Jumat, Agustus 21, 2009

Cerita Kiriman: (setengah) lajang dan (setengah) menikah

Yup, that’s me!

Seingat saya, Saya selalu ingin menikah muda sejak SMP. Jangan tanya kenapa dan bagaimana bisa karena sebenarnya saya sendiri tidak tahu, yah mungkin karena ingatan manusia (baca: saya) seringnya tidak bisa menjangkau masa yang terlalu jauh di belakang dan tidak terlalu dramatis. Tapi kalau saya tahu efeknya pada kehidupan saya sekarang, saya pasti akan sangat mengingat alasan kenapa saya ingin menikah muda.

Mungkin… ini karena orang tua saya. Ibu saya menikah saat dia berusia 19 tahun (saat itu ayah saya berusia 29 tahun), lalu dia melahirkan kakak saya di usia 20 tahun, melahirkan saya di usia 22 dan adik saya yang paling kecil di usia 27. Saat kami – seluruh anak gadisnya – menginjak remaja, ibu saya terlihat seperti kakak saya yang paling tua. Walaupun tetap ada gap pemikiran (tentu saja! dia ibu dan saya anak kan?!?) tapi dia termasuk ibu yang sangat mengerti anak-anak gadis abege-nya ini.

Melihat rumah tangga orang tua saya, saya selalu berpikir kalau menikah muda itu menyenangkan. Ibu saya adalah seorang full time wife and mother, ayah saya pekerja di sebuah perusahaan yang memonopoli penyediaan listrik negara (kenapa sih ga bilang PLN aja?!), kami –anak perempuannya- juga punya prestasi yang cukup membuat orang tua saya bahagia dan moral kami juga baik, pokoknya semuanya serba keluarga bahagia versi jendela rumah kita, rumah masa depan, atau yah sinetron keluarga macam itulah.

Setelah cinta-cinta monyet masa SMP dan di awal-awal SMA, akhirnya sayapun jatuh cinta pada kakak kelas yang usianya dua tahun lebih tua dari saya, masa pacaran itu berlanjut terus sampai saya kuliah tingkat satu.

Empat tahun berpacaran, kekasih saya saat itu sudah lulus kerja dan bekerja di perusahaan milik orang tuanya sendiri (oh, saya belum bilang ya kalau pacar saya saat itu termasuk golongan “the man who has everythin, tapi setidaknya sekarang sudah tahu kan…) lalu mulailah “wejangan” dari orang tua yang…” sudah empat tahun pacaran, mau ngapain lagi?” dan “jangan kelamaan pacaran, nanti ada apa-apa” dan juga, “menikah itukan ibadah, kenapa harus takut? Udah yakin kan? Atau masih mau cari yang lain?”

Saya dan sang pacar saat itupun berpikir, “Ini sama sekali bukan ide yang buruk, malahan sangat baik…” dan dengan niat baikpun kami menikah.

Sangat benar kalau lajang dan menikah sama senangnya, sama repotnya. Tapi untuk saya saat itu, pernikahan bukan sebuah hal yang saya asumsikan dengan kebahagiaan apalagi cinta. Saat itu yang ada adalah permasalahan, air mata dan rasa sakit. Ya, ternyata masa pacaran hampir lima tahun tidak jadi jaminan kalau pernikahan akan bertahan lama dan cinta serta niat baik saja jauh dari cukup. Permasalahan yang dulu ada saat pacaran dan terlupa begitu saja karena rasa rindu, rasa takut ditinggalkan dan rasa tidak mau sendirian, kini jadi sangat sulit untuk dipecahkan. Apalagi saat anak kami lahir, anggota keluarga baru yang harusnya menjadi sumber kebahagiaan baru malah menjadi sumber rasa sakit dan masalah yang baru.

Akan butuh satu buku – yang depresif- kalau saya harus menceritakan masa pernikahan. Yang pasti, saya kemudian mengambil langkah untuk bercerai. Dengan wajah tegak dan hati yang dikuatkan dengan doa, saya mengurus segala urusan perceraian dan memperjuangkan pengasuhan anak, tanpa menuntut harta gono gini, tanpa meminta tunjangan ini itu.

Masa berlalu, dan inilah saya 7 tahun kemudian. Perempuan berusia 27 tahun dengan seorang anak laki-laki berusia 8 tahun yang terbiasa untuk hidup hanya dengan maminya yang (setengah) lajang karena tak punya partner hidup namun juga (setengah) menikah karena tetap hidup dengan tanggung jawab, kewajiban dan tentunya juga kebahagiaan seorang wanita yang sudah menikah.

Sekarang saya sering berpikir tentang saat dimana saya melajang dan juga saat dimana saya menikah. Pernah terlintas, kenapa saya tidak memilih untuk melajang lebih lama? Mungkin saat ini saya baru akan heboh mengurus pernikahan saya setelah sebelumnya menikmati masa muda bersama teman-teman saya. Mungkin saya kuliah lebih tinggi (walaupun sekarang saya juga lulusan dari Universitas Indonesia dengan IPK nyaris sempurna), mungkin saya bekerja lebih keras dan karir saya lebih tinggi.

