Jadi saya pun 'terpaksa' mengabaikan Marco selama seminggu. (Maaf tjintah!). Saya dan Adisti menghabiskan waktu hampir 24 jam dalam sehari. Iya lah, dia kan nginep di tempat kost saya. Kami bersenang-senang, Adisti yang biasanya suka mengeluh capek atau jenuh atau apalah, kali ini cuma mengeluhkan satu hal : 'Please stop singing that song!'
Lagu apa?
Single Happy-nya Oppie Andaresta.
Berhubung single 'Single Happy'-nya Oppie Andaresta ini sering banget diputar di radio-radio, lama kelamaan ni lagu jadi earworrm, terngiang-ngiang terus di telinga --- membikin saya menyenandungkan lagu ini terus menerus. Padahal sebenarnya saya tuh nggak pernah dengan sengaja ngomong 'I am single and happy',lho. Nggak suka malah sama istilah itu. Kenapa? Soalnya, Saya pribadi menganggap nggak ada hubungannya antara kelajangan (atau menikah) dengan kebahagiaan. Kebahagiaan itu state of mind kok. Jadi, mau lajang atau menikah, ya orang bisa bahagia atau nggak bahagia.
Duh, gara-gara keseringan diputar niiih, jadi gini. Dan, sebagai orang yang sering dikatain 'Daripada nyanyi, mending lo ngepel deh.', maka kebiasaan saya menyenandungkan 'Single Happy' ini mendorong Adisti untuk melancarkan protes (Tapi tidak sekeras satu tahun lalu, saat saya berulang-ulang menyenandungkan lagu 'Madu dan Racun' setelah mendengar pengamen di salah satu warung tempat makan. Adisti sampai bilang "AARRGH! CUKUUP!")
"Lu nyanyi lagu itu diulang-ulang secuplik gitu lama-lama bikin tekanan batin deh,"omelnya Lalu dia lanjut nyeletuk,"Tu lagu liriknya terdengar denial sekali ya.".
Jujur-jujuran aja, setelah membaca keseluruhan lirik, saya merasa bahwa lagu itu memang berkesan antara denial dan menghibur diri. Haha.
Anywaaaay... hal ini yang ujung-ujungnya membuat kami ngobrol cukup lama dan 'mengarang' dua hipotesa iseng-isengan.
Hipotesa#1 : kebanyakan ketika orang mendengar seorang lajang berkata 'I am single and happy' maka, mereka akan menganggap itu state of denial.
Hipotesa#2 : Kebanyakan seorang lajang, bilang 'I am single and happy' agar orang-orang nggak bawel.
Dengan semangat kami membuat semacam polling.
Dan ini hasilnya, dua-duanya benar. Betapa cerdasnya saya dan Adisti. *eits, ga kena.*
Untuk hasil polling pertama, kebanyakan orang memang menganggap, ketika orang mendengar para lajang berkata 'I am single and happy', maka dianggap bahwa para lajang ini sedang berada dalam keadaan denial (pura-pura happy padahal enggak)
Kenapa eh kenapa?
Dalam sesi obrol mengobrol ngebahas ini, kami ngerasa memang ada semacam kekompakan yang menuduh bahwa 'Single itu pasti nggak bahagia'. Orang-orang menganggap bahwa 'yang normal' atau 'yang sehat' adalah orang yang menikah. Kelajangan itu dianggap sebagai kondisi abnormal atau sakit. Nah orang yang abnormal atau sakit kan nggak bahagia. Betul begitu, yang ada dalam pikiran Bapak-bapak serta Ibu-ibu sekalian?
Begitu melihat ada lajang yang berkeliaran, maka mereka bakal ribut, mempertanyakan 'keanehan' si lajang, menanyakan alasan si lajang bertahan dalam keanehan bahkan ada yang buru-buru ingin membantu 'menyembuhkan' penyakit lajang ini. Liat aja di bait pertama Single Happy-nya Oppie.
Mereka bilang aku pemilih dan kesepian
Terlalu keras menjalani hidup
Beribu nasehat dan petuah yang diberikan
Berharap hidupku bahagia
Lalu ada lagi:
Mereka bilang sudah saatnya karena usia
Untuk mencari sang kekasih hati
Pokoknya si lajang, nggak boleh 'menderita' sakit lajang lama-lama. Harus sembuh, cari pasangan, nikah, supaya bahagia.
Nah, sebenarnya, si lajang ini bahagia nggak sih?
Yaaaaa, bisa bahagia, bisa nggak. Kan seperti yang sudah saya sebutkan di atas, bahagia itu state of mind, jadi semuanya dikembalikan pada masing-masing lajang *tsah, kapan minjemnya?*
Lalu, kenapa polling ke-dua hasilnya : para lajang bilang bahwa seringnya mereka mengatakan 'I am single and happy' itu juga untuk membuat orang-orang di sekeliling para lajang nggak reseh soal status mereka?
Berarti emang seorang lajang nggak hepi dong?
Eits, nggak gitu juga...
Mungkin tepatnya bukan nggak hepi. Tapi gerah.
