus panjang itu menjawab tegas.
"Dan sekarang lu umur?" tanyaku dan ini sudah jelas aku sekedar meledek, aku tahu kok umurnya.
"Dua sembilan." jawabnya lirih, matanya yang bulat meredup.
"Berapa lama lagi 30?" tanyaku, masih dalam rangka meledek.
"Ehm, sembilan bulan lagi." suaranya semakin melirih.
"Baiklaaaah.Calonnya?" aku tertawa geli.
"Itu dia!"

Aku ngakak, sudah setahun ini Raenina menjomblo, beberapa kali ia memang tampak dekat dengan beberapa orang cowok, tapi ya dekat secara kasual aja, sekali, dua kali, paling pol tiga kali kencan. Setelah itu nggak ada kelanjutan. Dan masalahnya selalu sama, cowok-cowok itu kabur, gara-gara Raenina terlalu grasa-grusu, baru aja dekat, sudah main todong : aku nggak nyari cowok, aku nyari suami. Ya panik lah para lekong itu. :D

Dan seperti biasa, kalau sudah ngomongin target menikah, wajah Raenina tampak gelisah. Dan dari kapan tau, aku nggak ngerti, kenapa Raenina selalu bikin target menikah, yang sering bikin dia stress.

"Udah lah, cong, santai aja." cetusku.
"Santai gimana cara? Umur kan nggak brenti. Keburu ketuaan gue ntar!" sergahnya.
"Emang kenapa kalau 'ketuaan'?'
"Susah punya anak!"

Selalu 'umur tidak berhenti', 'waktu biologis' yang jadi alasan kenapa ia bikin target menikah.

Dan aku tetap tidak mengerti.

Apakah 'punya anak' itu satu-satunya tujuan menikah? (Dan apakah punya anak itu harus menikah? Kan bisa..... adopsi, gitu. :P)

Sejujurnya sampai sekarang 'bayangan ideal'-ku tentang menikah adalah meleburkan diri dengan pasangan plus menghabiskan sisa hidup dengannya, dan untuk lebur dan menghabiskan sisa waktu dengan orang yang itu-itu saja, tentunya adalah satu keputusan yang berat, yang nggak bisa diambil secara instan. Setidaknya aku harus yakin, bahwa aku dan pasanganku 'tidak apa-apa' kalau jalan bareng sampai salah satu atau dua-duanya mati.

Punya anak? Nggak pernah terlintas kalau ngomongin soal nikah. Kejauhan. Itu sih, gimana ntar aja kali ya, yang penting, partner-nya dulu.

Yup, menikah dan punya anak tidak pernah menjadi satu paket dalam benakku. Atau, atau.. mungkin emang aku saja yang aneh?

Dan sekarang, menghadapi Raenina yang ingin menikah karena ketakutan akan 'jam biologis'-nya yang terus bergerak, ketakutan nggak bisa punya anak, sungguh membuatku bingung. Aku menangkap kesan bahwa Raenina ini, tidak peduli partner menikahnya siapa, yang jelas ia harus punya anak sebelum alat reproduksinya layu.

"Tekat gue udah bulat. Dalam sembilan bulan ini, gue harus udah menikah." katanya, dengan tegas dan pasti.
"Halah, udahlah, Nin. Serem gue denger lo."
"Ini namanya memotivasi diri." katanya.
"Sembilan bulan cari suami? Itu bukan memotivasi diri, itu... lu sintiiing." aku terkekeh.
"Mbok ya elu, sebagai temen, dukung dong. Cariin calon suami kek."

Dan aku tetap takjub dengan Raenina. Mau gimana caranya coba, dalam sembilan cari suami?


“Marriage is like a cage; one sees the birds outside desperate to get in, and those inside equally desperate to get out.” (Michel de Montaigne, French Philosopher and Writer, 1533 - 1592)


Sumber gambar : gettyimages

Jumat, Oktober 15, 2010

Salah Satunya Salah Kostum





Menjadi pasangan suami istri memang ga selamanya harus punya cara pikir yang sama. Contohnya saya dan suami. Entah karena perbedaan umur yang cukup jauh (13 taun), entah karena memang gaya berpikir yang sama sekali lain, saya dan suami banyak memandang hal yang sama dari sisi yang berbeda. Terjebak dalam perbedaan pendapat, ya udah biasa. Untungnya nggak sampe berantem, tapi dia justru sering mentertawakan cara berpikir saya yang berbeda 180 derajat dengannya. Demikian juga kebalikannya, saya sering dengan mata terbelalak memandang dia dan berpikir betapa aneh cara berpikirnya dia. Dan kemudian berujung berpikir, ini gimana orang yang sedemikian lainnya dari saya, kok bisa jadi pasangan hidup?

