Selasa, November 30, 2010

Ini Pestanya Siapa Sih?

“Nyokap gue ngomel kenapa gue ngambil tempat resepsi yang cuma muat dua ribu orang.”

“Bokap gue tadi nyindir, karena gue dan cowok gue nekat mau biayain pernikahan sendiri, jadinya bokap malu karena banyak kenalan bisnisnya yang gak diundang. Bajet gue gak cukup.”

“Gilaaaa! Nyokap tau-tau minta tambahan 500 undangan. LIMA RATUS! Buat pelanggan salon dia.”

Kalimat-kalimat tersebut dan semacamnya makin sering diucapkan Leti, sahabat saya menjelang pernikahannya.

Leti dan Andri, tunangannya, sejak awal sudah berniat membiayai resepsi pernikahan mereka sendiri, tanpa meminta sedikitpun dari orang tua kedua belah pihak. Hanya saja resikonya ya itu, tabungan mereka terbatas. Jadi perayaan juga terpaksa terbatas.

Yang jadi masalah, mereka berdua sama-sama anak pertama yang akan menikah di keluarga mereka. Wajar sebenarnya kalau orang tua mau bikin semewah mungkin, kalau saya bilang sih. Yang tidak wajar adalah memaksakan perayaan akbar walaupun tahu anak mereka tidak mampu melakukannya.

“Bukannya mereka gak nawarin, Dis. Mereka nawarin BANGET buat ngebiayain pernikahan kami. Malah kami sebenernya gak boleh keluar uang sama sekali,” keluh Leti

“Trus lo kenapa gak terima aja tawaran mereka? Lumayan tabungan kalian bisa buat biaya hidup ke depannya,” saya gatel komentar.

“Gue ama Andri gak mau. Kami tuh pengennya ini pernikahan sederhana. Cuma kami, teman dekat, keluarga dekat yang dateng. Lah kok yaaaa mereka gak mau ngertiin sihhhh.” Sebenernya saya mau nyengir lat muka stress Leti, cuma gak tega.

Jadi inget waktu saya nikah sama Panji dulu. Sama sebenernya masalahnya kayak gini, kami nekat mau ngadain resepsi dengan cara kami sendiri, orang tua juga keukeuh mau bantuin. Ya akhirnya kami ngambil jalan tengah aja sih. Resepsinya dua kali. 

Boros? Ya gak juga. Satu resepsi dibiayai penuh oleh orang tua, dengan akibat tamu yang dateng jarang banget yang kami kenal. Yaiyalah, temen-temen dan rekanan mereka semua :D

Sementara resepsi satunya lagi sepenuhnya tanggungan kami. Diadakan di sebuah restaurant yang kami sewa penuh semalaman, makan malam bareng teman-teman dekat, tanpa pelaminan. Santai, penuh tawa, penuh kebahagiaan.

Kami bahagia, orang tua puas.

Balik ke soal Leti, saya pernah coba usulin begitu. 

“Gak mau gue, gue pengen semua sekali kerja, kelar. Kayak gitu dua kali kerja, ribet!”

Ya udah, jadinya saya paling hanya bisa dengerin dia curhat dan nemenin dia di kala stress berat kayak sekarang. Semoga acara mereka nanti juga berakhir dengan kebahagiaan semua pihak seperti saya dulu :) 


Gambar dari sini.

Selasa, November 23, 2010

Yang Tersisa

“Ini gak diabisin?” Mario menggeleng. Anak saya itu suka laper mata. Seneng mesen ini itu, seneng makan ini itu, tapi ujungnya gak diabisin.

“Sayang, mau? Aku gak abis nih.” Lah ya bapaknya juga sama aja, makan ini makan itu, ujung-ujungnya gak abis.

Tempat sampahnya? Ya saya.

Ya sayang dong, udah dimasak capek-capek, udah dibeli mahal-mahal, kok ya gak abis.

Leftovers alias makanan sisa itu pantang buat saya untuk dianggurin. Pertama, saya pernah (dan masih sih sebenernya kadang-kadang :P) jadi orang yang susah. Dalam arti mau makan aja susah, gak ada uang. Sekarang giliran liat makanan sisa, bawaannya gemes, maunya diabisin aja, atau ngomelin yang ngabisin. Huh.

Dulu waktu jaman saya masih SMP dan masih tinggal sama oma dan opa saya, saya juga sering sih laper mata. Ngambil banyak, baru setengah jalan sudah eungap. Kenyang parah.

Akibatnya oma saya sering ngomelin, “Kamu itu makan harus dihabisin, di luar sana banyak orang yang gak punya uang buat makan, gak bisa makan. Ini dikasih makan malah dibuang-buang.”

