Nisya menghampiri kubikel saya lalu menyapa ramah. Wajahnya jauh lebih ceria. Tumben, padahal dia adalah salah satu orang yang malas saya dekati di kantor baru saya, gara-gara juteknya nggak ada dua. Dan saya rasa, beberapa orang juga merasakan hal yang sama.
Ada yang berbeda dari Nisya. Penampilannya kali ini,
sophisticated. Padahal kemarin-kemarin, saya selalu melihatnya memakai
tshirt bergambar grup band dekil, celana
jeans belel dan sepatu
canvas.
“Hi, Beyb.” Sapanya ketika melewati kubikel saya.
“Hai… Suasana hati lagi bagus?”
“Tentyuuu…” Tanpa menjelaskan lebih lanjut, ia menghampiri kubikel Anna, yang bersebelahan dengan kubikel saya.
“Weits! Penampilan lo normal lagi.”suara Anna.
“Oh, tentyu. Akhirnya gue memutuskan untuk mendepaknya. Nggak kuat booww. Gue berasa bukan pacarnya, tapi
baby-sitternya. Hih.”
“Pantes. Baguslah, gue rada males deket-deket sama lo selama lo jadian dengan Reza, uring-uringan kayak orang PMS melulu.”
“Gimana mo nggak kayak orang PMS, Beyb. Ngeselin gitu si Reza.”
“Salah lo, nekad, pacaran sama dia. Beda berapa taun, Nis?” Tanya saya.
“Enam bok. Gila ya?” ia terkekeh.
“Kebayang nggak sih lo, waktu dia kelas satu SMP, lo udah kuliah. Ampyun.”
Ia terbahak,”Well, dia pacaran ma gue enak banget ya? Fantasinya
MILF-nya terpenuhi.”
“Kok MILF sih? Emang lo udah emak-emak?”
“Ya udah, OLILF,
old lady I’d like to fuck.”
Saya menahan tawa mendengar cerocosan dua mahluk dari kubikel sebelah.
“Tapi perasaan waktu masa-masa PDKT, lo kayaknya seneng-senang aja, deh. Malah lo bilang, enak pacaran ma brondong, karena cowok-cowok muda itu nggak mikirin komitmen nikah. Cocok banget buat cewek-cewek yang males komitmen.”
“Iye, enaknya sebulan doang, An. Selebihnya? Bunuh aja gueee…” katanya dengan intonasi yang membuat saya tidak mampu menahan tawa.
“Emang napa sih, Nis?”
“Gue berasa jadi punya anak aja gitu. Minta perhatian gede banget. Reseh banget lah,
demanding. Pinginnya gue itu berperan sebagai sosok perempuan keibuan yang ngemong.”
“Laaah? Bukannya emang itu yang dicari sama brondong-brondong itu, kalau mereka macarin cewek yang lebih tua?”
“Sialnya gue baru sadar belakangan, pas dia bilang : gue tuh mau membina hubungan sama lo, karena lo lebih tua dari gue, bisa ngemong…”
Terdengar suara Anna terkikik.
“Dan.. yang kedua, ini juga baru gue temuin hasil semacam artikel psikologi apalah, di internet. Gue nggak ingat tepat artikelnya, pokoknya, intinya tingkat tertinggi libido perempuan itu di umur tiga puluhan, sedangkan cowok, di perempat abad…”
“Terus? Nyambungnya sama kisah asmara lo apa?” Tanya Anna
“Anjrit, kisah asmara ya booo…” Nisya terkekeh,”Ya, itu dia, mungkin dia udah baca duluan kali ya, artikel itu, lalu dengan sembarangan nyimpulin, kalau gue ketemu ma dia, artinya adalah waktunya memuaskan birahi.” Intonasi Anna menaik,”Gila, ya.. tiap ketemu bawaannya grepe-grepeee melulu. Males, kan? Sedangkan gue, gue tuh kadang-kadang pengen ngobrol doang, sayang-sayangan doang, nggak musti berhubungan seksual”
“Itu artikel bisa dipertanggungjawabkan, ga sih?” Tanya Anna
“Nggak tau juga. Apa sih yang bisa dipertanggungjawabkan di internet?” ia mengangkat bahu,”
Sex itu seharusnya kan
pleasurable, ya nggak An?”
“Iye.”
“Dan nggak musti
sexual intercourse kan?”
“Tentyunya.”
“Nah, gue sampai di titik di mana gue menganggap sex itu mengerikan. Bahkan ketemu dia itu mengerikan. Karen ague ngerasa, setiap sentuhan itu bakal ngebawa gue dan dia ke arah
sexual intercourse. Ihhh” nadanya terdengar jijik.
“Reza
hyper kali, bo.”
“Tau deh.” Terdengar jeda sesaat,”Bo, gue enek lho, tiap bayangin mukanya. Belum lagi jelesannya, obsesifnya, suka merajuknya. Ih eneg, eneg, eneg.”
“Alaaa, dulu aja, berbunga-bunga, sekarang eneg.”
“Ini, the dumbest mistake I’ve ever done. Nggak mauu lagi pacaran sama brondong…”
“Kali lo sial aja dapet brondong yang kayak gitu,”
“Pokoknya nggak mau! Cowok yang lebih muda itu, bikin gue kayak terserang
baby blues, padahal gue nggak abis melahirkan.”
“Bukan
baby blues, kali… tapi
Brondong blues.”
“Iya, itulah.. terserah.”
“Tapi seriously, gue seneng lo kembali normal lagi. Berpakaian sesuai kepribadian. Dan yang paling penting --- nggak uring-uringan lagi!”
….
Itu adalah pembicaraan yang tanpa sengaja saya curi dengar sebulan yang lalu. Dan sikap Nisya juga berubah, jauuuh lebih ramah dan cukup sering ngobrol dengan saya. Ternyata perempuan cantik itu menyenangkan juga, kocak pula. Walaupun kadang-kadang galak.
Sebulan setelahnya, saat saya dan Marco sedang mengantri untuk membeli tiket nonton midnite, pundak saya ditepuk oleh seseorang.
“Halo, Lex…” ternyata Nisya lagi.
“Oits, halo Nis..” saya menatap penampilannya, dari atas ke bawah. T-shirt bertuliskan merek mobil offroad tertentu, celana cargo dan sepatu sandal gunung. Duh, nggak Nisya banget deh.
“Nonton apa lo?” Tanya Nisya dengan sumringah.
Saya pun menyebut judul film yang hendak saya tonton, lalu memperkenalkan Marco. Mereka berjabat tangan basa-basi.
“Sama siapa lo?” Tanya saya.
“Sama cowok gue. Dia lagi di toilet. Ntar deh gue kenalin.”
Hmm, melihat gaya berpakaian Nisya yang begini, saya curiga bahwa pacarnya yang baru… brondong lagi!
Dan sepertinya dugaan saya benar, tak lama, seorang pria menghampiri Nisya, dengan t-shirt yang persis sama dengan yang dipakai Nisya, celana cargo selutut dan sepatu sandal gunung. Wajahnya terlihat muda, seperti cowok awal dua puluhan. Atau memang pria tersebut babyface.
Kami berempat terlibat berbasa-basi sejenak, lalu Nisya dan pacarnya pun pergi. Mereka tampak berangkulan mesra.
Tiba-tiba saya mendapat firasat, besok-besok ia akan muncul di kantor dengan celana cargo dan tshirt bermerk mobil offroad deh.