Perbedaan cara berpikir saya dan suami nggak cuma dalam hal yang serius. Cuma perihal kostum aja kita bisa beda banget. Ini contohnya :

Dia : hari ini ada acara reuni, ikut ya
Saya : OK, dress code nya apa ?
Dia : Santai aja kok
BUM !

Saya kemudian muncul dengan celana pendek plus kaos dengan sepatu keds, dia muncul juga dengan sepatu keds, tapi dengan celana panjang jeans dan kemeja tangan panjang yang digulung tangannya. Baiklah. Santai buat saya adalah celana pendek dan kaos, sementara standar santainya dia adalah kemeja panjang dengan lengan digulung. Untung serumah, yang begini-gini bisa diperbaiki seketika.

Kali lain perihal yang lebih serius. Seorang teman kami 'terpaksa' menikahi pacarnya, karena si pacar hamil. Kemudian, pendek kata, setelah melahirkan, si teman tahu bahwa anak yang dikandungnya ternyata bukan anaknya. Posisi yang sulit, saya bahkan tidak berani memberi ide dan pandangan apa-apa ketika si teman bercerita. Tapi saya kemudian mendukung ketika dia akhirnya memutuskan untuk menceraikan istri yang baru dinikahinya selama 7 bulan itu. Kelar urusan cerai, suami saya mengerutkan kening pertanda punya pendapat lain. Menurutnya, kendati itu bukan anak darah dagingnya, dia tetap harus menikahi si pacar. Alasannya karena, toh hamil nggak hamil, dia pernah meniduri perempuan itu. Oh man, inilah saat saya saya terbelalak dan menyadari betapa 'kuno' nya suami saya! Perbincangan berlanjut dengan 'pembelaan' saya bahwa kalau itu bukan anaknya, berarti kan ada lelaki lain yang pernah berhubungan sex dengan perempuan itu. debat berlangsung agak panjang dan tiada berujung sampai akhirnya saya menyerah tanpa mengiyakan bahwa pendapat dia masuk akal.

Itu 2 contoh hal yang pernah terjadi diantara kita. Kalau sudah begini, jangan tanya selera ya. Jauuuh beda. Kalau taun 80an dulu, kata Ari Wibowo “kau suka keju, aku suka singkong: :). Saya suka tempat ramai, saya menikmati jalan ke mall dan makan di tempat yang berdesakan. Suami saya memilih diam di rumah saat libur, tidur sepanjang hari, atau nonton atau bikin betul ini itu di rumah. Saya menikmati menjelajah tempat-tempat makan baru, suami saya akan makan apa aja yang disediakan untuknya. Saya menikmati musik yang akrab di telinga alias lagu-lagu populer yang ringan, suami saya menyukai musik njelimet yang menurut saya semakin didengar, semakin bikin pusing.

Beda halnya dengan sepasang suami istri yang baru saya kenal beberapa bulan lalu. Saya pernah mengobrol terpisah dengan keduanya. Ketika ngobrol dengan si istri, saya sempet kaget karena apa yang dibilang si istri persis sama dengan apa yang pernah dibilang si suami pada saya sebelumnya. di lain kesempatan, kami bertiga ngobrol sama-sama, Lucunya, mereka saling melengkapi kalimat karena masing-masing tau persis apa yang mau diomongin sama pasangannya. Dengan tepat dan tanpa salah. Cara pandang yang sama, umur yang ngga terpaut jauh, dan selera yang sama pula. Kayaknya mereka nggak bakalan pernah ngalamin yang namanya salah kostum seperti yang sering saya alami bersama suami. Mereka juga cenderung pergi kemana-mana berdua, maklum dua-duanya sama-sama suka jalan.

Terus, apakah dengan memiliki minat yang sama persis satu sama lain maka hidup rumah tangga akan jadi lebih mudah? Eits jangan salah, sama hobby, sama umur, sama selera dan sama gaya biasanya berujung sama tabiat :). Bisa jadi sama-sama tukang marah, bisa jadi sama-sama tukang memendam amarah.

Engga, saya nggak bilang mana yang lebih baik. Menjalani hidup rumah tangga, dua-duanya sulit. Nggak ada yang lebih gampang. Saya merasa banyak dimenangin karena saat saya marah, suami saya selalu lebih adem, akhirnya marah saya menguap begitu aja. Di sisi lain, saya sering kehilangan partner untuk jalan-jalan cari makanan baru itu tadi. Teman saya yang suami istri itu tadi mungkin nggak pernah kesepian saat jalan-jalan karena selalu ada untuk satu sama lain, tapi pasti sulit menghadapi pasangan ketika sama-sama marah.

