Minggu, Mei 31, 2009

Cerita Kiriman : “Saya Bukan Super Mama”


Saya, perempuan, 31tahun, menikah, 1 suami, dan 1 anak perempuan usia 2 tahun 4 bulan. Saya perempuan bekerja (working mom) juga ibu rumah tangga (full time mom).

Sebagai perempuan dengan status ganda, saya harus punya 'simpanan energi' untuk melalui hari-hari saya, yang panjang, padat, dengan sederetan to do list seharian.

Mulai bernyawa subuh-subuh dan terlelap tengah malam. Bersiap mengerjakan urusan rumah tangga, memberi makan si kecil hingga rapih, berkemas dengan tergesa-gesa untuk menuju tugas selanjutnya, ke kantor. Untung saya bukan perempuan pesolek, yang harus menyediakan waktu khusus untuk menggambar alis, menggambar bibir, memperindah wajah. Untunglah… hehe…

Ups....., setiap to do list yang selesai memberikan energi baru buat next list. Baik itu sederetan tugas rumah juga tugas di kantor. Selesai satu, menarik nafas dulu, atau meregangkan pinggang yang sedikit kaku, meneguk secangkir kopi, siap-siap untuk tugas selanjutnya. Itu pun, kalau tidak mendapat hardikan dari bos, untuk merevisi kerjaan. Tega deh si pak bos!!!

Yup... mungkin aktivitas saya –yang notabene bekerja, bersuami, beranak- bagi sebagian orang adalah standard, cetek, biasa aja, dan ga ada apa apanya. Mungkin, perempuan lain, punya aktivitas yang lebih wah, lebih oke, lebih keren, dan lebih mendatangkan decak kagum..

Hehe,.. Saya ga mentingin pendapat orang lain,kog. Saya, hanya mencoba bercerita sedikit saja bagian dari saya, yang mungkin bisa menjadi gambaran ibu bekerja yang harus membagi waktu 24 jam sehari. Kamu juga punya waktu 24 jam, kan?

Saya sangat bersyukur. Saya bahagia dengan hidup saya, yang sering tampak sebagai rutinitas biasa. Dari hari Senin ke Minggu. Dari subuh hingga tengah alam. Semua sama. Tidak ada hal yang istimewa. Mungkin, sesekali bisa ada perbedaan, itu pun kalau papa mengalah dengan rengekan dan rayuan saya, atau si kecil dea, untuk melenggang ke mall, sekedar cuci mata atau membeli kebutuhan rumah. Bisa juga, sekedar mengantar dea bermain kuda-kudaan di mall dekat rumah, naik bajaj pula.

Puji Tuhan. Saya selalu menjalaninya. Selalu berusaha lebih baik tiap hari. Mencoba tidak bersungut-sungut jika ada list yang terlompati, tak terlaksana, karena sesuatu hal. Juga, saat terkena siraman omelan di kantor, oleh si bos berkumis tebal. *tak boleh membawa kekesalan ke rumah*


Dari tugas sebagai istri dan ibu, saya masih pemula, yang harus banyak belajar. Belajar menjadi perempuan. Belajar menjadi ibu. Belajar menjadi istri.

Kendati, masakan saya belum lolos sensor dari lidah suami, tak membuat saya putus asa. Hari ini tak nikmat, coba lagi menu lain besok… Jika besok masih terasa hambar, berusaha terus semangat. Lusa masih terasa “dekat dengan laut” (alias keasinan), pantang mundur, coba terus.

Hehe.. Secara, saya tidak rutin memasak buat papa. mungkin mengakibatkan jam terbang memasak masih belum banyak. Tentu, istilah practice makes perfect, berlaku juga dalam hal ini, kan?