Atau seharusnya saya berjuang lebih keras mempertahankan pernikahan saya, seharusnya saya bersabar, seharusnya saya percaya kalau orang akan berubah. Mungkin saat ini saya sudah mencapai impian terbesar hidup saya, menjadi istri, ibu rumah tangga dan penulis!

Tapi kemudian saya mengerti kalau segala sesuatu terjadi karena alasan dan selalu ada hal indah dibalik segalanya. Kalau saya memutuskan untuk tidak menikah, mungkin saya akan mengalami masa muda yang bergejolak dan penuh tawa, tapi saya tidak akan memiliki anak laki-laki yang kini jadi alasan saya untuk tetap berjuang dan tersenyum.

Kalau saya memutuskan untuk tetap menikah apapun alasannya, mungkin sekarang saya sedang menjadi pecandu kopi untuk meredakan beban pikiran (dulu saya sempat begitu), kurus karena tidak pernah napsu makan dan terus menerus merasa tidak bahagia. Mungkin saya tidak akan bekerja di tempat saya bekerja sekarang dimana saya bisa bertemu banyak orang-orang luar biasa yang menginspirasi hidup saya. Dan saya tidak akan pernah menyadari satu kalimat dengan pasti, “cobaan, rasa sakit, kekecewaan, apapun itu, kalau itu tidak bisa membunuh kamu, itu hanya akan membuat kamu makin kuat”

Saya telah memilih jalan hidup saya. Saya pernah menikmati senang dan repotnya jadi lajang dan juga hidup dalam sebuah pernikahan, dan kini saya sedang menjalani masa saya sebagai si (setengah) lajang dan (setengah) menikah. Sedikit lebih berat memang, saat tak ada pendamping sementara sang anak harus masuk rumah sakit (bahkan masuk sekolah pun cukup menegangkan bagi si setengah lajang dan setengah menikah), saat orang-orang senang menjadikan kita bahan diskusi atau obrolan di sela minum kopi atau saat ingin mendiskusikan kemana langkah saya akan dibawa (tentunya bersama seorang anak kecil dalam genggaman tangan).

Masa lajang dan menikah, sama senangnya, sama repotnya dan juga sama – sama harus disyukuri nikmatnya. Saya mungkin tidak akan pernah lagi bisa merasakan masa melajang, tapi saya tidak sabar untuk bisa menikmati lagi senang dan repotnya menikah. Saya tidak trauma kok, dan saya percaya Tuhan akan mengizinkan saya bahagia dalam pernikahan, satu kali lagi.

Picture credit : svilen001. Taken from : http://sxc.hu

-amila si (setengah) lajang dan (setengah) menikah-

8 komentar:

Ade mengatakan...

Sama.. Saya juga dulu bercita2 buat menikah muda dengan pertimbangan supaya nanti jarak umur saya dan anak ga terlalu jauh..
Eh, tapi manusia cuman bisa berencana ya, saya menikah umur 26 tahun dan sampai sekarang belum punya anak huhuhu *malah curcol :-P*

Teh Nita mengatakan...

i love this story.. :)

Sinta Nisfuanna mengatakan...

wah...cerita yang inspiratif, memberi gambaran baik buruk lajang ato nikah

Unknown mengatakan...

@ade: hahaha.. curcol dihalalkan kok :) memang kita ga pernah tahu garis hidup, tapi satu yang pasti: Tuhan akan memberik kita yang paling baik. Thanks for your comment dear ...

@Nita: Hi Nita.. Thank you..

@penikmat buku: terima kasih :) pastinya lajang atau menikah akan memberi kita pengalaman dan pelajaran hidup

@plainami: :)

Ranny mengatakan...

nice sharing..jadi bisa melihat sisi lajang dan menikah..sayah terkadang parno dengan pernikahan..dulu pengen nikah cepet tapi setelah lulus dan bekerja keinginan itu kadang bertabrakan antara ingin dan takut :((
jadi sementara ini sayah lebih memilih lajang dulu sambil menjalani hubungan

achiato mengatakan...

kayak kenal sama ceritanya. :D

Anonim mengatakan...

salut, mba.. :)

Unknown mengatakan...

@ranny: thank you ranny, yang pasti...selama kamu bahagia maka itulah hal yang palingbaik untuk kamu saat ini

oh dan satu yang sering saya katakan pada seluruh teman perempuan saya, "takut boleh, asal jangan jadi penakut" kamu sudah menang saat berani melawan ketakutan kamu... :)

@achie: kayaknya saya kenal sama kamu :D

@wulan: thank you, wulan... :)

Blog Widget by LinkWithin