Selasa, November 22, 2011

Dicari : Family Man

SITTA KARINA

“wow! cowok seganteng itu ternyata family man?”

“Nggak apa-apa deh dia nggak sekeren Ario Bayu, yang penting kan family man.”

“Katanya Eja tipe family man ya? Dia kasih surprise untuk ultah neneknya lho. So sweet banget ya!”

“Wuiiiih! Family man ya? Mau dong dikenalin. Kayaknya OK tuh jadi suami!”

Harus saya akui bahwa hati tiap kali melihat, mendengar, atau sekadar mendapatkan berita tentang laki-laki tipikal family man, hati langsung “meleleh”. Terbayang masa depan yang aman dan bahagia seperti happy ending di kebanyakan dongeng Disney’s. Tidak ada lagi sakit hati yang menyesakkan dada, tidak ada lagi malam ditemani film romance plus sekotak es krim dan cokelat sebagai “obat penenang”, dan tidak ada lagi retail therapy yang belakangan malah bikin makin stres karena tagihan kartu kredit yang melambung.

Intinya, bersama si family man, hidup kita pasti aman.

Such a funny thought, pikir saya, terutama setelah sekarang melihat contoh family man ini dalam kehidupan nyata. Saya jadi teringat definisi family man ketika pertama kali berkhayal tentang pria macam ini—cowok pencinta keluarga, cowok rumahan, atau jangan-jangan cowok yang malah tergantung melulu sama keluarganya.

Family man adalah istilah yang saya dapatkan ketika menonton film dengan judul sama awal 2000 silam yang dibintangi Nicholas Cage. Saat itu saya masih seliweran di kampus dan cukup “ketampar” dengan kenyataan pernikahan dan seperti apa kehidupan setelah menikah (terutama setelah berkeluarga). Oh, jadi anak nantinya menjadi prioritas? Oh, jadi nggak waktu untuk clubbing? Oh, jadi kita yang saat masih pacaran merupakan pasangan wangi, neat and clean akan jadi kucel karena sibuk mengurus keluarga dan urusan rumah tangga?

Salah besar kalau menganggap family man identik dengan cowok rumahan. Ia adalah pria yang sadar dan ingin menjalani kehidupan—to grow old—bersama keluarganya. Bukan sekadar pria yang hapal quote epik The Godfather, bukan sekadar pria yang bekerja demi bisa “dandanin” mobilnya, bukan juga pria yang masih sibuk tweeting di saat istri butuh pertolongan menjaga si kecil lantaran nanny cuti.

Family man menjalankan perannya sebagai suami dan ayah dengan hati lapang. Selain itu, ia akan terus belajar untuk menjadi pemimpin yang baik agar dapat membawa keluarganya ke kebaikan. Dalem banget kan makna si family man ini. Gimana cewek-cewek nggak pada “ngiler” mengejarnya!

Lalu, gimana dong cara dapetinnya? Pasti jumlahnya nggak banyak, kan? Rebutan dong dengan cewek-cewek sejagat yang juga menginginkan hal sama? Setelah menonton The Family Man, saya tahu bahwa saya ingin kehidupan berkeluarga yang chaotic namun hangat seperti keluarga Jack Campbell dalam kondisi “what-if”-nya. Saya juga menyadari bahwa ada proses yang berlangsung dibaliknya sebelum seorang pria menjadi family man. Nah, sebelum hunting jenis pria seperti ini, yuk lihat dulu ke dalam diri: apakah selama ini kita sendiri sudah pantas, atau setidaknya mempersiapkan diri, untuk jadi pendamping pria seperti itu? Kasihan kan kalau ternyata si family man mendapatkan istri yang cuma “cari aman” tapi tidak memahami kebutuhannya, tidak mendengarkan aspirasinya?

Oh, jadi kalau mau dapetin family man kita harus jadi family woman dulu? More or less, yes. Si dia ada untuk keluarga, terus kitanya keluyuran melulu? Big no, darl. Yakin deh bahwa sesuatu yang baik bisa kita jemput dengan kebaikan juga. Seperti kata Paulo Coelho, when you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.

