"Lu tuh punya niat menikah nggak sih?" celetukan itu keluar dari bibir Cecil mendadak, saat kami sedang berada di dapur rumah kontrakan Marco, untuk menyiapkan makan siang weekend ini. Sementara Marco dan Chris, sedang menjalankan fitrahnya sebagai pria yang memiliki kecenderungan tidak berguna untuk perkara domestik. I have no idea what they are doing now. Mungkin mereka sedang melakukan kegiatan pria sejati pada umumnya, antara main games, menonton DVD atau mengobrolkan masalah pria sambil merokok di teras. *roll eyes*
Menu kami hari ini adalah pasta, salad dan chicken cream soup. Pasta telah selesai, Cecil sedang mengaduk cream soup di kompor supaya tidak pecah, saya memotong-motong slada, tomat, timun dan bawang bombay untuk diatur di piring saji dan disiram dengan saus Thousand Island. Memang mostly kami menggunakan bahan instan, duuuh, hari gini ya, kalau bisa melakukan satu hal dengan sederhana, kenapa musti ribet? ;-)
"Kenapa emangnya?" tanya saya.
"Just curious."
"Curiousity kills many cats." balas saya.
"Gue kan bukan kucing."
"Iya juga sih." saya terdiam,"Mmmm... sumpah sampe sekarang belum ada sedikit pun terbersit keinginan menikah dalam benak gue."
"Boong ah."
"Eh, serius. Suer." saya pun mengangkat tangan kanan saya dan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V.
"Emangnya lu nggak pengen settling down satu saat nanti?"
"Oh tentu pengen. Satu saat nanti, entah kapan. Gue selalu berpikir untuk punya rumah kayu di desa, terus bercocok tanam hidroponik.Tapi, dalam bayangan gue, nggak pernah ada sosok suami tuh, yang ada malah sosok Golden Retriever yang bakal gue kasih nama Che atau Lennon. Dan uhm, kadang-kadang keselip juga dalam khayalan gue, seorang anak cewek, yang gue kasih nama Yoko."
"Eh, gimana sih khayalan elo, ada anak tapi nggak ada suami!" Cecil mengerutkan kening, ia menghentikan adukan tangannya pada panci soup.
"Mmm... gimana dong, memiliki suami itu nggak pernah ada dalam bayangan settling down versi gue." saya mengedikkan bahu.
"Kalo lo nggak punya suami, gimana punya anak dong?"
"Adopsiiiiii... " jawab saya,"... itu ya coba, soupnya diaduk, ntar pecah..."
Iya, saya selalu berpikir untuk mengadopsi anak.
"Ih. Adopsi?" kening Cecil semakin berkerut,"Nggak pengen punya anak sendiri?"
"Mmm, belum kepikir tuh. Tapi gue pengen punya anak. Jadi cara satu-satunya ya adopsi, secara ya gue hidup di lingkungan yang ribet sama masalah moral, nggak kebayang kalau gue punya anak sendiri, tanpa suami. Gue sih nggak setabah dan secuek itu ngadepin public judgement. Dan itu, coba soupnya diaduk."
.... lagi pula, buat apa sih menuh-menuhin populasi dunia dengan beranak lagi, padahal di dunia ini masih banyak anak yang membutuhkan support secara spiritual, mental dan finansial? --- imbuh saya dalam hati.
"Tapi anak sendiri itu beda tau nggak sih rasanya dengan anak adopsi." sanggah Cecil.
"Ya beda lah, gue juga tau, yang satu dilahirin dari rahim sendiri, dengan rasa sakit karena vagina sobek, yang satu nggak."
"Wis, gila lo." Cecil menggelengkan kepala.
"Itu coba soup..."
"Iya, iya, gue aduk..." potong Cecil.
Lalu hening sesaat, saya pun mulai menyusun seluruh sayur yang telah saya potongi di atas piring saji.
"Ikatannya batinnya kan beda juga, Lex." cetus Cecil tiba-tiba.
"Kata siapa?" saya menoleh.
"Mmm, kata gue barusan..."
"Ngaco lu." saya tersenyum.
Ya, saya tahu bahwa Cecil ngaco. Sangat ngaco. Bagi orangtua yang 'bener' dan bertanggung jawab, nggak ada bedanya ikatan batin antara anak kandung dengan anak angkat, selama memang orangtua terlibat langsung dalam proses tumbuh kembang anak dan menyayangi anak tersebut seperti menyayangi anak dari rahim sendiri.
Darimana saya tahu ini? Karena saya sendiri adalah anak adopsi. Setelah melahirkan Bang Leo, Ibu kerap hamil dan keguguran. Ditambah lagi dengan keanehan yang terjadi ketika menstruasi, saat-saat seperti itu bisa dipastikan darah yang keluar berlebihan, bahkan ada satu saat di mana beliau sampai harus ditransfusi darah. Terakhir, perut ibu membesar, dipikirnya hamil, ternyata setelah diperiksa, beliau didiagnosa terkena Mioma Uteri dan harus menjalani miomektomi, alias pengangkatan Miom.