Siapa yang bilang menikah itu mudah? Semua sulit dengan ragamnya masing-masing. Dan semua bisa diatasi dengan caranya masing-masing :)

note : gambar pinjem dari www.clipartof.com

Selasa, Juli 20, 2010

Ketika Insomnia




Semasa belum menikah dulu, seperti teman-teman yang lain juga, saya suka mengidap insomnia akut alias ngga bisa tidur. Kadang-kadang melek aja gitu sampe subuh datang dan baru tertidur menjelang pagi, tepat satu-dua jam sebelum harusnya bangun dan ngantor. Di masa-masa nggak bisa tidur itu sumpah nggak enak banget. Kesel karena pengen tidur, trus jadi mikir-mikir segala macem yang nggak penting, dan besok paginya super ngantuk dan males ngapa-ngapain. Apalagi di masa setelah makan siang. Tambah ngantuk. Tambah males. Tambah ngga kepengen ngapa-ngapain.

Apa sih yang biasanya dipikirin sampe ngga bisa tidur? Biasanya yang paling sering sih masalah cinta-cintaan-lah. Apalagi pas berantem sama si pacar, dan malam itu, tiba-tiba handphone si pacar nnggak bisa dihubungi, atau ditelepon nggak diangkat-angkat. Semakin menambah kesewenan dan semakin bikin nggak bisa tidur. Kali lain nggak bisa tidur karena mikir lebih serius, misalnya kenapa hidup kita berasa ga maju-maju (ini dugaan teman saya si PetitePoppies). Temen saya yang lain ngakunya mikir gimana caranya bisa tidur saat nggak bisa tidur (yaiyalah dong ya). Jawaban lain bervariasi antara mikirin gawean, mikirin prospek-an, mikirin makanan, dan lain-lain.

Setelah menikah, tanpa sadar saya kok nggak pernah mengalami lagi yang namanya susah tidur. Menginjak umur pernikahan yang 4 tahun ini, belum pernah semalam pun saya lewati tanpa nggak bisa tidur.

Kenapa begitu? apa selama belum menikah dulu saya begitu cemas dan khawatir mengenai kenapa belum kawin-kawin? Ah rasanya sih engga *denial*. Terus kenapa dong begitu menikah, eh penyakit insomnia nya ilang.

Kalo dipikir-pikir lagi, dulu waktu belum menikah itu apa sih yang dipikirin? Palingan cuma urusan baju itu sepatu ini, kalung itu anting ini kan ya. kalau saya memang dari dulu anti bawa kerjaan ke ranjang. Dengan kata lain, kerja di ranjang atau sampe nggak bisa tidur karena kerjaan.

Padahal dengan menikah, persoalan tidak berkurang tapi justru bertambah. Waktu single sih saya nggak pernah mikirin harus bayar tagihan listrik, bayar tagihan telepon, mikir beli susu, mikir imunisasi dan mikir-mikir segala rupa lainnya. Dan ketika single, yang kita pikirin itu kan kita sendiri. Sakit ya penyakit sendiri yang dipikirin, ke dokter pergi sendiri, minum obat sendiri dan sembuh sendiri. Setelah menikah, nggak cuma mikirin badan sendiri aja. Suami sakit ikut repot siapin obat dll, apalagi anak sakit, wah lebih repot lagi.
Menurut pengalaman pribadi sih, meskipun persoalan bertambah banyak, tapi menikah itu beraarti mempunya partner yang (harusnya ) sedia setiap saat. Ada seseorang lain yang bisa diajak berbagi mengenai semua persoalan yang ada di depan mata. Kalau si PetitePoppies bilang, kita udah tau harus pulang kemana :)

Jadi ya, sebetulnya bukan besarnya persoalan yang menjadi soal. Tapi ada tidaknya partner kita berbagi. Menikah itu memang menambah masalah sih. Kita yang tadinya cuma mikir diri sendiri, sekarang jadi harus mikirin pasangan, anak-anak, juga mikirin mertua. Bertambahnya anggota keluarga kan berarti bertambah pula beban pikiran yang harus kita terima.

Jadi kata siapa menikah itu cuma perihal seneng-seneng? ngga senengnya juga banyak ciiinn.... Tapi ya seperti pilihan hidup yang lain, semua ada plus minusnya :)

Balik lagi ke soal nggak bisa tidur itu tadi. Bagaimana kalau ternyata selama belum menikah itu kita sering nggak bisa tidur karena emang keasyikan marathon DVD kali? atau keasyikan baca buku kali? hehehe.....