*untuk blog lajangdanmenikah.com

Sumber ilustrasi : superstock.co.uk

www.sittakarina.com
blog: sittakarina.posterous.com
twitter: @sittakarina
FB : facebook.com/sittakarina

Selasa, Juli 26, 2011

Super MOM





Menikah itu menyita waktu. Juga pikiran, juga hati dan segala macem yang kamu punya sebagai seorang perempuan. Apalagi untuk perempuan menikah yang sambil bekerja, ketambahan lagi tipe perempuan yang masih cukup dekat dengan keluarga besar setelah menikah. Baik keluarga sendiri maupun keluarga suami.

Ketambahan lagi kalau anak yang tadinya cuma nganggur2 di rumah karena masih di bawah umur sekolah, tau-tau udah gede dan mulai sekolah. Ketambahan lagi dengan hal lain lain dan lain.

Sebagai perempuan bekerja, pasti kan kepengen sesekali diem di rumah, leyeh-leyeh tanpa harus ngerjain apa-apa. Sebagai ibu dari anak yang lagi aktif-aktifnya, pas anak libur sekolah, biar cuma sehari pasti kepengen bawa anaknya jalan-jalan, main sana sini walaupun cuma di dalam kota doang. Sebagai istri, ada juga kepengen menikmati waktu berdua sama suami, biar kata cuma duduk sebelahan, dia nonton TV dan kita baca buku.

Nah ga cuma 3 peran itu kan yang kita punya. Sebagai menantu, kadang-kadang kepengen bikin mertuanya seneng. Sebagai seorang anak yang (katanya) sudah lebih mapan dan mandiri dibanding adik-adiknya yang masih single, pastinya kepengen juga bikin happy mama-papanya. Percayalah saya bisa terus merepet dengan berbagai "sebagai" yang lain.

Ini contohnya, hari minggu kemarin anak libur sekolah, maka mama dengan senang hati menyusun rencana main-main bersama anak tercinta. Taunya si sela-sela beresin bawaan si upik yang cuma ke Lembang aja bawaannya segudang, neneknya telepon minta diater. Di sisi lain, nenek yang satu lagi udah siap-siap mau diajak main bersama cucu.

Mama bimbang dong ya, tapi kemudian sebagai bunda gesit nan cerdas, tujuan main belok ke area yang dekat-dekat saja, di dalam kota supaya main bisa tetep anter nenek, dan ajak main nenek yang satu. Rencana tinggal rencana karena si nenek 1 ternyata nggak cukup puas dianter ke satu tempat, malah melelbar jadi 3 tempat. Sementara nenek 2 karena nggak mau ikut pergi-pergi anter nenek 1 maka harus di-drop dulu di satu tempay yang walaupun nggak jauh tapi tetep menyita waktu.

Di ujung hari, tugas antar mengantar selesai, mama kemudian bersemangat ngajak anak main di playground mall saja (karena sudah malam), tapi kemudian mendapati si anak kesayangan tidur terkulai di kursi mobil bagian depan. Maka hari minggu pun berakhir sudah, tinggal hari senin menunggu dilewati dengan segudang kesibukan seperti hari-hari kerja lainya.

Begitu itu maksud saya. Kalau kamu bilang "dahulukan keluarga inti, jangan mikirin dulu orang lain", maka cobalah ada di posisi saya dengan keinginan ingin menyenangkan semua orang. Ya itu tadi, menikah itu mau nggak mau ada banyak pihak ada banyak orang yang harus dipikirin. Sayangnya energinya sedikit, waktunya sedikit dan kemampuannya terbatas.

