Rabu, Januari 28, 2009

Si Lajang : Mendekati Marco

"Selamat bergabung menjadi stylist kami, Mbak Alexa..." Pak Gunawan, pemred 'Piknik', majalah travel dan culture di Bali.
"Sama-sama, Pak." Saya berdiri.
"Sampai ketemu hari Senin depan."

Dan saya pun keluar dari ruang kerja Pak Gunawan.

Jadi stylist sebuah majalah. Benar-benar nggak pernah jadi impian saya. Eh, lebih tepatnya, kerja kantoran deng. Ini kerja kantoran ke tiga, dalam 9 tahun terakhir. Saya mendapatkan info bahwa majalah 'Piknik' mencari stylist dari salah seorang teman kuliah saya.

Sesungguhnya, saya masih bertanya-tanya, bisakah saya bertahan --- kerja kantoran lagi?

Ah, nggak tau ah. Gelap bok.

Lalu, tanpa antusiasme berlebihan seperti orang-orang yang baru diterima kerja, aku mengeluarkan handphone dan mendial nomor Marco ketika sudah keluar dari kantor redaksi. Terdengar nada sambung beberapa kali, lalu suara Marco : 'Halo?'

"Nyet, tebak?" tanyaku langsung,
"Lo diterima..." Jawab Marco.
"Ah, ga seru."
"Yah gimana dong, gue tau, orang kayak elo pasti diterima di mana-mana."
"Udah makan siang belum?" tanyaku.
"Belum."
"Makan yuk. Ke tempat biasa."
"OK, setengah jam lagi ya..."

....

Yah, begitulah. Akhirnya, sepulangnya liburan di Togian, saya memutuskan untuk pindah, ke Bali, mendekati Marco tinggal.

Yup, setelah liburan kemarin, kami sama-sama sadar bahwa kami lelah akan hubungan jarak jauh. Dan dia tidak mungkin pindah ke kota saya; jadi saya lah yang pindah ke kotanya. Kepada orang rumah sih, saya bilang, saya mau tinggal agak lamaan di sini, mereka nggak masalah, udah biasa soalnya. Tapi saya belum bilang bahwa saya mau pindah.

Saya sudah dua minggu di sini, luntang-lantung. Sebagai freelancer, klien saya kebanyakan di kota saya, atau Jakarta. Di sini? Nggak ada. Atau belum ada. Dan karena baru, saya juga masih blank dalam membangun jejaring *halah gayane* pertemanan yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan pekerjaan seperti yang biasa saya lakukan. :D

Akhirnya saya mencapai satu titik kesadaran bahwa ini bukan liburan, saya HARUS bekerja. Memang ada Marco yang (dengan pemurahnya) membantu saya menghemat dana, tapi kan nggak bisa gitu terus, walaupun dia nggak keberatan. Siapa dia? Suami bukan.

Saya memasuki warung makan tempat kami biasa makan dan mendapati Marco telah menunggu.

"Hey, congrats." ia memeluk saya.
"Hm.. Thanks."

Lalu kami duduk. Sebenarnya saya masih mikirin, bakalan betah nggak ya saya di sini? Bakalan tahan nggak ya saya kerja kantoran lagi?

"Nyet. Diem aja." Marco menyenggol lengan saya,"Kenapa loe?"
"Nggak apa-apa. Ih, jadinya gue beneran pindah,yak?" saya cengar-cengir.

Lalu kami mulai mengobrol, ini dan itu. Membahas banyak hal, seperti biasa.

"Nyet. akhirnya ya,..." Marco terdiam. Saya menunggunya melanjutkan kalimat,"..Kita tinggal berdekatan."

Saya tersenyum melihat betapa sumringahnya Marco.

"Jadi... jadi nih, kita ngontrak bareng?" Tampang Marco terlihat jahil.

Ah. Saya terdiam. Entah sudah berapa juta kali kami berandai-andai untuk tinggal bareng. Tapi, sebenarnya untuk benar-benar melakukannya, saya meragu.

Jangan salah, ini tawaran yang menarik. Tinggal bersamanya. menghabiskan waktu 24 jam bersama, bersenang-senang. Saya tahu, ini bakal menyenangkan.

tapi..

"Lex?" Marco memanggil saya yang tak kunjung memberi reaksi.

Gimana coba, cara ngomong dengan si Papah dan si Mamah? Karena, orangtua saya, sama seperti orangtua-orangtua lain. Masih memegang nila-nilai, norma-norma, yang yaaah, dipercaya banyak orang, tanpa mencoba melihat sisi lain. Masa sih saya ngomong gini : "Pah, Mah, aku pindah ke Bali, tinggal bareng Marco." Jedeng. Alamat ditarik pulang kaleee...

Lalu berbohong?

Saya, seriously, benci berbohong. Apalagi berbohong pada orangtua. Lagipula, saya bukan pembohong yang baik, seringnya kalau bohong ketauan. Duh.

"Yeh, malah diem dia..." Marco mengacak rambut saya.
"Ntar deh, ya Co, ya... gue pikirin dulu..." jawab saya.

Marco terlihat kaget. Mungkin, karena kami sudah pernah membahasnya dengan menggebu-gebu, ia berpikir akan langsung mendapat jawaban 'ya.'

"Ya sudah, pikirin aja. Gue cuma berpikir, bakal nyenengin aja. Gitu..." begitu katanya, pada akhirnya.

Saya menatapnya. Seperti biasa, ia tidak pernah memaksa.

7 komentar:

Anonim mengatakan...

tinggal bareng tanpa ikatan...gw mau banget
sayang...ortu emang msh teguh memegang norma2

*masih takut dosa dan Tuhan*

Anonim mengatakan...

hm...jangan deh...
dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung kan?
ga tahu ya di bali sono hal itu biasa atau ga, tapi setidaknya di Indonesia Raya ini..hal itu ga lumrah..
(gw ga bilang ga boleh lho ya....)

Enno mengatakan...

hmm, nyokap gue blm apa2 dah ribut pas tau gue mau liburan berdua ke aussie sm co gue. pdhl msh 3 bulan lagi... NPWP aja baru mau dibikin. eh ributnya setengah mati kayak gue mau dibawa kabur gak dipulangin lagi hehehe...

kayaknya memang mesti dipikir2 lagi lex.. apalagi kalo ortu loe jenisnya yg mudah syok. nyokap gue aja blm apa2 dah meratap... aaah susah deh! haha

Anonim mengatakan...

yipeee.... di bali ya bu... ayo kalo mau jalan bareng, dengan sukarela kutemenin deh :D

Anonim mengatakan...

selamat kerja kantoran lagi, eh kalo takut ga betah kok ngelamar sih?

soal tinggal sama marco? ikutin kata hati aja, berarti kalo dari tulisan di atas, jawabannya negatif....caelah

Anonim mengatakan...

nots:
takut ortu, takut dosa, takut Tuhan, banyak ya bo :D

desty:
iya seh :)

enno:
selama belum nikah, ye.. masih anak emak kita-kita... hahaha

dewi:
assiiiikkk... :D

hedi:
iya neh, brarti emang blom bulet :D

Anonim mengatakan...

Seandainya daku jg pny keberanian buat pindah ke bali biar deket sama pacar.. hiks!

Blog Widget by LinkWithin