"Cha, Maia cantik ya?" kata saya tulus.
"Oh." Icha tersenyum sumringah. Ibu mana sih, yang tidak suka jika putrinya dipuji.
"Cepet gede aja, berasa lahir baru kemarin..."
"Iya, time flies..."
"Tau-tau udah remaja aja..."
"Duuh, ga kebayang..." Icha menggelengkan kepala.
....
Saya bersahabat dengan Icha sejak kami masuk ke SMA yang sama. And she hated her parents, khususnya ibunya. Soalnya, ibunya itu memang basi banget, banyak peraturan dan tukang ngatur. Emang sih, ibu-nya Icha kolot banget. Sori, sori aja ya, rada basi. Setiap hari harus sudah ada di rumah jam dua siang. Kalau weekend boleh sampai jam lima sore (Cuma kalau main ke rumah saya, boleh sampai jam tujuh atau delapan malam). Keluar rumah nggak boleh pakai celana pendek/rok mini. Harus pakai baju yang dibelikan ibunya (padahal aduh, baju-baju pilihan ibunya itu... enggakbanget! kalau nekad pakai baju itu keluar rumah, kau bakal jadi bulan-bulanan). Ke mana-mana harus antar jemput. Nggak boleh nginep-nginep. Nggak boleh pergi sama cowok (apalagi pacaran). Lalala.. Lilili.... pokoknya masih banyak lah, hal-hal yang membuat saya merasa beruntung, karena Ibunya Icha bukan Ibu saya.
Tapi Icha bukanlah anak penurut. Akibatnya saya sering jadi bumper ya, bok. Icha sudah pacaran sejak kelas satu SMA --- dan setiap ia hendak berkencan, ia akan meminta supirnya untuk mengantar sampai ke rumah saya. Dari rumah, ia meminta izin untuk main ke rumah. Begitu sampai di rumah saya, ia selalu mewanti-wanti saya
"Gue bilang, gue ke rumah lo. Jadi kalo lo ditelepon nyokap gue, jangan bilang nggak tau..."
"Lah terus gue kudu bilang apa dong, kalo nyokap lo nelpon...?"
"Apa kek..."
Daaan,akhirnya setiap ibunya Icha menelepon saat Icha sedang berkencan, saya harus menjawab "Ada tante, tapi lagi di toilet, ntar saya bilang kalo tante nelpon...". Untung saja, Icha selalu sudah ada di rumah saya sebelum supirnya menjemput, kalau nggak berabe, aja.
Kalau pergi dari rumah,tentu saja Icha memakai pakaian layak-pakai menurut standar ibunya, tapi tentu saja ia akan sangat niat segera mengganti bajunya dengan tanktop dan rok mini di toilet mall yang kami kunjungi.
Kalau saya disuruh membuat daftar kebadungan Icha (dan ehm.. saya.. juga sih), pasti bakal panjang sekali!
Saya masih ingat banget, suatu hari, saat kami mengobrol ngalor-ngidul di kamar saya sambil menonton film dan memamah popcorn, Icha sempat bertanya-tanya, kenapa orangtua itu hobi sekali melarang-larang.
Waktu itu saya hanya mengangkat bahu --- walaupun orangtua saya juga suka melarang ini dan itu, dan kadang saya bete juga; tapi saya sih nggak segitunya memberontak, nggak kayak Icha. Pada dasarnya, saya sebangsa orang yang malas berfriksi. Cinta damai, bok. Lagipula,orangtua saya tidak se-strict orangtua Icha. Segala larangan masih bisa lah, ditoleransi (walaupun nggak jarang juga saya menabrak larangan-larangan tersebut kecil-kecilan--- gimana ya, rules are meant to be broken, aren't they?)
Icha sempat memberi label Ibunya sebagai 'monster tukang larang' dan 'monster curigaan'. Menurut Icha, orangtua macam ibunya ini-lah yang membuat masa remaja jadi tidak indah.