Beberapa lajang yang pernah saya tanyain dan sekaligus saya sendiri (tapi nggak tau tuh yang lain), tidak menganggap bahwa yang jadi masalah adalah kelajangan/kejombloan mereka, mereka justru pusing dengan 'kehebohan' orang-orang sekitar. Dan bagi saya, wajar saja, sih. Siapa juga yang tahan diperlakukan sedemikian rupa sampai titik di mana kau merasa bahwa kau beneran 'abnormal' atau sakit. Dan nggak aneh juga kalau timbul sikap defensif (atau mungkin terbaca bagai denial) atau sikap-sikap lain, demi untuk membungkam kerewelan orang di sekitar. Mengatakan bahwa para lajang ini baik-baik saja, tidak seperti yang diduga semua orang (padahal dalam hati sebel karena kerewelan orang sekitar)
Ada yang menanggapinya dengan nyolot. Tapi saran saya sih, jangan buang energi, mending cengengesan aja. Hehe.
Contohnya terwakili oleh lirik 'Single Happy' yang ini:
Aku baik-baik saja
Menikmati hidup yang aku punya
Hidupku sangat sempurna
I’m single and very happy
Mengejar mimpi-mimpi indah
Bebas lakukan yang aku suka
Berteman dengan siapa saja
I’m single and very happy.
kemudian
Tapi ku yakin akan datang pasangan jiwaku (ini saya agak nggak setuju, saya masih percaya ada orang yang ditakdirkan untuk selibat dan ada yang memilih juga untuk melajang)
Pada waktu dan cara yang indah
lalu
Waktu terus berjalan
Tak bisa kuhentikan
Kuinginkan yang terbaik untukku
Giiicu...
update.
Barusan ngobrol-ngobrol dengan Marco soal tulisan ini (ihiw, ternyata dia baca aja gitu blog indang) dan saya suka dengan satu kalimatnya : Kalau misalnya lo beneran happy, lo nggak bakal berusaha untuk meyakinkan orang-orang bahwa lo happy.
Anyway, kalau diperhati-perhatiin terjadi miskomunikasi nih antara lajang dan masyarakat.
Masyarakat menganggap para lajang menderita karena kelajangannya, sehingga harus dibantu. Sedangkan para lajang, merasa bahwa orang-orang di sekitarnya terlalu menekan sehingga mereka berusaha untuk bertahan. Makanya banyak lajang yang sebel-sebel dan curhat melalui blog, atau nunjukin bahwa mereka baik-baik aja.
Nah bentuk usaha bertahan, terutama yang nyolot, kemudian disimpulkan sebagai pembenaran anggapan bahwa lajang memang menderita karena tidak punya pasangan.
Jadi gituuuu aja terus, muter-muter.
Udah ah!
Ayo sana, (pura-pura) kerja lagi sampai waktunya pulang!
Selamat hari Senin!
8 komentar:
Mungkin anggapan lajang itu abnormal karena teori keseimbangan kali ya (emang ada teorinya ya? asal aja). Maksudnya harus ada pasangannya. Kayak hitam-putih, pria-wanita. Nah kalo ada pria atau wanita yang sendirian belum menemukan pasangan, pasti dianggap ga seimbang, ga normal.
Saya setuju bahwa kebahagiaan itu state of mind. Mengambil keputusan untuk melajang merupakan hal yang sulit. Ketika seseorang memutuskan untuk melajang, semoga itu benar-benar keputusan yang diambil dengan bijaksana, bukan karena merasa tidak bisa menemukan pasangan yang cocok, karena sampai kapanpun ga akan ada orang yang 100% cocok dengan kita.
Ayo sana, (pura-pura) kerja lagi sampai waktunya pulang!
* gw bangat nih .. glek..
yeeaa..lagu itu emang cock buat point ke-2
yup..poin kedua termasuk salah satu alasan yg bikin malas pulang kampung
ortu sih santai..justru orang2 sekitar yang rese'..yah..nasib jd orang indonesia
Ada 2 jenis lajang:
1. melajang krn memang ingin melajang dulu, intentionally, baik sementara atau selamanya.
2. melajang krn gak/belum mampu mendapatkan pasangan, terlepas krn faktor internal atau external.
Buat lajang2 dari golongan 1, semacam Alexa, gw yakin mereka happy dan enjoy dgn kelajangannya. Asal mereka kuat ngadepi tekanan sekitar, they have no problem at all. Sepakat ama Marco.
Tapi, para lajang dari golongan 2 yg biasanya menunjukkan denial. Luarnya sok happy sok enjoy, tapi dalem ati merasa sengsara. Sama temen2 deketnya berusaha cari "koneksi". Lajang dari golongan ini yg perlu kita tolong. Kasihan. :P
desty:
bisa jadi. Jadi para lajang pincang dong..hihihi...
nirmala:
:)
antiek:
awas ketauan bos! :P
ajenkajenk:
gw rasa bukan orang indonesia doang kok, temen gw, orang jerman, sama digituin juga, malah pake ditanyain "Are you lesbian?" haha
bee:
yah, pertolongan untuk semua lajang kyknya adalah dengan ga meributkan status. Pertolongan kedua untuk jenis kedua, dengan mencarikannya pasangan secara diam-diam. hehehe
Happiness is a choice !
Gak ada sangkut pautnya dengan marriage atau singleness :)
saya orang baru di dunia blogging...
jika berkenan mari singgah ke:
http://ceritaeka.wordpress.com
matur nuwun...
Dulu pas single, sama sekarang pas udah nikah.... Kadar kebahagiaan saya emang lbh banyak pas udah nikah.
Tapi kalo dibilang : "I am married and always happy," ya juga nggak. Ya hidup lah ya, soal status (nikah/single) kan sebaiknya jangan dijadikan patokan seberapa besar kita harus berbahagia.
Yg harus dijadiin patokan kebahagiaan adalah nominal rekening tabungan kita....
*eits...gak kena..week*
Hehehehe... Just kidding...
Posting Komentar