Minggu, Juni 28, 2009

So Much for Happiness

“Daripada BT ga jelas, ke Bali aja!”

Itu celetukan Alexa dua hari lalu, ketika aku (lagi-lagi) mengeluh tentang betapa penatnya aku menjalani kehidupan *halah* di Jakarta. Well, bukan hidup-nya yang membuatku suntuk.

I’m lucky. I know.
Punya pekerjaan tetap dan kehidupan nyaman, punya tunangan yang sangat mencintaiku, punya orang tua baik hati yang tidak pernah mempermasalahkan bahwa di usia mendekati kepala tiga begini aku masih menumpang hidup dengan mereka dan tidak pernah memberi subsidi bulanan sama sekali (yup, gajiku selalu habis untuk diri sendiri, plus sekarang aku harus menabung untuk biaya pernikahan).

Dari bayi diurusin, sampai sebesar ini, aku sama sekali belum membalas budi orang tua. Duh, Mama, Papa, maaf banget ya. Abis gimana dong…

Meski orang tua Rizky kekeuh ingin menanggung seluruh biaya pernikahan kami, aku tak kalah bersikeras ingin ikut berkontribusi, meski sedikit. Bukannya aku sungkan. Males aja kan, kalau (calon) mertuaku yang sebelas-dua belas sama nenek sihir itu berkicau ke semua orang bahwa pernikahan ini terlaksana karena campur tangan mereka. Aku jadi bulan-bulanan di keluarga besar Rizky? Nggak usah ya.

Gini-gini juga, aku masih punya harga diri.

“Ke sini aja yuk, Ra. Lo boleh tinggal sama gue deh. Sekali-sekali liburan kan nggak ada salahnya. Tiga-empat hari kek, biar muka lo segeran.”

Bali? Yeah right.

I wish.

“Gue lagi nabung buat nikahan gue.”

Sunyi sebentar. Alexa tampaknya sedang berusaha memproses fakta bahwa aku baru saja menolak ajakan-menginap-gratisnya dengan alasan nggak punya uang. Fakir miskin sejati.

“Bukannya mertua lo orang kaya, ya?”

“Calon,” ralatku. Entah kenapa, aku merasa risih setiap kata itu disebut. “Iye, filthy rich, malah. Doesn’t mean I’ll let them pay for everything, though.

"I see.” Alexa tertawa, “punya mertua kaya ternyata nggak menjamin kelangsungan hidup, ya?”

“CALON, Lex.” Aku menghela nafas, mulai sangsi apakah Alexa memang lemot atau sengaja meledekku, “selama janur kuning belum nyantol, mereka belum resmi jadi mertua gue.”

Got it.”

“Dan, nggak. In fact, menurut gue kelangsungan hidup nggak ada hubungannya sama status ekonomi calon mertua. Yang kaya itu mereka. Gue sama Rizky, ya segini-segini aja, kayak yang lo lihat. Setelah married dan punya anak pun gue bakal tetap kerja, kok.”

“Lha? Jadi apa gunanya punya calon mertua tajir melintir?”

“Gak ada gunanya, karena yang gue nikahin anaknya, bukan bokap-nyokapnya,” tegasku, dan sejurus kemudian pikiran nakal –semi jahat sih, sebenarnya—muncul di otakku, “kecuali ya... gue mungkin bisa kaya, kalau warisan dari mereka udah cair.”

Boleh dong, berkhayal? Tentu saja, aku tidak menginginkan calon mertuaku cepat meninggal mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan. Hei, biarpun sering dianiaya gini-gini juga, aku sayang kok, sama mereka. :-)

That, or married to one of the Riadis,” usul Alexa si Ratu-Sejuta-Ide-Gila.

“Yang sayangnya, udah nggak mungkin,” kilahku. “Let’s stick to plan no. 1.”

“Lo gila,” Alexa tergeli-geli.

Percakapan itu berlangsung dua hari lalu, ketika aku menelepon Alexa dan berkeluh-kesah tentang betapa sengsaranya hidupku, betapa kejamnya calon mertuaku, betapa tidak menyenangkannya perlakuan yang aku terima, dan betapa suram masa depanku kelak. Yang tentu saja, disambut dengan gelak tawa dan komentar Alexa bahwa aku terlalu tegang menjalani semua ini.

Nikah aja belum, hidup udah serasa di neraka. Gimana kalau udah resmi?

Menikahi seseorang, sama saja dengan mengikatkan diri pada seluruh keluarganya, kalau istilah ‘ikutan kawin sama mertua’ terdengar terlalu kejam. Dan itu akan terjadi dalam hitungan bulan. Think about that. Membayangkannya saja bisa membuatku pusing dan mual.

Oke. Mungkin aku memang berlebihan, tapi aku benar-benar tidak sanggup membayangkan kehidupan yang akan kujalani setelah namaku tercatat sebagai Nyonya Rizky Maulana di Pengadilan Agama. Sekarang aja, bawaannya udah stres melulu. Gimana nanti?

But you will be very happy with Rizky. You love him, don’t you? Lagi-lagi suara kecil dalam hatiku mengingatkan. That should be enough, Kiara.
...

Betul. Aku mencintai Rizky. Sangat, malah.

Dan seharusnya itu cukup, kan, untuk membuatku merasa bahagia menjelang hari pernikahan?

This is what you want, right?
Yes. Yes. Yes.
Tapi kenapa hati ini susah sekali diajak kompromi, sih?