Ada sedikit (entah apa namanya) hasrat untuk bisa membuat orang lain senang dengan apa yang bisa saya lakukan. Sayangnya, ya itu tadi, waktunya sedikit energinya terbatas. Dan saya belum bilang soal kerjaan ibu yang lain ya, yang harus beres-beres rumah lho, bisa gila kalo dengan kerjaa dan kegiatan segunung ini masih harus juga beres-beres :)

Ini ga usah pake ngomong doing self thing kayak baca buku tenang, DVD Marathon dan duduk ngak ngapa-ngapain ya, buat itu sih energi dan kemampuannya ada tapi apa daya waktunya nol.

note : gambar diatas pinjeman dari caffeinatedautismmom.blogspot.com

Selasa, Mei 24, 2011

Yang Lajangers Ingin Tahu Tentang Menikah Pt.1

Cerita Kiriman dari Icha Rahmanti

Berawal dari keisengan pada suatu sore, saya mengajukan semacam survey kecil via Twitter dengan pertanyaan: Apa sih yang paling ingin diketahui oleh para lajang mengenai dunia pernikahan atau kehidupan berumah tangga? Berikut ini hasil copy-paste nya dan jawaban asal kala itu (terbatas oleh 140 karakter dan semaksimal mungkin menghindari Twitlonger) dan pemaparannya dengan semangat berusaha lebih serius kali ini. Semoga bermanfaat. Terutama untuk lajang-ers yang ingin tahu bagaimana sih rasanya ada di sisi sebelah situ…

#YgLajangersInginTahuTtgMenikah RT @paxxx: Bagaimana mengatasi rasa bosan(apabila timbul) Kak Icha? >> Pick a fight, throw some plates.

#YgLajangersInginTahuTtgMenikah RT @adixxxf: Ga bosen tiap hari mukanya itu aja yg diliat?>>Pasti bosen. Alami kok. Untung ada BB :p.

#YgLajangersInginTahuTtgMenikah RT @disxxx: how to avoid boredom?>> Pick a fight/make love/watch smallville more me-time/ get a puppy

#YgLajangersInginTahuTtgMenikah RT @pakxxxxx: Bgm atasi tersedak krn perasaan terjebak seumur hidup kak Icha?>>ikut kelas terjun payung.

Mengenai Bosan dan Terjebak
Rupanya, topik ini jadi top of mind para lajang-ers mengenai kehidupan pernikahan. Seperti jawaban di atas, bosan pasti akan terjadi dan sangat alami serta natural. Bayangkan, sepanjang sisa umur kita, menghabiskan pagi dengan bangun melihat muka yang sama, malam pun tidur dengan muka yang sama, orang yang itu-itu juga. Merasa terjebak hingga terasa pengap? Natural juga. Tapi justru jangan ditakuti, kalau ditakuti ya alamat takut nikah terus deh. Terima dan jalani sebagai satu paket dari “menikah”, bisa membantu melewatinya dengan ikhlas. Bagaimana mengatasi kebosanan? Ya lakukan saja hal-hal yang membuat kita senang; main twitter, nonton dvd, baca buku, dan lain-lain. Cukup punya waktu untuk diri sendiri. Tips ini, sejauh ini berhasil untuk saya. It might not take away the boredom but it helps you to be happy. And happy people tend to see the glass half full.

#YgLajangersInginTahuTtgMenikah RT @emoxxxt: gmn melewati cobaan2 yg pasti ga gampang&bertahan utk terus bkomitmen >> makan sepiring b2

@emotiPont: cara lewati cobaan2 yg ga gampang&gmn bertahan utk terus berkomitmen >sholat&doa, #jawabanserius. Klise tp insha لله manjur.

#YgLajangersInginTahuTtgMenikah RT @re2_rexxx: Apa yg bikin awet? 'Cinta'/ 'Terbiasa'?/'Rasa Nyaman'?>>Beda2.Tp kebanyakan BUKAN cinta.