Belum lagi jika menyediakan masakan buat dea. Pfiuh...ini lagi kerjaan yang menguras energi tiap pagi jikalau week days , dan sepanjang hari jika week end. Mencoba resep ini itu, dilepeh disembur, dilahap habis, sudah menjadi warna tersendiri.. Ga apa, saya masih punya energi buat lebih baik lagi.. Komitmen untuk selalu belajar dan belajar, mudah-mudahan membuat saya tetap memiliki energi.

Saya bukan super mama. Saya masih terus belajar. Keinginan saya hanya sederhana. Saya hanya mau menjadi perempuan terindah di mata suami dan menjadi mama tersayang buat dea. Papa dan dea, dua manusia, penambah energi saya, yang sangat saya cintai.

gambar : http://gettyimages.com

Kamis, Mei 21, 2009

A Beautiful Ghost From The Past


Cecilia Agatha and Illona Maya are now friends.

Begitu notifikasi yang gue baca di wall Facebook gue. Ah, diterima. Perasaan gue campur-campur. Senang. Deg-degan. Sebal. Pokoknya aneh lah. Gue pun membuka profilenya. Dan fokus gue langsung tertuju pada status relationshipnya.

Illona Maya is engaged with Andrew C. Quentin.

Oke, situ sudah tunangan, kenapa kegatelan gitu sih sama laki gue? Itu rutuk gue alam hati. Lalu, gue beralih pada wallnya, mencari-cari apa yang ditulis oleh Chris, laki gue. Kalau mengingat betapa 'seru'nya pesan-pesan yang ditinggalkan Illona-illona ini, gue yakin kalau Chris juga meninggalkan pesan yang nggak kalah serunya.

Sumpah deh, selama beberapa minggu ini gue ngerasa tersulut setiap ngeliat pesan dari Illona ini di wall Chris. Apalagi kemarin-kemarin pas frekuensinya sedang tinggi; Illona meninggalkan pesan, setidaknya tiga kali lah dalam sehari, kayak minum antibiotik. Kalau sekarang, sudah sehari sekali. Seperti minum vitamin.

Terakhir sih kemarin, Illona menuliskan : Yuhuuu, Dear. Are you online? YM dong...

&^$#^#@&#*!

Jadi, hubungan mereka... sudah sampai ke YM segala!!!!

Di halaman depan wall postnya, nggak ada pesan Chris. Gue menscroll-down layar untuk menemukan Show more posts.

Masih nggak ada.

Show more post.


Masih nggak ada.

Show more post.


ADA!

Dua.

Eh, lo inget si Haryo nggak? Masih suka kontak2an? Dia ada FB nggak sih?

yang satu

Gue baik, Lon. Di Bali sekarang. Pa kabar lu?

Itu saja.

Dan gue pun kekeuh sumrekeuh menekan show more post. Nggak ada lagi pesan Chris. Yang gue temukan malah : Illona Maya and Christian Yuda Wibisono are now friends.

Kok aneh ya? Kenapa Illona membanjiri wall Chris dengan begitu banyak pesan, kalau Chris sama sekali nggak mereplynya?

...

Christian Yuda Wibisono. Suami gue. Gue kenal dia sejak kuliah, tingkat dua. Karena hobi yang sama, fotografi, dan sama-sama jadi pengurus klab fotografi kampus, kami jadi bersahabat. Dulu, dia masuk ke dalam jajaran pria-pria macan kampus *alah*. Maksud gue, jajaran to-die-for-hunk yang dikejar-kejar oleh para kembang perawan kampus. *alah lagi deh.*. Dan gue selalu jadi saksi gimana cewek-cewek itu tried too hard to impress him. Gimana cewek-cewek itu kelojotan dan meleleh-leleh setiap Chris menghampiri mereka. Padahal kadang-kadang Chris cuma nanya, "mbak, toilet di mana ya?" (ini tentu gue lebay sumrebay). Nggak ada cewek yang nggak naksir dia. Termasuk gue.

