"Lo pindah deh, Sil." Mbak Yustin, kakak gue yang kebetulan menyambangi tempat kost gue dan suami, berkata untuk ke sekian puluh kalinya.
"Males aaah. Gue udah enak kaleee, tinggal di sini."
Gue suka banget tempat kost gue. Enak,bok. Bentuknya kayak kompleks gitu deh. Ada tiga gedung utama, bertingkat tiga. Terus, di sayap kiri ada beberapa paviliun khusus suami istri. Orang-orangnya ramah, akrab tapi nggak nosy. Udah lima tahun gue ngekost di tempat ini. Awalnya sih, tempat kost gue ini sebenarnya tempat kost cewek, tapi sejak setahun setengah yang lalu, Tante Dini, yang punya kost, mulai ngebangun-ngebangun beberapa paviliun . Setelah gue tanya-tanya, dia bilang dia lagi rencana mau buka kost untuk suami-istri, modelnya macam paviliun gitu.
Pas-lah! Gue menikah dan pindahan ke paviliun. Udah setahun gue tinggal sama Chris di pavilliun ini. Selain gue ada tiga keluarga lagi. Kamar mandi di dalam, tapi dapur ya dapur bersama. Dan kami tinggal aman, tenteram di sini.
Udah enak-enak gitu masa pindah?
"Mau sampe kapan loe tinggal di sini?" tanya Mbak Yustin.
"Gue dan Chris tuh lagi nabung buat DP rumah. Kalo udah cukup buat DP rumah dan kalo kira-kira kita bisa nyicil rumah lah, Mbak. Sementara itu, ya di sini aja. Enak."
"Nggak sehat tau!" Mbak Yustin mendelik. Ia keluar dari kamar gue membawa piring bekas makan malamnya. Sejurus kemudian terdengar suara gemericik air ledeng dari dapur bersama.
Nggak sehat?
Gue berusaha untuk melihat salut debu di beberapa perabot kami. Nggak ada. Udara segar pulak karena ventilasi kamar kami baik. Apanya yang nggak sehat?
"Siiiiiil..." wajah Alexa, warga kos di sini *tsah warga ya bok*, muncul di ambang pintu. Dia terhitung anak kost baru, baru pindah dari Jakarta ke sini. Kami jadi kenal dan cukup sering ngobrol serta jalan bareng, karena Marco, pacarnya, mentor diving gue dan Chris. Yang menyarankan agar dia ngekost di sini juga Chris.
"Apaan, Lex?" tanya gue. Tanpa gue persilahkan dia masuk ke dalam dan dengan santainya melenggang mendekatiku.
"Chris belum balik?" tanyanya.
"Belum. Knapa?"
Dari sudut mata, gue lihat Mbak Yustin sudah berdiri di ambang pintu, mengamati kami berdua.
"Oh ya udah, nitip aja deh, dari Marco." Ia mengulurkan tiga keping DVD ke gue.
"Apaan nih?" tanya gue sambil menerimanya.
"CD foto bawah laut mereka. Chris nitip diburnin katanya." Alexa mengangkat bahu,"..ya wis, gue cabs."
"Mau ke mana lo?"
"Kencan tentyyyuuu..." Alexa berkata dengan kenes,"Deehh..ups!" dia berbalik dan nyaris menabrak Mbak Yustin di ambang pintu.
"Kenalin, Lex, kakak gue." kata gue.
"Oh, hai Mbak. Alexa." Alexa mengulurkan tangan dengan ramah. Mbak Yustin menatap sepersekian detik sebelum menerima juluran tangan Alexa. Sebagai orang yang tinggal lama banget dengannya, aku tahu, walaupun ia tersenyum, tapi ia tidak suka pada Alexa.
"Yustin." mereka berjabatan tangan. Alexa cengengesan seperti biasa. Mbak Yustin tetap mempertahankan senyum palsunya. Aku nggak ngerti apa yang membuatnya sebal. Mungkin pembawaan Alexa yang seenak-udhel-e dhewe alias seenak udelnya sendiri; tapi gue pikir ya nggak apa-apa juga,kali. Kalau seenak udelnya orang, nah, baru masalah.
"Ya udah, Mbak Yustin, saya jalan dulu."
Dan Alexa pun pergi.
"Itu siapa?" Mbak Yustin bertanya setelah melongok-longok, memastikan bahwa Alexa telah menjauh.
"Alexa. Anak kos sini. Pacarnya tuh temen gue sama Chris."
"Jadi belum nikah?"
Gue menggeleng.
"Pacarnya tinggal di mana?" tanya Mbak Yustin.
"Ngontrak, deket sini juga."
Mbak Yustin menghela nafas,"Ini nih, yang gue bilang nggak sehat."
"Apaan sih?" tanya gue nggak ngerti.
"Kost campur dengan cewek-cewek lajang! Aduh lo nih ya?" ia mendelik.
"Apa nggak sehatnya?"
"Ya lu liat aja, cewek itu main masuk-masuk aja ke kamar lo."
"Gue juga biasanya main masuk-masuk aja ke kamar dia." gue mencoba membela.
Mbak Yustin diam.
"Kenapa sih?" tanya gue nggak ngerti.
"Hati-hati, Sil. Hati-hati. Bisa-bisa suami lo nyangkut dengan salah satu cewek lajang di sini." Mbak Yustin berkata perlahan, tapi kalimatnya terdengar bagai gelegar petir di telinga gue. *deeeu lebayyy*.
"Ngaco deh lo, Mbak!"
"Ati-ati, aja. Mending lo pindah deh. Terlalu banyak godaan di sini."
Gue pun terdiam. Ini sama sekali nggak pernah terpikir dalam benak gue. Dan... gue tau, ini terdengar konyol... kok mendadak, gue jadi ketar-ketir ya?
Now, what should I do? Beneran pindah aja gitu?
Kalo mau share pengalaman yang sama, bisa share di sini yaa... http://www.facebook.com/topic.php?uid=46044229403&topic=7452
7 komentar:
Godaan mah dimana aja ada kalii.. hehehehehe
oh..cecil ama alexa se-kost-an
btw, kok pengalaman cecil mirip banget ama gw... gw juga masih ngekost gitu, trus kost-annya campur. bedanya di t4 gw banyak cwoknya
iya, godaan dimana-mana ada. tinggal kita aja yang jaga hati dan jaga diri
udah mbak...gak usah parno...ntar malah gak nyaman sendiri loh...nikmatin aja toh selama ini juga aman2 aja kan..
sambil nabung cari rumah..
Walopun dimana - mana godaan itu nyata, tapi mbak Yustin ada poin benernya lho ! Kita kan musti berhati - hati juga.
Mungkin mbak percaya sama suami mbak, tapi apakah cewek2 di kost situ bisa dipercaya gak godain laki orang ?
^_^
tiba-tiba gw punya pertanyaan, apa bener nih cewek2 yang udah menikah merasa insecure dengan keberadaan cewek single?
sebagai ce lajang, gue juga punya pertanyaan yg sama dengan alexa...
:-P
gw single, tapi gw setuju sama mba yustin. :D
sounds conventional sih.. tapi hidup campur2 itu emang ga sehat.
Posting Komentar