Kalo saya sih ya, selain secara psikologis merasa lebih tenang karena punya partner sharing dalam banyak hal, tapi secara fisik justru merasakan bahwa menikah itu memang melelahkan. Apalagi kebetulan setelah menikah rumah malah jadi lebih jauh dari kantor. Trus kalo dulu kan pulang kerja, gaul bentar, trus tiduran deh, atau nonton sampe bego. Kalo sekarang, pulang kerja lebih malem (karena rumahnya jauh), sampe rumah main-main dulu sama Freiya (yang kebetulan batere nya full charged terus, sampe jam 11 malem aja masih jumpalitan). Udah gitu, bangunnya lebih pagi pula, karena meskipun bukan tipe istri rajin yang selalu menyiapkan baju kerja dan sarapan buat suaminya, sekarang kan kamar mandi bukan milik pribadi lagi, harus dibagi penggunaannya dengan si suami yang nanti berangkat kerja bersama. Tuh kan cape. dan ketika hari minggu atau hari libur datang, kalau sebelumnya bisa tidur-tiduran terus menimbun kemalasan, sekarang sibuk mikir mau bawa Freiya main kemana. Dan ketika pilihan mainnya ke playground tempat mandi bola, ya kita ikutan keringetan juga walaupun cuma ngejagain.

note : gambarnya pinjem dari www.icant-sleep.com :)

Rabu, April 28, 2010

Cerita?, Nggak Cerita?




Wah udah lama ga update ya. Maaf, maaf. maklum kalo kontributornya mentri ya repot sih. Yang satu mentri pendidikan alias berkarya di bidang pendidikan, yang stau lagi mentri sosial, dimana kerjaannya bersosialisasi alias kebanyakan nongkrong. Oh well......

Udah ah, semoga mulai hari ini dan seterusnya kita bisa terus apdet di Lajang Dan Menikah ya, secara cerita mah sebetulnya ga pernah abis.

Sebelum menikah dulu, saya nggak pernah terbayang bahwa di dalam satu pernikahan khas Indonesia dimana banyak orang yang terlibat (baca:keluarga), akan ada seabruk-abruk masalah yang justru tidak datang dari pasangan kita sendiri, tapi dari sekitar (baca lagi:keluarga). Kalo dipikir-pikir lagi tidak semuanya juga kemudian menjadi masalah sih, bisa juga jadi sebuah perhatian atau tanda sayang. Ya, tergantung kita melihatnya dari sudut mana.

Sebelum mulai cerita kesana kemari, saya kelihatannya harus bilang kalau saya sebetulnya memang orang yang nggak terlalu perhatian sama kiri-kanan. Ada kalanya saya perhatian sekali, tapi sering kali saya juga agak cuek dan sama sekali nggak ada perhatian. Bagian apa yang harus saya perhatikan dan bagian apa yang nggak terperhatikan, semuanya subjektif, gimana saya aja. Dalam hal beginian, ada banyak hati dan sedikit otak yang mempengaruhi sikap saya. Namanya juga subjektif kan.

Dalam keluarga, tentu wajar banget yang namanya saling memperhatikan kan. Apalagi dari nggak punya keponakan, tiba-tinba saya punya 8 orang keponakan, umurnya lagi lucu-lucunya pula. Ada yang beranjak remaja ada pula yang masih kecil-kecil. Mereka semua tinggal di luar kota, ketemuannya ya cuma kalo liburan aja sih. Seru juga, anak-anak kelihatan banget pertumbuhannya, selalu beda tiap ketemu. Nggak seperti nan tulang (tante) nya ini yang begini-begini aja.

Di kumpulan keluarga, saya termasuk orang yang agak jarang bercerita-cerita (padahal kalo nge-blog bisa banjir semua ceritanya, hehe). Paling banter yang saya ceritakan, ya soal Freiya, soal kelucuannya dan tingkahnya yang selalu bikin gemes aja. Eh jarang bercerita ini dalam konteks lagi ga ketemuan ya. Maksudnya kalo sengaja-sengaja telepon atau SMS berpanjang2 untuk cerita sih engga, tapi kalo udah ketemu sih ya suka juga cerita-cerita.

Sialnya membagi apa yang sebaiknya diceritakan dan apa yang sebaiknya ngga usah diceritakan itu nggak ada patokan atau standarnya.. Ada kalanya menurut kita ini perlu diceritain, eh ternyata engga. Ada juga waktu kita berpikir ini nggak usah diceeritain, eh malah dibahas “kok ngga cerita-cerita sih” Hal-hal begini lumayan membuat saya kepingin garuk-garuk tanah (cari berlian).

Kalo saya sedang dalam masalah, saya agak jarang cerita. Bukan sombong ya, tapi kalo emang nggak bisa juga menyelesaikan masalah, buat apa sih cerita-cerita. Apa? supaya bisa didukung dalam doa? Oh oke deeeh :).

