SITTA KARINA
“wow! cowok seganteng itu ternyata family man?”
“Nggak apa-apa deh dia nggak sekeren Ario Bayu, yang penting kan family man.”
“Katanya Eja tipe family man ya? Dia kasih surprise untuk ultah neneknya lho. So sweet banget ya!”
“Wuiiiih! Family man ya? Mau dong dikenalin. Kayaknya OK tuh jadi suami!”
Harus saya akui bahwa hati tiap kali melihat, mendengar, atau sekadar mendapatkan berita tentang laki-laki tipikal family man, hati langsung “meleleh”. Terbayang masa depan yang aman dan bahagia seperti happy ending di kebanyakan dongeng Disney’s. Tidak ada lagi sakit hati yang menyesakkan dada, tidak ada lagi malam ditemani film romance plus sekotak es krim dan cokelat sebagai “obat penenang”, dan tidak ada lagi retail therapy yang belakangan malah bikin makin stres karena tagihan kartu kredit yang melambung.
Intinya, bersama si family man, hidup kita pasti aman.
Such a funny thought, pikir saya, terutama setelah sekarang melihat contoh family man ini dalam kehidupan nyata. Saya jadi teringat definisi family man ketika pertama kali berkhayal tentang pria macam ini—cowok pencinta keluarga, cowok rumahan, atau jangan-jangan cowok yang malah tergantung melulu sama keluarganya.
Family man adalah istilah yang saya dapatkan ketika menonton film dengan judul sama awal 2000 silam yang dibintangi Nicholas Cage. Saat itu saya masih seliweran di kampus dan cukup “ketampar” dengan kenyataan pernikahan dan seperti apa kehidupan setelah menikah (terutama setelah berkeluarga). Oh, jadi anak nantinya menjadi prioritas? Oh, jadi nggak waktu untuk clubbing? Oh, jadi kita yang saat masih pacaran merupakan pasangan wangi, neat and clean akan jadi kucel karena sibuk mengurus keluarga dan urusan rumah tangga?
Salah besar kalau menganggap family man identik dengan cowok rumahan. Ia adalah pria yang sadar dan ingin menjalani kehidupan—to grow old—bersama keluarganya. Bukan sekadar pria yang hapal quote epik The Godfather, bukan sekadar pria yang bekerja demi bisa “dandanin” mobilnya, bukan juga pria yang masih sibuk tweeting di saat istri butuh pertolongan menjaga si kecil lantaran nanny cuti.
Family man menjalankan perannya sebagai suami dan ayah dengan hati lapang. Selain itu, ia akan terus belajar untuk menjadi pemimpin yang baik agar dapat membawa keluarganya ke kebaikan. Dalem banget kan makna si family man ini. Gimana cewek-cewek nggak pada “ngiler” mengejarnya!
Lalu, gimana dong cara dapetinnya? Pasti jumlahnya nggak banyak, kan? Rebutan dong dengan cewek-cewek sejagat yang juga menginginkan hal sama? Setelah menonton The Family Man, saya tahu bahwa saya ingin kehidupan berkeluarga yang chaotic namun hangat seperti keluarga Jack Campbell dalam kondisi “what-if”-nya. Saya juga menyadari bahwa ada proses yang berlangsung dibaliknya sebelum seorang pria menjadi family man. Nah, sebelum hunting jenis pria seperti ini, yuk lihat dulu ke dalam diri: apakah selama ini kita sendiri sudah pantas, atau setidaknya mempersiapkan diri, untuk jadi pendamping pria seperti itu? Kasihan kan kalau ternyata si family man mendapatkan istri yang cuma “cari aman” tapi tidak memahami kebutuhannya, tidak mendengarkan aspirasinya?
Oh, jadi kalau mau dapetin family man kita harus jadi family woman dulu? More or less, yes. Si dia ada untuk keluarga, terus kitanya keluyuran melulu? Big no, darl. Yakin deh bahwa sesuatu yang baik bisa kita jemput dengan kebaikan juga. Seperti kata Paulo Coelho, when you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.
*untuk blog lajangdanmenikah.com
Sumber ilustrasi : superstock.co.uk
www.sittakarina.com
blog: sittakarina.posterous.com
twitter: @sittakarina
FB : facebook.com/sittakarina