Dan saya dengan cueknya nyautin dong, “Ih emang kalo saya makannya abis, mereka bakal makan?” Kurang ajar emang :D

Nah sekarang gantian saya yang ngomong gitu ke Panji dan Mario. Duo bapak anak itu emang kompak kalau soal makanan, banyakan gak abisnya.

Alasan kedua, ya saya emang doyan makan aja sih sekarang :D

Akibatnya? Pertumbuhan saya jadi lancar. Tumbuh ke samping maksudnya. Makin lebar.

Pernah baca entah di mana gitu, para ibu yang suka ngabisin sisa makanan anak atau suaminya (atau loh. Atau. Saya malah ‘dan’) cenderung membesar, Yaiyalah, udah pesen buat porsi sendiri, ngabisin porsi orang lain juga :P

Untuk mencegah pelebaran itu, dan mencegah suami melotot liat saya beli baju baru karena baju lama gak muat lagi, sekarang saya menyiasatinya dengan gak ikutan pesen. Mereka pesen makan, saya pesen minum.

Tapi yaa, inget kan alasan kedua di atas? Saya doyan makan. Liat makanan di meja, liat menu di resto, malah kalap sendiri.

Jadi ya lupain aja itu niatan gak ikut pesen atau ngambil makan dan cuma nunggu limpahan.

Tapi yaa, sekarang sih saya pikir daripada ngomel (tapi dimakan juga) ya dinikmatin ajalah. Bisa makan bareng anak dan suami. Bisa ngeliat mereka seneng liat saya makan banyak (entah kenapa). Bisa masih mendapat kesempatan untuk makan sampai kenyang. Ngapain juga dikeluhkan.

Hidup cuma sekali. Halah pembenaran. Makan mah makan aja padahal. SELAMAT MAKAN!

*Ditulis sambil menghabiskan sisa nasi goreng sosis sarapannya Panji.*

sumber gambar dari sini

Jumat, November 19, 2010

'Ibuku Bilang Aku Harus Kawin eh Nikah!'

Tibanya undangan pernikahan sepupuku, Senny, yang berumur 24 tahun, tadi siang benar-benar menjadi perusak moodku! Gara-gara undangan itu, mendadak Ibu-ku jadi ingat obsesinya menikahkan putri tunggalnya --- alias aku --- saat umurku 25.

Yang mana..... sudah blas lewat empat tahun ya bok. Umurku 29 sekarang, 29 lewat 3 bulan.

"Tuh, Rae, Neng Senny aja udah nikah. Kamu teh gimana sih? Cepetan atuh, nikah. Kamu tuh udah kelewat nikah berapa banyak sepupu coba?" itu adalah preambule dari Ibu, saat ia menerima undangan tersebut. Sialnya, aku nggak sempat kabur.

"Udah atuh lah, Mamah. Bosen. Tsk." aku berusaha memaksimalkan rengutan di wajahku, berharap dengan ini, ibuku malas meneruskan konversasi.

"Ya abis, kamu nih gimana, sih? Santai banget. Umur kamu teh udah nggak muda lagi, Raenina. Mau nikah umur berapa siih?"

"Udah! Ya ampun, mamah! Capek dengernya."

"Tah, anak muda jaman sekarang, mah, dibilangin baik-baik malah marah-marah sama ibunya. Kumaha sih? Ini mamah teh maksudnya baik, Rae. Mamah teh udah tua, si papah udah nggak ada, gimana coba kalau misalnya sebentar lagi mamah meninggal, dan kamu masih sendiri? Nggak ada yang ngejagain?" suara ibuku bergetar.

Ya ampyuuun. Nggak suka deh sama drama 'ntar-kalau-mamah-meninggal'. Iiiih. Ibuku tau banget bahwa kalimat 'kalau-mamah-meninggal' itu selalu berhasil menyodok ulu hatiku. Membuatku merasa super bersalah --- karena nggak becus cari suami.

"Mamah, atuh gimana lagi coba? Jangan dikira aku belum usaha, tapi ya emang jalannya belum aja. Kan kata orang juga, jodoh itu bakal datang?" suaraku melunak. Iya memang aku sudah usaha, tapi cowok-cowok itu selalu kabur setiap aku menyatakan keseriusanku, dan bilang bahwa aku sudah malas pacar-pacaran. Aku nyari suami.

"Ya, tapi kamu teh udah ampir 30 tahun! Mau punya anak umur berapa coba? Mamah teh pengen gendong cucu juga." ibu berkaca-kaca.

Ibuku memang drama queen. Pandai membuat aku merasa terpojok.