#YgLajangersInginTahuTtgMenikah RT @dinoxxxxa: how they tolerate small annoying things?>> U don't tolerate. U suck it up,period.
Mengenai Komitmen dan Bertahan
Everybody I know is getting divorce. And believe me, the temptation to just get out was calling, and the thinking, “if everybody’s doing it, why don’t I?”is haunting you. They look so much fun after getting divorce. Jaman sekarang cerai menjadi sangat jamak dan lumrah. Berbeda sekali dengan jaman orang tua kita yang cerai adalah aib sehingga cap dari keluarga “berantakan” bisa cukup membuat si anak mengalami depresi di sekolah. So why suck it up?
Karena sesungguhnya menikah memang bukan untuk seru-seruan. Saya dan sahabat lajang saya, yang kerap saya curhati, menyebut menikah “The Impossible Dream”—terinspirasi dari lagunya Luther Vandross, karena penggambaran akurat mengenai pernikahan itu ibarat liriknya, “to march into hell for the heavenly cost…”

Tapi sebagaimana ada ‘possible’ dalam ‘impossible’, ada harapan agar komitmen tetap terjaga. Kacamatanya harus ibadah, karena kalau tidak, sulit sekali menalarnya. Jadi sekalipun klise, berdasarkan pengalaman, doa dan sholatlah (karena saya muslim) akhirnya yang meredakan pikiran-pikiran menuju kata “exit”. Dan percayalah, saat menulis ini, perjuangan belum selesai, Jendral… Karena pernikahan adalah perjuangan panjang hingga ajal menjemput atau akhirnya memang ketok palu pengadilan agama/ pembatalan pernikahan yang jadi akhir ceritanya.

Karenanya dari mengamati, menurut saya yang pada akhirnya membuat pernikahan langgeng seringnya bukan cinta. Kalaupun cinta, biasanya lebih karena cinta pada status, cinta pada anak-anak, cinta pada harta (tajir bow), dll. Bilang saya pesimis, tapi cinta yang a la Desmond and Molly di lagu Obladi Oblada… hanya sedikit yang beruntung di jaman sekarang memiliki cinta seperti itu.

#YgLajangersInginTahuTtgMenikah RT @tya139: R they happy w/ their wedding?>>Klo bukan kawin paksa, weddingnya happy. Marriagenya blm tentu.

#YgLajangersInginTahuTtgMenikah RT @anovita: Pas 'akhirnya menikah'.Rasanya gimana?>Seneng dong. Kan bukan kawin paksa. Euforia malah.


Tentang Bahagia
Ya, selama bukan kawin paksa ala Siti Nurbaya, rasanya kebanyakan pasangan menikah dengan keadaan bahagia di hari pernikahannya (wedding). Bahagiakah pernikahannya (marriage)? Belum tentu. Karena waktu dan kata menikah seperti punya kekuatan besar menggerus cinta jadi benci akut, gairah jadi basi, sopan jadi asal dalam sebuah pernikahan. Melihat bahagia atau tidak juga tergantung dari definisi bahagia orang itu. Kita bisa saja bilang, “gila ya bo, si Z, sekarang bini-nya Hitler banget, lehernya udah disetir bininya.”Bahagiakah si Z? Dari kacamata kita tampak sengsara. Tapi tahukan kita kalau si A senang didominasi dan diperlakukan seperti itu adalah kebutuhannya?

Bilang saya pesimis, tapi bahagianya menikah adalah justru tentang “growing pains” dan “growing old” (karenanya lagu Grow Old with You, jadi pilihan saya dan suami saat resepsi pernikahan kami). We don’t believe in those kind of happiness with happily ever after. Mostly and, or occasionally happy is good for us. The rest is life.
Segini dulu ya. Masih panjang sih pertanyaannya. Tapi nanti malah bikin jiper yang tanggal pernikahan sudah diambang pintu hahaha… lain kali disambung lagi ya.

Xoxo,
Icha Rahmanti / Follow me on twitter @cintapuccino ya kakaaa, thx. #ajimumpung


Sumber gambar : dreamstime.com

Sabtu, April 30, 2011

A Flaw in Our Marriage




Diantara segunung keluhan menjadi seorang istri, ada satu keluhan yang akan selalu ada, yaitu cacat-cacat suami yang sebetulnya nggak fatal tapi sumpah gengges. Bukan hal yang prinsip sehingga rasanya nggak pantas diributin, tapi tetep aja bikin ganjelan dan sering bikin emosi terutama menjelang PMS, atau saat hati lagi ga enak, juga ketika menjelang akhir bulan :D.