Biasanya saya cerita kalo masalah udah selesai justru. Kayak beberapa bulan lalu, Freiya tiba-tiba kakinya sakit lalu dibawa ke rumah sakit. Di rumah sakit saya harus memutuskan sendiri tindakan operasi. Urusannya sih ringan tapi berhubung dia masih kecil, otomatis perlakuannya istimewa. Waktu itu saya ambil keputusaan sendiri dan menandatangani surat kesepakatan operasi. Suami sedang di luar kota waktu itu, lagi meeting pula. Saya memutuskan untuk nggak bilang sama dia sampai operasinya selesai dan Freiya baik-baik saja. Dia tentu kaget tapi nggak sempat lagi marah waktu tau akhirnya Freiya dioperasi. Saya sengaja nggak bilang, karena buat apa? malah ganggu yang lagi meeting dong, sementara saya tau dia juga nggak bisa mendadak pulang menemani saya di rumah sakit. Di sisi lain, saya juga membiasakan ebrbagi tugas dengan suami. Salah satu dari kami harus memperhatikan anak saat dalam keadaan sakit seperti itu, sementara yang lainmnya harus tetap konsentrasi pada pekerjaannya. Siapa yang mikir anak siapa yang mikir kerja, tentu bergantian, sesuai keperluan aja. Pernah juga waktu Freiya sakit dan saya harus kerja, suami yang diam di rumah ngurus anak. Saya pergi kerja karena memang ada kerjaan yang nggak bisa ditinggalin.

Nah waktu operasi hari itu, saya sama sekali nggak bilang siapa-siapa. Iya, bawel dikit di Twitter sih, secara masih perlu diperhatiin teman-teman yang manis manis itu. Tapi sama keluarga, saya justru nggak bilang. Sama seperti pada suami, saya cerita setelah operasi usai, Freiya baik-baik saja, bahkan sudah pulang ke rumah.

Coba bayangkan kalo sebelum operasi saya udah bilang-bilang, apa nggak jadi pada panik sih ya? terus juga nggak menutup kemungkinan mereka lalu berinisiatif datang menemani saya. Sementara saya juga dalam keadaan panik dan males ngomong sama orang, eee, bukannya malah jadi repot ya.

Berhubung umur pernikahannya baru, belum genap 4 tahun, saya yang juga masih suka bingung membagi apa aja yang harus diceritain, apa yang nggak harus diceritain. Yang jelas saya sih berpikir sederhana aja. Kalo sekiranya bakal bikin repot dan nggak menambah nilai terhadap apapun juga, saya memilih diam ga cerita. Tapi kalau memang dengan cerita ada nilai lebih yang bisa didapat, baiklah saya akan cerita.

Untungnya, keluarga suami dan keluarga saya cukup banyak mengerti kalau saya sering nggak bilang-bilang mengenai apa-apa yang kita alami. Nggak ada sih tudingan-tudingan macam mencerca saya sombong atau dll dll. Saya pikir memang harus demikian. Bagaimanapun, keputusan membagi cerita itu kan ada di tangan kita, atau dengan kata lain, “gimana gue aja kaleee”.

Rabu, Maret 24, 2010

Nasib Si Menikah





“Susah memang kalau sudah tidak single lagi”. Begitu keluh seorang teman yang merasa kakinya tidak lagi bisa melangkah dengan bebas seperti waktu belum menikah dulu. Mau janjian ketemu teman lelaki aja parno. Pilih tempat yang kurang peminat supaya ketemu dengan keluarga kemungkinannya kecil. “Soalnya ipar-ipar gua orang pada bergaul semua. Nongkrong di PVJ sama teman sih alamat diomongin sampe dower di rumah mertua nanti”, katanya lagi. “padahal gua kan belom punya anak ya, jadi harusnya lebih longgar juga dong. Masa iya kesana kemari kudu sama suami. Mending kalo dia punya waktu buat nganter gue kemana-mana”

Demikian sore itu teman saya mengomel dari ujung ke ujung soal bagaimana being married kemudian membatasi langkahnya dalam bergaul. memang sih suaminya bukan tipe pencemburu dan bukan pula tipe yang harus kesana kemari bareng-bareng. Tapi beban terberat adalah memang ada beberapa orang yang mulutnya kali ada tiga. Melihat kenalan makan siang dengan seorang pria, langsung jadi gosip. Melihat istri teman ngopi-ngopi sore dengan seorang lelaki, langsung aja jadi rame.