Dikiranya setelah itu aman, dan ibu bisa hamil dengan tenteram. Tapi ternyata salah, miom tersebut muncul kembali, sehingga diputuskan bahwa Ibu harus operasi angkat rahim.
Padahal ia masih ingin punya anak lagi. To make long story short, maka ibu mengadopsi anak. Saya lah, si Alexa ini, yang menjadi anak beruntung yang diadopsi oleh keluarga bapak dan ibu saya.
Saya diadopsi sejak umur lima bulan dari seorang kerabat di Menado sana.
Saya baru tahu tentang kebenaran ini saat berumur tiga belas tahun, itu pun karena tak sengaja mencuri dengar pembicaraan antara bude-bude dan tante-tante saat reuni keluarga.
Bagaimana perasaan saya? Kacau. Shocked lah jelas. Selama ini, mereka yang saya anggap orangtua kandung, adalah orangtua tiri saya. Man! And I was just only 13 that time. Lagi badung-badung nyebelin sok taunya. :) Meskipun saya tahu bahwa selama ini, tidak ada satu perbuatan pun yang membedakan perlakuan mereka pada saya dan Bang Leo, meski saya tahu bahwa mereka sungguh menyayangi saya, tapi saya sok-sokan ingin ketemu orangtua kandung saya.
Saya sempat tinggal selama setahun bersama orangtua kandung saya. Did i feel happy? No. I didn't... at all. Bukan karena keadaan keluarga kandung saya, tapi karena saya sama sekali nggak punya perasaan apa-apa terhadap mereka. Ikatan batin apaan? Ikatan batin dari Hongkong! Saya merasa tersiksa karena harus hidup jauh dari bapak, ibu dan Abang angkat saya. Karena ini, saya jadi sakit, funny thing, my mom also got sick, dalam waktu yang bersamaan.
Akhirnya saya pulang pada mereka. Saya menyebut mereka : rumah, tempat orang-orang yang memiliki ikatan batin dan saling mengasihi berkumpul. Yeah, saya masih berkirim surat dengan orangtua kandung saya, tapi kalau disuruh memilih, atau menyebutkan, siapa orangtua saya --- saya lebih suka menyebutkan bahwa bapak dan ibu angkat saya, adalah orangtua. :)
Buat saya, ikatan batin itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan apakah anak tersebut adalah anak kandung atau bukan :)
"Selesai." cetus saya setelah menuangkan saus Thousand Island.
"Selesai juga..." seru Cecil sambil mematikan kompor.
"Mmm. Lex, tapi katanya, perkembangan anak itu bakal lebih seimbang kalau orangtuanya lengkap, ada bapak dan ada ibu."
"Mmm, iya ya?" saya tersenyum kecil,"... mungkin gue bisa melibatkan Marco, atau pacar-pacar gue nanti, saat gue sudah settling down, dalam ngerawat anak itu."
"Lu gila..."
"Ah, lagian ini kan baru khayalan guee.. serius amat sih lo." saya pun mengangkat piring saji yang berisi salad ke ruang makan, sementara Cecil menuangkan soup ke dalam mangkuk saji.
Marco dan Chris ternyata sedang membahas kamera DSLR canggih baru milik Chris. Benar-benar pria sejati. :)
"Cowok-cowok! Makan siang! Ntar nggak mau tau, kalian yang nyuci ya, bowww..." cetus saya.
"Aduh, perempuan-perempuan jaman sekarang ya..." balas Chris dengan nada bercanda.
Gambar dari : http://sxc.hu
7 komentar:
Ada tetangga yang adopsi anak juga dari bayi.. gedenya malah mirip banget loo sama bapak + ibu angkatnya.. saya sampai takjub :-)
eh lex, kok bapak + ibu tiri sih? harusnya bukannya bapak + ibu angkat kalii :rolling eyes:
tiri sama angkat emang ga sama aja ya? tau ah. Gitu deh, pokoknya bukan kandung ;-)
kok tiri sih...bukannya anak tiri itu anak yg berasal dari perkawinan pasangan sebelumnya gitu.
Yg benernya di sini anak angkat.
oh ya baiklah...
dikoreksi yaa :)
lexa... setujuu gue juga ngerasa g punya ikatan batin ma nyokap bokap
sayangnya g ada yang mo ngangkat gue anak hehehe jadi ya gue kayak anak ilang aja
yah selama ini orang2 masih mengira gue masih anak mereka padahal sudah lama tidak lagi
sukaaaaaaa cerita yang ini ^^
kaget banget baca ini, kok jalan pikirannya bisa sama persis. :)) nice post!
Posting Komentar