"Arrgh, itu lagiiiiii. Ibu tuh, cuma pengen aku nikah supaya keinginan ibu punya cucu tercapai! Ingin aku membahagiakan ibu dengan ngasih cucu, tapi ibu terus menekanku dan bikin aku nggak bahagia. " aku menepuk jidatku dengan dramatis, lalu menggeleng-gelengkan kepalaku. Eh aku sudah bilang belum, kalau aku juga drama queen? Genetis. Tapi aku tidak sepiawai ibu, buktinya, aku selalu merasa terpojok dalam setiap drama episode 'ayo-kawin-eh-nikah-nak!'

"Raenina," ibu menghela napas," Bukan gitu, justru ibu yang pengin kamu bahagia, Nak. Punya suami, punya keluarga yang harmonis, punya anak-anak yang lucu-lucu. Kalau kamu udah punya itu semua, ibu bakal tenang deh ninggalin kamu."

Jah, dianya, ngebajay, ngeles.

"Udah ah Bu. Aku capek." aku pun bangkit.
"Mau ke mana kamu?" tanya Ibu.
"Mau ketemu Alexa."
"Aduh, Alexa? Kamu nih, jangan kebanyakan bergaul dengan dia, nanti nggak kawin-kawin."
"Tsk, apaan sih Bu?"
"Ya itu, Alexa kelewat cuek, kemarin pas dia ke sini, masak ditanya kapan nikah, dia jawab,'ntar lah tante, menopause masih jauh ini.' Ibu nggak suka, dia tuh pengaruh buruk buat kamu karena dia seolah merendahkan pentingnya menikah."
"Udah ah. Pamit bu." aku memutuskan untuk cabut, kalau diterusin kagak beres-beres. Aku pun meraih lengan kanan ibu dan menciumnya.
"Ya sudah, hati-hati Nak, pulangnya jangan malem-malem."

...

"Sembilan bulan cari suami? Itu bukan memotivasi diri, itu... lu sintiiing." Alexa terkekeh. Mukanya tampak geli setelah mendengar cerita bahwa aku ingin menikah sebelum tiga puluh. Beneran deh, konversasi dengan Ibu membuatku nggak nyante.

"Mbok ya elu, sebagai temen, dukung dong. Cariin calon suami kek." Balasku.

"Raenina, bilang elu nggak serius." muka Alexa masih tampak geli.

"Serius nggak serius sih. Serius nggak serius dengan bonus desperate. Ga tau ah."

"Kenapa sih lo? Yang bener aja lo mo buru-buru nikah gara-gara pengen punya anak. Tolong laaah."

Aku terdiam. Iya barusan aku bilang, aku ingin menikah, karena ingin punya anak. Ih, alasan yang tolol, aku tahu itu. Beneran deh drama episode 'Kamu harus kawin,Nak' memengaruhiku banget hari ini.

"I sound stupid, ya?" tanyaku.

"Banget." jawab Alexa,"Pasti gara-gara dipaksa nikah sama nyokap lo ya?"

"Bijitulah, Lex." aku mengerutkan bibir.

"Cuekin aja napa sih?"

"Jaaah, gimana cara mau nyuekin nyokap? Empat tahunan, Lex, gue diteror nikah sama nyokap."

"Atau bilang sama nyokap lo, santai aja, ntar kalo waktunya, ya terjadi juga. Kalau emang belum mungkin menikah, ya masa dipaksain? Masa sih lo kudu mungut calon suami dari pinggir-pinggir jalan demi cepat menikah? Nikah kan seumur hidup. Nggak bisa buru-buru, nggak bisa instan." Kata Alexa. Ia benar, tapi aku bosan.

"bosen ah sama teori lo!" aku makin merengut.

"Ih dibantuin mecahin masalah malah gitu, jawabnya. Nyebelin lu." Alexa --- si cewek yang opininya nggak boleh dibantah --- merengut. Ia tampak tersinggung.

"Ya, karena itu nggak ngebantu, Lex. Elu pernah diteror nikah segitu rupa sama ortu lo?"

"Nggngng... nggak."

"Nah, berarti lo nggak tau gimana rasanya jadi gue. Semua teori lo cuma applicable sama kehidupan lo, nggak di kehidupan gue. Ortu lo membebaskan lo soal nikah-menikah, nyokap gue nggak --- segala teori nyantai aja itu nggak berlaku buat nyokap gue."

"Emang lu udah nyoba?"

"udah. Empat tahun itu. Nggak ngaruh, Cooong."


Alexa terdiam. Tampak ia juga kehabisan kata-kata. Aku menghempaskan punggungku ke sandaran kursi.

"Tapi, serius. Lo emang beneran mau kawin sebelum umur tiga puluh, which is 9 bulan lagi? Atau lo cuma emang lagi kesel aja?" tanya Alexa.
"Ntah."