Padahal kami-kami yang menikah ini kan juga perlu bergaul. Dan yang namanya bergaul itu nggak bisa dibatasi hanya untuk ngumpul sesama ibu-ibu aja, atau kumpul sama temen-temen perempuan melulu. Kadang juga perlu untuk tetap bergaul dengan teman-teman gila masa SMA yang notabene banyaknya lelaki. Di lain hal, kadang kita terkadang punya urusan bisnis atau pun cuma pengen sekedar ngobrol dengan teman laki-laki kan.

Si teman saya yang barusan itu sebetulnya nggak terlalu ambil pusing sama gosip ini itu, tapi dia sedikit merasa khawatir akan cara pandang orang terhadap suaminya. “kasihan suami gua kalo orang bilang istrinya tukang nongkrong sama orang lain”, katanya. “Gua sih sebodo amat, tapi laki gua kan yang orangnya tertib dan lurus banget gitu ya, kesian juga kalo orang berpandangan begitu. Sementara laki gua kan bukan selebritis yang bisa bikin konferensi pers soal saya-tidak-keberatan-kalo-istri-saya-sekali-kali-pergi-makan-dengan-teman-lelakinya.

Saya juga termasuk perempuan menikah yang masih suka nongkrong sana nongkrong sini cekakak sana cekikik sini. Ya di dalam kesibukan yang segunung, bisa juga cuma chatting sana chatting sini :) Sebenernya beban saya sedikit lebih berat, kan udah punya anak. Se-hobby-hobbynya bergaul, di saat punya waktu kosong tak bekerja, ya juga pengen pergi atau pokoknya quality time sama anak semata wayang.


Beberapa kali saat jalan sama temen (lelaki), eh ketemu juga dengan temen yang juga temen suami, atau bahkan dengan sanak saudara sekalian. Saya sih suka santai aja, “hai”. perihal udahnya mereka mau ngomongin di belakang ya terserah-terserah aja. Tapi udahnya saya suka buru-buru bilang ke suami duluan. Soalnya cerita yang nyampe pertama kan biasanya cerita yang masuk ke hati :). Dan memang ngga bisa juga mengelak kan kalo pas ketemu orang, eh kita nya lagi cium-cium, hehe. Masa iya mau lapor sama suami, “iya, jadi tadi pas aku cium-cium sama si Reno, eh Tante Ida nongol”. Bwahaha, menghayal.

note : gambarnya 'pinjem' dari www.datingche.blogsome.com

Rabu, Februari 24, 2010

Pinternya Anak Anak




Siapa bilang punya anak itu perkara gampang, sini ta' kemplang. Eh apa sih baru mulai posting udah ngomel :). Jadi ceritanya saya ini ingin mencoba menjadi seorang ibu modern. Yang nggak nakut-nakutin anaknya, yang nggacerita-ceerita bohong sama anaknya, dan beberapa hal lain yang saya pandang kuno, tapi cukup mendarah daging di masyarakat kita.

Salah satunya adalah kebiasaan orang tua yang suka nyalahin orang lain atau bahkan barang ketika anaknya kejeduk. Misalnya kejeduk pintu, ketika anak nangis, serta-merta untuk meredakan, si ibu menyalahkan pintu, "dasar pintu nakal". Biasanya kata-kata ini disertai dengan gerakan memukul pintu. Oh.

Buat saya, membiasakan diri membuat bahwa selalu ada kambing hitam dalam setiap hal jelek yang menimpa dia tentu bakal terbawa sampai besar. Kelak ada hal jelek yang beneran terjadi, dia akan selalu dengan mudah mencari kambing hitam. Kenapa sih ga bilang aja, supaya ngga kejeduk ya harus hati-hati. Jadi anak juga dibiasakan berpikir untuk hati-hati supaya ngga ada hal buruk menimpanya.

Contoh lain ketika anak susah makan. Kata-kata yang mudah keluar adalah, "ayo cepet makan kalo engga nanti ibu guru marah". Ehm. Emang apa urusannya anak ngga mau makan sama ibu guru marah sih? Perkataan seperti ini menurut saya malah bisa membuat sosok guru sebagai sosok yang menyeramkan di mata anak2. Nanti anaknya males sekolah, ibunya juga lho yang pusing.

Satu kali saya makan di food court, seorang ibu nampak kesulitan menyuapi anaknya. "ayo cepet makan", katanya. "Nanti mangkoknya mau diambil yang jualan", lanjutnya. Hihihi, menurut saya kali ibu ini keseringan jajan baso yang lewat depan rumah.

Dan yang menyebalkan adalah ternyata suami saya suka begitu juga. Oke, pernah, bukan suka. Satu kali kami pergi ke kantor pake taxi karena mobil lagi di bengkel. Freiya, tumben-tumbennya kepengen ikut, bahkan sampe nangis segala. Saya sih anteng aja, tetep bilang bahwa kita mau kerja, dan ngga bisa ikut dong Freiya nya. Tangisan semakin menjadi sampai akhirnya suami saya bilang, "jangan ikut Freiya, nggak boleh sama Bapak Supir Taxi".