Tapi selama kuliah, gue terlalu takut untuk menunjukkan perasaan gue pada dia. Dan sialnya (untungnya?) dia bukan tipe-tipe womanizer yang kadang kadar sensitivitasnya terhadap rasa suka cewek berlebihan. Bok, ganteng-ganteng gitu, dia lempeng. Kadang gue suka nyela,"Ganteng tuh kudunya playboy." yang dibalasnya dengan toyoran hangat di kepala gue. Berdasarkan ceritanya, dia pacaran baru dua kali. Sekali waktu SMA, selama tiga tahun dan putus karena ceweknya kuliah di Amrik dan ternyata nyangkut sama bule, lalu memutuskan untuk menikah muda dengan bule tersebut.Yang kedua, waktu kuliah. Nah, jatuh cintanya Chris waktu kuliah, bikin gue nyesek.Soalnya selama kuliah itu, dia menganggap gue sahabat terbaiknya, yang artinya gue jadi wadah penadah curhatannya di segala bidang; termasuk percintaan. Bisa bayangin nggak siiiih, cowok yang lo taksir, nyeritain bahwa dia jatuh cinta pada cewek lain.

"Gue suka banget sama Illona."

kriiik...kriiiik...kriiiik.

Gue terdiam, sementara gue ngerasa banget, hati gue mrotol menjadi kepingan-kepingan dan berjatuhan di perut gue.

"Cil?"

"Eh, ya?" dan gue pun gelagapan. Lalu pura-pura tersenyum dan menunjukkan sikap mendukung ala sahabat.

Ah tae banget lah rasanya. :)

To make long story short (atas dukungan gue! $$&*^&*^**&&!), mereka jadian.

Gue nggak pernah dekat dengan Illona, walaupun Illona berusaha untuk menjadikan gue 'sahabat'nya juga. Gue nggak suka tu cewek. Dan sialnya, gue nggak bisa menyembunyikan rasa sebal gue padanya. Entah ini gue aja yang sirik, atau emang bener, tapi gue ngerasa, Illona selalu menunjukkan sikap mesra berlebihan pada Chris, kalau gue ada di dekat mereka.

Mereka jadian cukup lama, dari pertengahan tingkat dua, sampai menjelang skripsi. Dan selama jadian itu, gue masih juga menyaksikan, betapa banyak cewek-cewek berusaha merebut perhatian Chris. Pada akhirnya mereka putus, karena beda agama. Chris patah hati banget. Dan... curhat lagi ke gue.

Again, to make long story short, sebut saja istilah witing tresno jalaran soko kulino. Gue sama Chris begitu terbiasa, akhirnya, nggak tau awalnya dari mana, tiba-tiba tercetus sebuah kalimat dari bibirnya,"Menikah dengan sahabat itu pasti menyenangkan, ya? Karena kita udah kenal sahabat kita luar dalam."

Dia nggak nembak gue, tapi kualitas hubungan gue 'meningkat'. Dari yang 'sekedar' sahabat, kini jadi sahabat... with lust*haha*

Dan, setelah setahun, dia melamar gue. Gue mengiyakan. Dan menikahlah kami dua tahun yang lalu.

Nggak, gue nulis ini bukan mau menceritakan tentang hubungan kami yang happy ending ala dongeng Walt Disney's. Walau pun, gue bahagia banget bisa menikah dengan Chris. Cowok yang gue cinta sejak gue kuliah, dan hubungan kami mulus-mulus aja.

Eh, wait. Mulus-mulus aja, sampai gue menemukan bahwa Illona, cewek sialan itu muncul lagi di kehidupan kami via facebook. Sial!

Sejak itu, gue jadi nggak tenang. Banyak hal yang bikin gue kelimpungan.

Gue tahu bahwa mereka putus dengan baik-baik, nggak sebel-sebelan --- keadaanlah yang bikin mereka nggak bisa bersatu. Bahwa cinta mereka 'dalem' banget (setidaknya waktu itu). Bahwa Chris sempat mengalami TBKLH -tak bisa ke lain hati- cukup lama (sampai akhirnya jadi deket dengan gue).