Untuk saya, salah satunya perihal bau rokok. Dulu ya waktu belum punya pacar, saya selalu naksir cowok-cowok perokok. Kayaknya keren gitu ya, macho berat dan nampak seperti dewasa sekali. Ah pokoknya naksir deh. Setelah pacaran mencium bau jacketnya yang ada bau rokok pun rasanya seneng banget, bahkan mau tidur dengan pinjem jacketnya supaya baunya kecium terus. Bau rokok? iya bau rokok.

Setelah menikah, mulai deh saya terganggu berat dengan bau rokoknya. Bukan cuma bau rokoknya itu lho, tapi kebiasaaan merokoknya yang kelihatannya nggak bisa sama sekali ditinggalin dan nggak bisa sama sekali absen. Jadi setiap pergi, harus cari tempat yang ada smoking areanya, nggak bisa nggak.

Nah belakangan ini ya, kan pemerintah daerah mulai ikut bawel, dimana tempat yang boleh merokok, dimana yang enggak boleh. Kalo di Bandung masih agak longgar deh, masih bisa ngerokok di jalan dan di restoran atau food court asal nggak ada tulisan "no smoking" secara jelas. Tapi kalo di Jakarta, wah lebih bawel lagi si Pemda, which is good for us yang bukan perokok atau yang bawa anak kecil.

Jadi, setiap pergi sama suami, kita harus ekstra cari tempat yang bisa merokok. Atau kalo nggak, dia bakal bela-belain keluar hanya untuk merokok. Buat kita yang bukan perokok ya memang kesannya "hanya untuk merokok" tapi buat mereka ini penting banget ga bisa diganggu gugat. Sekali dua kali memang suka ganggu, misalnya waktu harus gantian pegang anak. Atau lagi buru-buru mau jalan taunya dia harus berenti sebentar untuk merokok.

Saya sempat membatasi area merokok suami. Di ruang depan boleh, di halaman apalagi, tapi di sofa keluarga terutama di kamar, sama sekali nggak boleh merokok. Tapi yang namanya asap rokok itu kan baunya nempel ya. Alhasil gorden dan sofa saya pun bau-bau rokok.

Ya perihal rokok ini emang cuma salahs atu contoh aja sih. Yang mau dibahas tadi kan perihal cacat atau flaw suami yang ketika belum menikah masih lucu-lucu, tapi pas menikah malah ganggu.

Kita juga tanpa disadari begitu kali ya. Selama pacaran mana sih berani kentut depan pacar, wah dijaga sejaim-jaimnya deh. Kalo perlu minggat dulu sebentar abis kentut balik lagi. Tapi begitu jadi istri, ya nggak begitu lagi. Katanya apa adanya, yang sebenernya malah mungkin (sedikit) nggak menghargai pasangan.

Hal lain lagi, perihal fisik. Dulu mau ketemu pacar dandan setengah mati, kalo bisa jangan sampe keliatan kucelnya. Pas jadi istri, cuek-cuek aja, nggak dandan, nggak ngurus badan, yang diurusin cuma anak sama rumah aja.

Tuh, menikah itu nggak mudah. Masalah yang ada bukan cuma masalah besar seperti ada orang ketiga, atau masalah finansial. Ini ada juga serentetan masalah kecil yang kalo dibiarin bisa jadi duri, tapi kalau dipermasalahin kadang bikin malu.

Kamu sudah menikah? Apa cacat kecil di pernikahanmu? Sama seperti saya?

note : gambarnya dari http://istockphoto.com ya :)

Jumat, Februari 11, 2011

ASI tidak ASI, Anak Saya Bukan Anak Sapi, dong.




Sore itu sepulang kerja saya janjian sama 2 teman manis saya, Sandra dan Karin. Janjian ketemu dengan teman lama biasanya menyenangkan, kenal mereka dari jaman sekolah sampe sekarang kami semua sudah beranak pinak. Pertemuan ini bisa dibilang rutin, walau tanpa dipatok jadwal. Rutin karena kangen. Jadi kalau salah satu dari kami kangen, biasanya sms-sms dan langsung janjian. Seperti hari ini.