Doenngggggg ......

Saya spontan marah. Lah, apa urusannya Bapak Supir Taxi melarang anak ikut bersama kita kan ? nanti si anak pikir hajat kita ditentukan sama Bapak Supir Taxi kan repot.

Saya mendebat suami saya dan mungkin karena lumayan masuk akal, dia pun mengalah.

Kita sebagai orang tua seringkali nggak menyadari bahwa anak-anak itu dilahirkan pintar. Apalagi anak jaman sekarang yang gizi nya jelas. Kata siapa anak nggak bisa ngerti apa yang kita sampaikan ? Udah nggak jamannya lagi anak-anak dibohong-bohongin. Atau malah jangan-jangan kebanyakan dibohong-bohongin, anaknya malah kurang pinter beneran. Saya inget dulu mama saya melarang saya berdiri di samping kuda dengan alasan nanti kudanya nendang. Di umur saya yang dua puluhan kemudian saya baru tau bahwa kuda itu nggak bisa nendang ke samping, sodara-sodara. Yah semacam itulah, kebohongan yang disampaikan semasa kecil bisa menerap dan kita pikir betul sampai udah gede.

Saya membiasakan Freiya untuk tahu jelas apa alasan dia nggak boleh ini dan nggak boleh itu. YAng lucu, satu kali lampu di dapur kedip-kedip. Memang sudah harus diganti. Pas dia tanya, "mama itu kenapa?". Saya mengerahkan kemampuan otak saya yang cuma segini-gininya untuk menerangkan, berhubung nggak nemu penjelasan tepat, tanpa sadar saya melantur sana sini, "Jadi Frei, lampu itu kan setiap hari beberapa kali dinyala-matikan, ada kumparan di dalam lampu itu yang.... blablablablabla......" Yeah, i'm lost in while I'm talking. Di luar dugaan, Freiya angguk-angguk, "Ya itu namanya RUSAK, mama".

Tuh kan.

Anak-anak tuh pinter kok, dan biasakan mereka jadi pinter deh :)

Postingan ini nampak ibu-ibu sekali ih, biarin deh.

Gambarnya pinjem dari www.walcoo.net :) Thanks !

Kamis, Februari 11, 2010

Double Date


Saya sih sebetulnya bukan penggemar double date. Waktu jaman pacaran, pacaran buat saya ya berdua aja. Tapi kalo pacaran udah lama banget, terkadang suka muncul juga perasaan bosen berdua terus dan pengen ketemu temen lain, tapi sembari juga pengen tetep ketemu sama si pacar. Solusi yang paling ringan, ya memang double date. Kita bisa ngobrol dan ketemu sama orang lain, tapi sama pacar juga tetep jalan.

Pas saya menikah dulu, saya suka membayangkan bisa juga kali double date bareng suami dan temen yang juga berpasangan. Ini karena saya cenderung suka juga bergaul dengan teman-teman suami (tadinya). Selain itu, semasa kecil dulu saya suka menikmati saat-saat diajak orang tua ke rumah temen mereka, yang seringkali punya anak yang sepantar sama saya. Seperti punya perasaan nyaman dan aman kalo saya berteman dengan anak teman orang tua saya. Jangan tanya kenapa, saya juga nggak tahu.

Setelah menikah dan kemudian punya Freiya, kami terkadang suka mengajak Freiya main ke rumah temennya suami saya. Kebetulan mereka punya 3 anak yang juga masih kecil, walaupun udah lebih gede daripada Freiya. Melihat Freiya main sama anak sebayanya selalu membuat saya senang. Seperti biasa masalah kemudian timbul. Setiap kunjungan yang sebetulnya udah nggak mirip dengan double date ini, saya suka mati gaya. Pasalnya, suami pasti asyik ngobrol dengan temannya, anak-anak dengan anak-anak lagi. Saya tentu saja kebagian mengobrol dengan nyonya rumah. Inilah yang membuat saya suka malas. Si nyonya rumah adalah tipe perempuan tidak bekerja yang menghabiskan waktunya mengurus 3 anaknya. Di luar perannya sebagai ibu, dia sama sekali tidak punya kegiatan apa-apa. Alhasil, saya seperti 'terjebak' dengan pembicaraan minum susu apa-sekolah dimana-tidur siang jam berapa-bangun pagi jam berapa-merk pampers-merk susu dan lain lain. Sementara saya sih males ngobrolin begituan. Kalo cuma setengan jam aja sih kayaknya masih lumayan. Tapi kalo udah lebih dari itu, yang ada saya suka nguap-nguap ga jelas sementara suami saya sih masih suka asyik berdua temennya aja. Kali lain saya diajak kesana, saya sudah siap dengan 200 alasan untuk tidak pergi.