Dan sekarang, wajar banget nggak sih kalau gue merasa nggak tenang?

Oke, seharusnya gue bertahan, memercayai Chris sepenuhnya, apalagi kalau melihat bahwa sebenarnya Chris itu nggak menanggapi Illona-illona ini.

Tapi melihat betapa gigihnya Illona, apa nggak mungkin, pertahanan Chris luruh dan terjadilah CLBK alias Cinta Lama Bersemi Kembali? Dan, tadinya, gue sempat percaya perkataan Alexa, bahwa target Illona itu bukan Chris, tapi gue. Illona pengen bikin gue kelimpungan (yang mana dia telah sukses ya bok). Tapi, sekarang gue mulai berpikir kembali.

Jangan-jangan... Illona MEMANG masih menginginkan Chris.

Arrrgh!

gambar tentyunya dari sxc.hu

Senin, Mei 11, 2009

(Nggak) Ikut Pasangan.

Adisti niiiih! Kemarin katanya mau mempbulikasikan her latest 'love' story. Ditunggu-tunggu, mana? Mana? JJTJBMTM niiih.

Yang bisa nebak kepanjangan JJTJBMTM dapat hadiah! *deu, pada semangat deh*

Ya uwis, saya yang cerita deh...

Tanpa bermaksud cari gara-gara pada orang yang berdomisili di Bali, saya mau membuat pengakuan : saya nggak betah di Bali. Ini bulan ketiga saya pindah, dari Jakarta ke sini. Sering saya merasa kangen Jakarta dan teman-teman di sana. Bali itu enak buat liburan, tapi untuk hidup, buat saya pribadi, nggak cocok. 'Kecepatan'nya nggak sesuai dengan 'kecepatan' saya.

Makanya pas kemarin sakit, mendadak kangen Jakarta. Kangen rumah. Kangen teman-teman. Biasalah, kalau sakit kan suka mellow sumrellow nggak jelas. Hasilnya, begitu sembuh dikit, weekend kemarin saya nekat aja gitu cabut ke Jakarta. Gila, gaya bener ya...

"Weekend di mana,Lex?"
"Di Jakarta nih..."

Eh, tapi nggak deng, Bali - Jakarta - Bali, mah (mungkin) masih wajar. Yang nggak wajar kalau saya bilang weekend pas Sabtu di Madrid. Minggunya di Hongkong.

Heu ngelantur.

Di Jakarta, saya sempat ketemuan dengan beberapa teman, salah satunya Kiara, adik kelas saya jaman kuliah, yang mencekoki saya dengan dongeng bawang putih-bawang merah ibu mertuanya. Eh calon ding. Nggak sempat ketemuan Adisti, tapi sempat ngegosip lewat telepon.

It's good to be there again. Sekarang sudah kembali lagi deeeh.

Seriously, saya merasa tercerabut dari lingkungan pergaulan saya sejak pindah ke Bali. Bukan berarti di sini saya nggak punya teman. Ada kok. Tapi ya gitu-gitu aja. Yang lumayan 'deket', Cecil teman se-kost yang entah kenapa, kok saya ngerasa dia nggak suka saya. Ada Anna, teman sekantor. Ada Marco, si pacar, tentunya.

"Lex, manyun aja loooo. Makan siang yuk!" celetukan Anna mengagetkan saya.

Saya mendongak. Perempuan itu nongol dari bagian atas kubikel saya.

"Semacam homesick, ya?" Anna mengerling.
"Begitulah..."

....

