Jumat, Februari 11, 2011

ASI tidak ASI, Anak Saya Bukan Anak Sapi, dong.




Sore itu sepulang kerja saya janjian sama 2 teman manis saya, Sandra dan Karin. Janjian ketemu dengan teman lama biasanya menyenangkan, kenal mereka dari jaman sekolah sampe sekarang kami semua sudah beranak pinak. Pertemuan ini bisa dibilang rutin, walau tanpa dipatok jadwal. Rutin karena kangen. Jadi kalau salah satu dari kami kangen, biasanya sms-sms dan langsung janjian. Seperti hari ini.

Saya tiba di tempat janjian duluan. Bagus. Karena saya jadi punya waktu untuk sedikit browsing-browsing dan bales2 email kerjaan, oh dan Twitteran tentu. Sambil minum saya menyimak twitter dengan cukup intens. Rupanya sore itu sedang ada semacam twit-war atau berperang pendapat via twitter. Temanya bukan masalah politik, bukan pula masalah ekonomi apalagi masalah perpajakan yang sedang heboh dibicarakan itu. Temanya soal susu. Susu buat anak tepatnya. Saya membuka beberapa timeline dari akun-akun yang kelihatannya terlibat pembicaraan panas itu. Ternyata perdebatan itu dimulai dengan seorang ibu yang twit foto sapi dengan tulisan "Anakmu Bukan Anak Sapi". Beberapa ibu yang berpendapat serupa kemudian me-RT foto itu dengan tambahan kata2 serupa "ASI is the best" "ASI, pertanda ibu berkomitmen" "Anak Ibu, Bukan Anak Sapi" dan beberapa komentar lain yang menurut saya lumayan menyebalkan.

Mari melipir sebentar supaya saya bisa cerita bahwa saya juga memilih untuk tidak memberikan ASI ekslusif pada anak saya satu-satunya itu. Alasannya ada beberapa. Pertama, karena anak saya lahir dengan berat badan yang lumayan besar, hampir 4 kg. Jadi kebutuhan susunya banyak sekali, sementara ASI saya waktu itu tidak mencukupi. Selain itu, menurut pengetahuan yang saya dapat dari dokter anak, susu formula itu membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dicerna sang bayi. Jadi sebelum tidur malam, saya kasih dia susu formula supaya tidak cepat lapar dan tidak bangun-bangun di malam hari. Alasan lainnya adalah saya memang tidak sabaran. Berbagai faktor seperti udara panas, tidak nyaman dengan orang yang bolak balik dll membuat saya tidak merasa nyaman menyusui bayi saya. Saya beruntung karena suami saya juga tidak menuntut supaya saya memberikan ASI eksklusif. Daripada ngasih ASI tapi ngedumel?

Dari perihal susu-menyusui, perdebatan sengit di twitter itu rupanya melebar pula ke spal metode melahirkan. Entah siapa memulai dengan opini bahwa melahirkan dengan sectio caesar itu artinya tidak merasakan kodrat wanita sepenuhnya. Ahem. Gue lagi dah yang kena. Saya memang memilih melahirkan caesar waktu itu. Pertimbangan pertama, karena anak saya diprediksi cukup besar untuk ukuran anak pertama, dan saya juga rasanya tidak menyanggupi bila harus tiba-tiba mules dan terburu-buru pergi ke rumah sakit. Minus mata saya juga cukup besar, meskipun dokter kandungan saya sudah meyakinkan bahwa itu bukan masalah. Dokter kandungan, setahu saya memang sebaiknya tidak menyarankan si ibu untuk melahirkan caesar kecuali karena masalah medis yang tidak lagi bisa dihindari. Maka keputusan caesar datang dari saya (dan suami), dan dokter hanya mengiyakan saja lalu kami membuat jadwal. Begitulah, saya melahirkan tanpa merasa mules. Saya memang tidak bertemu bayi saya ketika dia berlumuran darah dan belum mandi. Dan saya tidak mengalami yang namanya inisiasi dini karena waktu itu saya dibius total. Tapi saat sadar dan bayi saya diantarkan (iya, sudah mandi dan bersih dan sudah berbaju), percayalah bunda, perasaan seorang ibu yang saya punya, tidak kalah dengan perasaan yang bunda sekalian rasakan.

Pilihan saya ini boleh disetujui, diterima, atau bahkan dianggap nggak beres. Silakan saja. Tapi jangan bilang saya tidak sayang anak ya :)

Eh udah dulu, teman-teman saya udah datang. Saya kongkow dulu ya ;)

note : gambarnya pinjem dari sini , thanks !
Blog Widget by LinkWithin