Saya tidak menyerah. Ada satu lagi pasangan yang suka ber-double date dengan saya dan suami. Yang ini, istrinya teman saya, Anaknya, satu tahun dibawah Freiya umurnya. Dengan pasangan yang satu ini, memang tidak ada kesulitan berarti, si istri tentu nyambung ngobrol sama saya, wong temen saya kok. Si suami, meski terpaut 15 tahunan dengan suami saya, kelihatannya bisa ngobrol dengan nyambung juga sih. Masalahnya, kita semua sama-sama sibuk, rada repot ngumpulin semua jadi satu.


Seni dari double date sendiri adalah tentunya mengenai kecocokan semua, 4 orang. Jadi sebetulnya lebih ribet dari pacaran itu sendiri. Kalo pacaran kan cuma antar berdua aja, nah ini 4 orang yang perlu dipikirin selera dan minatnya. Menemukan pasangan yang bisa diajak jalan barengan itu nggak gampang kok. Yang seringkali saya temuin, yang si perempuannya cocok sama saya, eh pasangan saya nggak cocok sama lakinya, batal deh. Dan kenapa saya kok seperti yang ngomongin swingers ya, hehehe. Sumpah bukan.

Walau bukan disebut double date, ada juga tipe pergi sama pacar dimana kita pergi dalam satu grup, banyakan gitu. Nah kalo gini saya suka. Saya menyukai perasaan istimewa ketika ada di tengah orang banyak, saya dan pasangan punya sesuatu yang 'lain', yang istimewa dan tentunya cuma dimiliki berdua aja. ngobrol sih boleh banyakan, tapi ada pandangan mata, ada sentuhan ringan yang cuma ada diantara kami berdua. Yang satu ini, rasanya menyenangkan banget.

*gambarnya pinjem dari www.karmaburn.com

Sabtu, Januari 23, 2010

Project Celoteh Bocah

Dari Melz.

Dika: Mah.. kita makan di mana ntar?
Mama: Kita makan di luar ya ntar..
Rima: Loh, mah? Kok makan di luar? Kan banyak nyamuk...

Dika kelas 5 SD
Rima 4 tahun

Dari Haryanti.

Malamnya ngasih Pizza Rasa terbaru ke Jojo, Anak tetangga, besok paginya :
Saya: Gimana Jo, enak Pizzanya?
Jojo: Ah.. Pizza yang dari tante itu nggak enak.. yang murah kali tante..
Saya dan Mamanya : .........

Lain waktu saya kasih Coklat, Besoknya:
Saya: Jo, enak nggak coklatnya?
Jojo: Jo sakit perut makan coklat dari Tante, sekarang kata Mama Jo nggak boleh lagi makan coklat..
Saya: !@#$%^&*(() (Untung mamanya lagi nggak disitu)

Sebelum punya timbangan di rumah tiap sabtu saya ke rumah tetangga buat nimbang
Baru sampai di teras dan belum bilang kalau mau nimbang..
Jojo : yah.. kalau Jo liat berat badan tante naik lagi nih..
Saya: ......


Saya: Jo, jadi nggak ikut Tante liburan ke Bandung?
Jojo : Kata mama .. Jo Nggak boleh Ikut...
Saya dan Mamanya: .....

Jojo : 3 Tahun

Sabtu, Januari 16, 2010

Project Celoteh Bocah: Kemakan Iklan 2

Mario (sambil menjembili pipi saya): Sekali kucek, Mama beres.

*backsound iklan sabun cuci R*

Sabtu, Januari 09, 2010

Project Celoteh Bocah: Kemakan Iklan

Waktu pulang kantor, saya tanya ke Mario, "Kamu sudah makan?"

Mario, sambil sibuk dengan NDSnya menyahut, "Sudah, Ma."

"Makan apa?"

"Energen."

"Lah itu sih minum," protes saya.

"Kan minum makanan bergizi."

Senin, Januari 04, 2010

Project Celoteh Bocah : Bunda Dinosaurus

Q : Bunda, bunda udah ada di jaman Dinosaurus?
Bunda : .........

Katanya, sih, sekarang Q menganggap Bunda-nya lebih muda dari Dinosaurus, karena sewaktu perayaan Sumpah Pemuda tahun 2009, Q nanya 'Kalo waktu jamannya Sumpah Pemuda, Bunda udah ada?'

Q (7 tahun)

BTW, HAPPY NEW YEAR!
Blog Widget by LinkWithin