"Kenapa dong, lo nekad pindah ke Bali?" tanya Anna, saat kami menikmati lunch di sebuah kafetaria dekat kantor.
"Mmm.. alasan dangkal. Biar deket pacar..." saya nyengir.
"Ah I see." Anna mengangguk-angguk bak burung kakaktua,"Lo tuh, kayak udah nikah aja, pake sok-sok-an ikut suami."
"Yaaa gimene doooong. Gue capek pacaran jarak jauh."
"Nekad juga lo ya, main pindah, tanpa survey-survey keadaan, nggak pakai mastiin lo bakal cocok apa enggak lebih dulu. Main pindah, aja... ninggalin semuanya." Anna menggelengkan kepala.
"Iya, kalau dipikir-pikir, gue nekad. Di Jakarta, gue udah punya klien ini-itu, di sini, gue harus bangun network dari awal lagi. Di Jakarta, gue punya teman-teman yang cocok, di sini, gue awalnya nggak kenal siapa-siapa kecuali pacar gue..."

Mendadak saya merasa..... bahwa saya nekad sekali!

"Duh, gue aja, yang udah married nggak apa-apa tuh, ngejalanin long distant marriage." kata Anna.

Iya, dia pernah cerita bahwa ia dan Donnie, suaminya, berkeluarga jarak jauh. Suaminya bekerja di salah satu LSM internasional, tadinya di Yogyakarta, sekarang pindah ke Makassar. Ia tetap di Bali, tinggal bersama orangtuanya dan putri cantiknya.

"Hebat lo. Gue sih mana tahaaan..."
"Yah, mau gimana lagi, dong? Di sini lapangan pekerjaan yang sesuai minat Donnie nggak ada. Lah kalau gue pindah di sana, lapangan kerja yang sesuai dengan gue, juga nggak ada. Jadi daripada saling menghalangi, ya jalan tengahnya begini."
"Mau sampai kapan?" tanya saya.
"Mmm, sampai kontrak kerja Donnie habis. Sekitar akhir tahun depan, lah. Udah gitu kita bahas lagi mau gimana-gimananya." Anna mengedikkan bahu.
"Gile, masih lama ajaa."
"Ya, iya siiih. Tapi kan nggak apa-apa juga, seenggaknya dalam sebulan, Donnie seenggaknya dua kali ke Bali."
"Tapi tetep ajaaa..."

Anna tersenyum simpul. Lalu kami terdiam dan menikmati makan siang kami masing-masing.

"Banyak yang menentang keputusan kami. Malah banyak yang menjudge saya sebagai istri yang nggak beres karena nggak mau ikut suami." Anna mencibir.
"Terus..."
"Ya mau gimana lagi? Mereka terlalu kuatir bakal terjadi apa-apa. Buat gue sih, kalau berhubungan jarak jauh dengan pasangan, jalanin aja dengan pikiran positif. Jangan mikir yang enggak-enggak..." katanya.
"Maksud pikiran yang enggak-enggak apa?"
"Ya itu, takut pasangan selingkuh, lah, atau nakal-nakal gitu deh."
"Oh. Hm. Gue nggak mikir ke sana kok." saya tersenyum.

Serius. Sekalipun saya nggak pernah berpikir ke sana.

"Jadi kenapa, lo sampai bela-belain tinggal dekat pacar lo, padahal lo nggak hepi-hepi amat di tempat itu?" kening Anna berkerut.
"Susah komunikasi..."
"Lah, ada hp, ada internet, ngobrol bisa pake webcam."
"Gue..." saya menunda kalimat sejenak,"... gue adalah orang yang selalu membutuhkan kehadiran pasangan. Gue suka melihat langsung pasangan gue saat komunikasi, gue suka frustasi kalau kangen hanya bisa dilampiaskan lewat telepon atau chatting. Gue suka sedih kalau pasangan dalam keadaan bad mood atau sakit, tapi gue nggak ada di sampingnya."
"Wow." Anna tersenyum.
"Ya gitu deh, gue mah nggak mikir soal selingkuh-selingkuhan."

Kami pun kembali menikmati makan siang kami yang hampir tandas.