"Pokoknya, kalo gue udah jadi ibu-ibu, gue mau bebasin anak gue kalo udah remaja, mau pulang malem kek, mau ngapain kek. Anak gue bakal gue kasih kepercayaan sepenuhnya. Gak deh, gue gak mau jadi monster tukang larang dan monster tukang curigaan. Biar anak gue menikmati masa remajanya.'
"Lagian,bukannya kalo semakin dilarang, anaknya bakal semakin memberontak? Siapa bilang anak di depan iya-iya, tapi di belakang nggak nakal-nakal? Daripada gitu, mending dilepas aja kali, ya nggak?" katanya lagi.
"Iya kali..."
....
Segala aturan dan segala curfew ala Ibu-nya Icha itu masih eksis, bahkan sampai ia lulus kuliah. Iya sih, agak melonggar, tapi tetap aja masih bisa dimasukkan dalam kategori kuno. Saya sempat ketawa-ketawa saat jam tujuh malam, di satu malam minggu, di umur Icha yang ke-23, mendadak sang Ibu meneleponnya dan menyuruhnya pulang. Ya ampun, dua puluh tiga tahun dan masih disuruh pulang! Dan saya tambah geli, karena melihat Icha ngomong "Iya bu, ntar lagi aku pulang." di telepon dengan suara ala anak manis sedunia, padahal ia memberot-berotkan mukanya tanda sebal.
"Gue pengen kawin aja deh, biar bebas dari aturan nyokap." kata Icha setelah telepon ditutup, sambil buru-buru menyeruput minumannya dan bersiap-siap untuk pulang.
Anyway, Icha menikah di usia dua puluh empat. Saya nggak tau dia menikah karena memang merasa sudah waktunya menikah, atau karena ingin bebas dari aturan ibunya.;-) Setahun kemudian, lahirlah Maia.
.....
"Kebayang ga sih lo, sepuluh taun lagi dia tau-tau bawa cowok, terus bilang 'Kenalin, ini pacar aku, Mama...'" seloroh saya.
"Hhh, iya euy, gue suka serem aja mikir gitu. Pengennya sih Maia nggak usah gede-gede lah, terus gue pingit di rumah."
Saya tertawa geli mendengarnya.
"Eh, gue masih inget lu dulu pengen ngebebasin anak lu mau ngapain aja..." cetus saya.
"Er, gue tarik deh perkataan gue. Seriusan, gue nggak mau ngebebasin blas anak gue ngapain aja, takut dia ngelakuin yang ga bener!"
"Emm, mungkin itu juga yang ditakutin nyokap lo sampe lo dilarang-larang segitunya."
Icha terdiam.....
"Iya sih, bisa jadi. Setelah punya Maia, gue jadi tau gimana perasaan nyokap gue dulu." katanya sambil menghela napas.
"Artinya lo mau mengekang Maia seperti nyokap lo mengekang lo?" ledek saya.
"Oh, tentu enggak. Gue nggak bakal deh terlalu kayak nyokap gue. Gue bakal mendidik Maia bebas tapi terkendali. Gue berusaha jadi sahabat Maia, supaya ntar kalo udah gede, dia bisa ngelakuin segala sesuatu tanpa harus sembunyi-sembunyi."
"Ah teooriiii..."
"Hu, liat ajaaa..."
"Baiklah. So, ntar kalo mendadak anak lo jujur sama lo dan bilang "Mama, tadi aku ciuman dong sama pacar aku. French Kiss, lho."
"IIIIH! GA MAAU..." Icha mendelik.
"Atau mendadak kalo dia bilang 'Mama, tadi toket aku dipegang-pegang sama pacar aku, kok rasanya gitu ya?"
"Ga mauuuu..." Icha mendelik sambil menggelengkan kepala.
"Atau..."
"Udah cukup! Jangan bikin gue pengen ngurung anak gue yaaaaaa..."
Dan saya pun ketawa-ketawa mendengar protes Icha.
Ehm, mendadak kepikir, jangan-jangan, begitu punya anak, memang seorang perempuan akan selalu menjadi monster tukang larang, karena kuatir pada anaknya?