Saya tiba di tempat janjian duluan. Bagus. Karena saya jadi punya waktu untuk sedikit browsing-browsing dan bales2 email kerjaan, oh dan Twitteran tentu. Sambil minum saya menyimak twitter dengan cukup intens. Rupanya sore itu sedang ada semacam twit-war atau berperang pendapat via twitter. Temanya bukan masalah politik, bukan pula masalah ekonomi apalagi masalah perpajakan yang sedang heboh dibicarakan itu. Temanya soal susu. Susu buat anak tepatnya. Saya membuka beberapa timeline dari akun-akun yang kelihatannya terlibat pembicaraan panas itu. Ternyata perdebatan itu dimulai dengan seorang ibu yang twit foto sapi dengan tulisan "Anakmu Bukan Anak Sapi". Beberapa ibu yang berpendapat serupa kemudian me-RT foto itu dengan tambahan kata2 serupa "ASI is the best" "ASI, pertanda ibu berkomitmen" "Anak Ibu, Bukan Anak Sapi" dan beberapa komentar lain yang menurut saya lumayan menyebalkan.

Mari melipir sebentar supaya saya bisa cerita bahwa saya juga memilih untuk tidak memberikan ASI ekslusif pada anak saya satu-satunya itu. Alasannya ada beberapa. Pertama, karena anak saya lahir dengan berat badan yang lumayan besar, hampir 4 kg. Jadi kebutuhan susunya banyak sekali, sementara ASI saya waktu itu tidak mencukupi. Selain itu, menurut pengetahuan yang saya dapat dari dokter anak, susu formula itu membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dicerna sang bayi. Jadi sebelum tidur malam, saya kasih dia susu formula supaya tidak cepat lapar dan tidak bangun-bangun di malam hari. Alasan lainnya adalah saya memang tidak sabaran. Berbagai faktor seperti udara panas, tidak nyaman dengan orang yang bolak balik dll membuat saya tidak merasa nyaman menyusui bayi saya. Saya beruntung karena suami saya juga tidak menuntut supaya saya memberikan ASI eksklusif. Daripada ngasih ASI tapi ngedumel?

Dari perihal susu-menyusui, perdebatan sengit di twitter itu rupanya melebar pula ke spal metode melahirkan. Entah siapa memulai dengan opini bahwa melahirkan dengan sectio caesar itu artinya tidak merasakan kodrat wanita sepenuhnya. Ahem. Gue lagi dah yang kena. Saya memang memilih melahirkan caesar waktu itu. Pertimbangan pertama, karena anak saya diprediksi cukup besar untuk ukuran anak pertama, dan saya juga rasanya tidak menyanggupi bila harus tiba-tiba mules dan terburu-buru pergi ke rumah sakit. Minus mata saya juga cukup besar, meskipun dokter kandungan saya sudah meyakinkan bahwa itu bukan masalah. Dokter kandungan, setahu saya memang sebaiknya tidak menyarankan si ibu untuk melahirkan caesar kecuali karena masalah medis yang tidak lagi bisa dihindari. Maka keputusan caesar datang dari saya (dan suami), dan dokter hanya mengiyakan saja lalu kami membuat jadwal. Begitulah, saya melahirkan tanpa merasa mules. Saya memang tidak bertemu bayi saya ketika dia berlumuran darah dan belum mandi. Dan saya tidak mengalami yang namanya inisiasi dini karena waktu itu saya dibius total. Tapi saat sadar dan bayi saya diantarkan (iya, sudah mandi dan bersih dan sudah berbaju), percayalah bunda, perasaan seorang ibu yang saya punya, tidak kalah dengan perasaan yang bunda sekalian rasakan.

Pilihan saya ini boleh disetujui, diterima, atau bahkan dianggap nggak beres. Silakan saja. Tapi jangan bilang saya tidak sayang anak ya :)

Eh udah dulu, teman-teman saya udah datang. Saya kongkow dulu ya ;)

note : gambarnya pinjem dari sini , thanks !
Blog Widget by LinkWithin