Tiba-tiba, terlintas pikiran mengenai Si Mamah, yang dulu di'paksa' meninggalkan Jakarta, ke Papua, karena Si Papah tugas ke sana. Berdasarkan cerita, si Mamah baru saja merintis usaha katering-nya dengan Tante Allie, sahabatnya. Padahal setahu saja, itu adalah passion si Mamah, yang lulusan perhotelan tersebut. Si Mamah betah nggak ya, di Papua waktu itu? Merasa tercerabut juga nggak ya, dari lingkungannya? Merasa mimpinya di'mati'kan nggak ya?

Anyway, apa memang perempuan ditakdirkan untuk ngintil pasangan? Jarang sekali saya mendengar, perempuan yang diintili pasangan. Jika menikah, yang umum adalah istilah 'ikut suami.' --- Ada nih, sepupu saya, yang mengikuti istrinya ke Yogyakarta, karena istrinya PNS, dosen yang mengajar di salah satu universitas negeri. Istri sepupu saya ini, sangat mencintai pekerjaannya dan nggak rela meninggalkannya. Maka, sepupu saya lah yang mengalah, dari Jakarta, pindah ke Jogjakarta. Reaksi orang-orang begini : 'Lah, biasanya cewek yang ikut suami, lah kok ini kamu yang ikut istri. Ada-ada aja..."

Eh bentar...

Lah, saya kan belum menikah?

Benar juga kata Anna! Ngapain saya sok-sokan 'ikut suami'.

Doh!

Balik ke Jakarta aja gitu?

Ini kenapa pilihannya nggak ada yang enak gini sih. Ikut Marco tapi nggak betah, nggak ikut Marco, tapi saya.... ingin berdekatan dengannya, saat dia sakit, saat dia senang. Mengatakan langsung di depan mukanya bahwa saya sayang padanya. Memeluknya...

Ribet.

Sumber gambar : http://www.ridiculouslybadass.com

E-baby! Entri ini buat kamu... ;-) *LAAAAH Sempet curhat!!!!*

Sabtu, Mei 02, 2009

Sup (Calon) Mertua Reseh

Ra, ntar jadi kan ketemuan di Brew & Co?
Sender: Alexa

Aku membaca pesan itu sekilas, lalu mengetikkan sebaris singkat:

Jd dong. Jam 6 kan?

Message sent.


Aku mematut diri di depan cermin.

T-shirt ketat warna kuning muda dengan logo Starbucks hijau cerah, jins hipster hitam, pump shoes hitam.

Aku mencemplungkan ponsel dan sebungkus tisu ke dalam tas, lalu memeriksa isinya untuk memastika tidak ada yang ketinggalan: kunci mobil, dompet, ikat rambut, cermin kecil. Semua lengkap. Komplet. Beres sudah.

Aku baru saja hendak mematikan lampu kamar ketika ponselku berbunyi. Ring tone yang sangat khas, yang sengaja kupasang khusus untuk satu orang penelepon.

“Ya, Ky?”

Rizky Maulana. Mantan pacarku.

…uhm, belum resmi juga, sih.

Tunangan, lebih tepatnya. Yang akan segera resmi menjadi suamiku –dan melekatkan nama belakangnya pada namaku—dalam hitungan bulan.

“Sekali-sekali manggil ‘Sayang’ kenapa, sih?” suara di seberang merajuk seperti anak kecil. Aku tidak bisa menahan senyum lebarku.

“Dih, gitu aja ngambek.”

Rizky tergelak. “Kamu jadi nemenin Mama ke Mangga Dua?”

“Jadi, dong. Ini baru kelar dandan. Sebentar lagi aku jalan. Kan janjiannya jam 1…” aku melirik jam tangan, “Masih setengah jam lagi.”

“OK,” Rizky menanggapi dengan riang, tapi entah kenapa, di telingaku respon simpel itu lebih terdengar seperti helaan nafas lega. “Sip kalau gitu. Hati-hati di jalan, ya. Nyetirnya, maksudku.”