If you've never been hated by your child, you've never been a parent.
Bette Davis
sumber gambar : sxc.hu
11 komentar:
ini kali yang bikn gua ga mau punya anak perempuan ya
anak perempuan emang tricky yaa... walaupun orang tua gue bukan yang model larang-larang dan gue cuma 'sedikit' nakal *wink*, kayaknya bokap nyokap hepiiii banget waktu gue akhirnya menikah, hihihi...
kalo nanti punya anak perempuan? hmm... nanti aja deeh mikirnyaa.. hahaha
huwaa..persis banget sama aku (maksudnya bagian suka dilarangnya itu). sama juga karena aku bertekad setelah menikah dan punya anak ga bakal ngelarang anakku untuk bersosialisasi dengan catatan masih dalam batas wajar. jadi pada usia-usia tertentu dia tetap dalam peringatan. peringatan lo..bukan larangan.
aq juga punya temen yg suka dilarang ini itu sm ibunya. umurnya udah 22. Mau jenguk temen yang sakit, ga boleh, padahal perginya bareng2 tmen seangkatan. waktu ada acara yang super penting banget di kampus,dia g boleh dateng dengan alasan udah malem. terus, dia g boleh boncengan motor selain sama bapaknya n tukang ojek. bukan main....
waa.. what a nice story..
tapi2..untungnya saya gak pernah dilarang2 gitu..
cuma,,waktu kecil didikan ortu itu ya lumayan keras..
jadinya sekarang sadar sendiri dengan tanggung jawab thd kebebasan yang telah diberikan..
hahaha,,emang kalo jadi ortu tu mesti dapet aja ya di benci ama anak..ckckck.. *gk kebayang gimana nanti kalo saya jadi ortu..*
kalo aku pake jurus melarang-iya-alasan-harus. lumayan juga sih, si bocah bisa nerima kalo dilarang-larang. repotnya, dia mulai cari celah ngakalin larangan. kenapa logika anak-anak seringkali lebih hebat ketimbang ortunya?
Waduh, ga kebayang kalo tar anak aku kritis kaya gitu.
Mesti jawab apaaa ya?
Hmm, kayanya harus belajar dari sekarang nyiapin jawaban yg tepat hehe
Untungnya Ibu saya ga kayak Ibunya Icha hehehe
jadi pengen nikah.
gue sering nanya ke banyak orang dalam forum kecil atau besar: apa cita-cita orang terjajah (terkekang, langkahnya dihadang banyak sekali larangan dan semacam itu)? Banyak yang menjawab standar: merdeka, bebas, dan seterusnya. Lalu gue bantah, semua kata-kata itu sungguh bukan konsep yang konkret.
Mereka biasanya balik tanya, "Memang apa cita2 orang yang dijajah?" Segera dengan sigap gue jawab, "Menjajah."
Cerita Icha di atas jadi tambahan pembuktian atas apa yang gue sebut itu.
Kita, gue pikir, harus melawan kekangan agar kita tidak mengekang orang-orang yang secara potensial lebih kecil dari kita, lebih muda dari kita, lebih bodoh dari kita, lebih lemah dari kita, lebih miskin dari kita, lebih rendah dari kita dalam berbagai skala. karena kita ingin menyayangi mereka dengan asyik, gue pikir, kita harus melawan segala bentuk penjajahan dalam berbagai modusnya. orang tua yang cenderung menjajah? lawan ajah! Anyway, terima kasih ceritanya, resep bacanya. salam.
Seriusan ni si Icha n loe (yg nulis blog ini)? Mau dunk dikenalin ama anaknya.. Gw tunggu deh anaknya pas udah 17 tahunan.. Kalo ibunya kaya gini mah. Makin banyak aja ABG2 yg bisa diajak check in Om-om.. Ibunya aja udah kaya gini n menganggap nothing wrong.. "Come On Wake up little girl (yg nulis blog ini)".. 15 tahun lagi nilai makin bergeser lho jeung.. "If you tolerate this then your children will be next - Manic Street Preachers"
Posting Komentar