Marriage is not about age; it's about finding the right person.
(Sophia Bush)


Sumber gambar : Gettyimages.com
By the way, ini mencoba cerita bersambung dengan label : Raenina Mencari Suami, kalau mendadak bosen pengen ganti cerita, jangan protes yah. Protes Mbayar :))

Kamis, November 11, 2010

Raenina Mencari Suami : Target Menikah.


"Gue pengen nikah sebelum umur 30!" Kata Raenina tak berujung pangkal, saat kami sedang makan siang bareng di foodcourt sebuah pusat perbelanjaan.
"Deuh, kemarin katanya umur 27." jawabku.
"Kali ini beneran 30, nggak boleh mulur lagi!" perempuan manis berambut lurus panjang itu menjawab tegas.
"Dan sekarang lu umur?" tanyaku dan ini sudah jelas aku sekedar meledek, aku tahu kok umurnya.
"Dua sembilan." jawabnya lirih, matanya yang bulat meredup.
"Berapa lama lagi 30?" tanyaku, masih dalam rangka meledek.
"Ehm, sembilan bulan lagi." suaranya semakin melirih.
"Baiklaaaah.Calonnya?" aku tertawa geli.
"Itu dia!"

Aku ngakak, sudah setahun ini Raenina menjomblo, beberapa kali ia memang tampak dekat dengan beberapa orang cowok, tapi ya dekat secara kasual aja, sekali, dua kali, paling pol tiga kali kencan. Setelah itu nggak ada kelanjutan. Dan masalahnya selalu sama, cowok-cowok itu kabur, gara-gara Raenina terlalu grasa-grusu, baru aja dekat, sudah main todong : aku nggak nyari cowok, aku nyari suami. Ya panik lah para lekong itu. :D

Dan seperti biasa, kalau sudah ngomongin target menikah, wajah Raenina tampak gelisah. Dan dari kapan tau, aku nggak ngerti, kenapa Raenina selalu bikin target menikah, yang sering bikin dia stress.

"Udah lah, cong, santai aja." cetusku.
"Santai gimana cara? Umur kan nggak brenti. Keburu ketuaan gue ntar!" sergahnya.
"Emang kenapa kalau 'ketuaan'?'
"Susah punya anak!"

Selalu 'umur tidak berhenti', 'waktu biologis' yang jadi alasan kenapa ia bikin target menikah.

Dan aku tetap tidak mengerti.

Apakah 'punya anak' itu satu-satunya tujuan menikah? (Dan apakah punya anak itu harus menikah? Kan bisa..... adopsi, gitu. :P)

Sejujurnya sampai sekarang 'bayangan ideal'-ku tentang menikah adalah meleburkan diri dengan pasangan plus menghabiskan sisa hidup dengannya, dan untuk lebur dan menghabiskan sisa waktu dengan orang yang itu-itu saja, tentunya adalah satu keputusan yang berat, yang nggak bisa diambil secara instan. Setidaknya aku harus yakin, bahwa aku dan pasanganku 'tidak apa-apa' kalau jalan bareng sampai salah satu atau dua-duanya mati.

Punya anak? Nggak pernah terlintas kalau ngomongin soal nikah. Kejauhan. Itu sih, gimana ntar aja kali ya, yang penting, partner-nya dulu.

Yup, menikah dan punya anak tidak pernah menjadi satu paket dalam benakku. Atau, atau.. mungkin emang aku saja yang aneh?

Dan sekarang, menghadapi Raenina yang ingin menikah karena ketakutan akan 'jam biologis'-nya yang terus bergerak, ketakutan nggak bisa punya anak, sungguh membuatku bingung. Aku menangkap kesan bahwa Raenina ini, tidak peduli partner menikahnya siapa, yang jelas ia harus punya anak sebelum alat reproduksinya layu.

"Tekat gue udah bulat. Dalam sembilan bulan ini, gue harus udah menikah." katanya, dengan tegas dan pasti.
"Halah, udahlah, Nin. Serem gue denger lo."
"Ini namanya memotivasi diri." katanya.
"Sembilan bulan cari suami? Itu bukan memotivasi diri, itu... lu sintiiing." aku terkekeh.
"Mbok ya elu, sebagai temen, dukung dong. Cariin calon suami kek."

Dan aku tetap takjub dengan Raenina. Mau gimana caranya coba, dalam sembilan cari suami?


“Marriage is like a cage; one sees the birds outside desperate to get in, and those inside equally desperate to get out.” (Michel de Montaigne, French Philosopher and Writer, 1533 - 1592)


Sumber gambar : gettyimages
Blog Widget by LinkWithin