“Pastinya, dong,” aku menyahut ringan. Apalagi kalau perginya sama Mama kamu. Kecepatan di bawah delapanpuluh. Dan hindari segala jenis kendaraan raksasa-siap-menelan-nyawa seperti Metromini, truk gandeng, dan kawan-kawannya. Got it.

“Habis nemenin Mama, ada acara lain?”

“Ada janji sama Alexa. Ngopi bareng.”

"Alexa?" Terbersit nada heran di suara Rizky. "Bukannya dia di Bali?"

"Iya, tapi sekarang lagi di Jakarta. Makanya aku nggak mau nyia-nyiain kesempatan buat ketemuan. Abis tu' anak sibuk banget, janjian aja susah," aku menarik retsluiting tasku dan menekan tombol lampu. “Ky, aku udah siap nih. Jalan dulu, ya?”

"OK. Love you, Sweetie.”

"Love you too.”

Percakapan itu berakhir dengan manis. Seperti biasa.

Yah, setidaknya untuk saat ini.

***

“Halo, Tante,” aku menyambut salam hangat yang dilontarkan Tante Wini -ibunya Rizky- dengan sumringah, dan mendaratkan dua ciuman di pipinya.

Beliau tampak rapi seperti biasa, dengan tas tangan merah manyala dan pakaian yang lebih cocok digunakan untuk arisan ibu-ibu pejabat atau resepsi pernikahan dibanding berbelanja ke Mangga Dua. Atasan semi-blazer dan rok bahan hitam, plus sepatu berhak yang tingginya pasti minimal lima senti. Make-up tebal yang jelas-jelas bertujuan untuk memanipulasi umur. Dan rambutnya disasak tinggi, seperti… hmm, singa.

“Cantik banget, Tante.”

Tante Wini mengibaskan tangan, dan terciumlah semerbak parfum beraroma floral. “Ah, biasa.”

Kini pandangan beliau terarah padaku. Pada penampilanku, tepatnya. Men-scan pakaian yang kukenakan dari atas sampai bawah. Lalu tatapannya berhenti selama dua detik di wajahku yang hanya tersaput foundation, bedak tipis dan lip gloss pink transparan.

“Kamu perginya begini aja, Ra?”

Seketika, aku merasa jengah.

“Iya, Tante. Emang kenapa?”

“Nggak terlalu simpel?”

Here we go.

“Mmm… kita cuma ke Mangga Dua kan, Tante?” aku memberi penekanan pada kata ‘cuma’.

“Iya, tapi baju kamu kok kayak baju rumahan gini, apa nggak kelewat sederhana?”

Rumahan apa murahan
? Aku hampir saja menampilkan senyum nyolot terbaikku, ketika otakku memberi peringatan bahwa sosok elegan yang sedang berdiri di depanku dan men-scan tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki ini adalah Wini Astuti, perempuan yang melahirkan Rizky Maulana dan tercatat secara sah di akte kelahiran tunanganku sebagai ibu kandungnya.

Mendebatnya jelas bukan tindakan bijaksana.

“Mmm… iya sih, Tante. Abis tadi perginya buru-buru, nggak keburu milih-milih baju.”

Tante Wini menghembuskan nafas panjang. Entah apa artinya. Antara prihatin atau meremehkan, sepertinya. Bagiku, yang kedua terdengar lebih masuk akal.

“Ya sudah. Yuk, kita jalan.”

“Ya, Tan.”

“Kamu yang nyetir, atau mau suruh Pak Darmo bawa mobil kamu?”

“Kiara aja yang nyetir, Tan.” Sori ya, mobilku memang cuma Kijang keluaran lama, tapi nggak berarti aku rela menyerahkan kuncinya pada orang lain, meski kelihatannya keren: disupirin.

“Terserah.” Sekali lagi beliau menghela nafas panjang sebelum berjalan ke pintu depan. I swear, I saw the old witch rolled her eyes.

Aku menggenggam kunci mobil erat-erat.

Demi Rizky.
Demi Rizky.

Demi Rizky.
$@$%#%$%#@#$!!!

***

Brew & Co, lima jam kemudian

“Gitu deh, Lex,” aku mengakhiri curhat panjangku dengan dramatis, menghela nafas panjang persis seperti yang begitu sering dilakukan Wini Astuti di depanku -- kalau nggak ada anaknya, tentu saja. Di depan Rizky, Tante Wini jarang menunjukkan sikap antipati, sebaliknya, ramah dan penuh perhatian.

“Kadang, kalo lagi sebeeel banget, gue suka ngebayangin motong-motong calon mertua gue, digodok pelan-pelan setengah jam di air mendidih, ditambahin wortel sama kol, sampe jadi sup. Kalo perlu masak di kuali gede, kayak di film-film. Biar mampus tu’ nenek sihir.”

Kalau dipikir-pikir, hidupku memang tidak jauh beda dengan sinetron-sinetron garapan Rama Punjab, si sutradara kawakan asal India yang jadi ngetop setelah film layar lebarnya yang berjudul ‘Buruan Masukin Gue’ memenangkan AFI tahun lalu (Anugerah Film Indonesia, bukan Akademi Fantasi Indosiar – coba, ya). Bedanya, tokoh utama di sinetron-sinetron itu adalah perempuan-perempuan welas asih yang selalu tunduk dan pasrah terhadap nasib, sedangkan aku membenci calon mertuaku. Sama seperti beliau membenciku.

Pffffftt.

Disayang calon suami, dibenci calon mertua. Padahal, nikah aja belum.

OK, mungkin aku memang berlebihan. Tapi aku sungguh-sungguh merasa Tante Wini tidak suka padaku. Sangat berbeda dengan Oom Bayu yang sikapnya selalu hangat dan bersahabat, yang mana semua itu dilakukan dengan tulus.

Alexa tertawa terbahak-bahak. Sialan.

“Ketawa aja sepuasnya. Ntar juga lo kena batunya,” umpatku gemas.

Alexa masih terpingkal-pingkal, tapi tidak berkomentar lebih jauh. “Turut bersimpati ya, Kiara darling.”

"Thanks, Lex. Kalau suatu saat nanti lo ngalamin kejadian kayak gue, I’m all ears.”

"I won’t.” Alexa mengedipkan mata kocak. Dasar.

"Sekarang, gantian. Lo yang cerita. Gimana brondong-brondong Bali?" Aku menggeser cangkir kopiku.

Ya sudahlah. Yang sudah berlalu, ya sudah. Aku mau menghabiskan sisa hari ini untuk bersenang-senang. Dan besok aku masih punya waktu luang setengah hari penuh, sebelum menemani Tante Wini nyalon dan menghadiri resepsi pernikahan anak sahabatnya.

Duh
, Oom Bayu! Kenapa harus ada acara lain, sih? Kan jadi aku yang diseret-seret. Rizky juga. Kenapa harus meeting sama klien di hari Minggu segala?

Udah deh, Kiara
! Aku memaki diriku sendiri. Gak usah cengeng. Jangan ngeluh melulu. Anggap aja ini latihan…

…karena sebentar lagi, kehidupan model gini akan jadi bagian dari keseharian lo. Selamanya.


Sumber gambar, ya darimana lagi kalau bukan sxc.hu. *Maaf nyolot, masih sebel*

UPDATE!
Kalau ada yang pingin ngirimin cerita tentang kelajangan dan kehidupan menikah ke blog ini, silahkan aja lho. Kirim ke lajangdanmenikah@gmail.com. Ceritanya bakal dipilih dan dimuat di akhir setiap bulannya. Monggoo :)

Blog Widget by LinkWithin