--drrt--drrt—

Getaran ponsel di atas meja membuyarkan lamunanku. Seharian ini HP sengaja kusetel ke modus diam supaya tidak menginterupsi ketenanganku. Siapa tahu, dengan tidak diganggu dering telepon, aku jadi bisa berpikir lebih jernih.

Tapi bergetar. Sama juga bohong.

Aku meraih benda mungil itu, melirik layarnya malas-malasan.

You received 1 message from Wini A.
(By the way, sekadar informasi, tadinya nomor itu kusimpan dengan nama ‘Wini The Poop’ dan aku sedang mempertimbangkan untuk menggantinya dengan ‘Wini The Witch’, ketika mendadak aku sadar bahwa konsekuensi yang bakal kuhadapi seandainya ketahuan Rizky sama sekali tidak sepadan dengan kesenangan jahat ini.)

Ra, sepatu yg kamu pilihin gak cocok buat tante. Terlalu norak modelnya. Kita harus balik ke tokonya, tuker sm yg baru.
Baru saja aku hendak membalas, getaran kedua muncul.

Sekarang Ra, mumpung blm sore.
Menikah dengan Rizky. Menjadi istri (dan ibu) teladan yang disayang suami (dan anak). I could take that.

Menjadi menantu dari Wini Astuti?

--drrt—drrt—-

Ra, SMS tante msk gak? Kok gak dibls? Cepetan ya, keburu sore, macet.
Jempolku menari di atas keypad. Lincah dan terlatih.

Siap, Tan. Sebentar lagi Kiara ke sana ya. :)
Aku menyambar tas dan kunci mobil.

Menjadi menantu dari Wini Astuti bukan sebuah pilihan, melainkan konsekuensi. Yang harus kuterima dan kutelan bulat-bulat seumur hidup demi ‘Maulana’ di belakang namaku. So much for happiness.

But for all I know, it’s worth the cost.

.....

At least, I hope so.

*Gambar dipinjam dari gettyimages.com

--------------------------------------------



Tunggu tanggal terbitnya 'Lajang dan Nikah, Sama Enaknya, Sama Ribetnya!' :)
--------------------------------------------

Jumat, Juni 26, 2009

Cerita Kiriman : "Curhat Tentang Menikah"

Ini sih sedikit mau berbagi cerita, siapa tau bisa menjadi bahan diskusi yang menarik. Emmm…ketika aku memutuskan untuk menikah ya karna sudah ada yang melamar aku pastinya, sudah merasa cocok dan aku merasa secure. So? Tunggu apa lagi kan???

Daripada pacaran jarak jauh terus, huh!!! Sangat melelahkan, dan penuh ketidakpastian.

Trus kata orang tua nggak baik pacaran terlalu lama. Mana di gosipin macem-macem lagi sama tetangga. Kalo udah nikah kayaknya aman dan tenang hatinya cie…..(so tau ya)

Dan yang paling penting sudah ada yang bertanggungjawab. Mau beli apa aja (perlengkapan wanita) ngga usah mikir-mikir lagi. Tinggal mengajukan proposal aja. Begitu pikirku saat itu.

Basically aku bahagia setelah statusku berubah. Suamiku baik banget dan sangat menyayangi aku.Tapi ada sedikit sesuatu yang terlintas dalam benakku. Ternyata menikah tuh kayak gini ya. Mesti bisa membawa diri saat berada di anatara keluarga suami. Nggak bisa sepenuhnya menjadi diri sendiri. Rada-rada so manis gitu dech. Menahan amarah dan tertawa lepas hahaha. Apalagi di awal menikah aku orangnya ngga biasa sarapan dan ngga terlalu suka banyak makan. Jadi suamiku kelaparan di pagi hari ya aku nggak ngeh hahaha

Aku memang dulunya cewe pemalas, nggak bisa masak, nggak suka di perintah dan nggak suka di atur. Ehh setelah menikah ya banyak banget task-task yang harus aku tunaikan. Dan memang sudah kewajibanku kan?Penyesuaianya lumayan lama sampai berat badanku turun lumayan drastis. Waktu lajang kan aku bekerja. Mungkin aku shock dengan new daily activity dan new environment and place. Ribet banget dech pokoknya.

Oya, samapai aku juga nggak memikirkan untuk punya anak loh. But gradually, naluri ku sebagai seorang wanita dan seorang istri tumbuh dengan sendirinya. Jadi lebih wise lah, meski kadarnya berbeda-beda ya. Finally, aku berfikir lagi kalo manusia itu memang harus berubah. Mungkin kalau aku sampai saat ini masih lajang aku akan tetap menjadi aku yang seperti dulu atau mungkin lebih buruk lagi. Singkatnya I just wanna say that I never regret with my decision.

People must change to be better. I’m married and very happy.

Warmth regards for “lajang dan menikah sama ribetnya club”

Erna

Sabtu, Juni 13, 2009

Mom, I love you.

Keluarga besar heboh. Kanti, sepupu saya kabur dari rumah... ke Bali, dan lebih detil lagi, ke tempat saya. Baiklah, malesin banget nggak sih menampung yang sedang bermasalah? Bukan, bukan soal saya nggak suka membantu orang yang sedang membutuhkan, tapi itu bikin jadi serba salah saja. Saya nggak tau harus berbuat apa, ih sumpe deh, saya bingungjayaselaras... dotkom. *halah, nggak lucu yak? :D*.

Saya merasa bersalah kalau merahasiakan kedatangannya ke tempat saya, sementara saya tahu bahwa di Jakarta sana, orangtuanya pasti khawatir. Tapi, memberitahukan orangtuanya bahwa ia ada di sini? Kasihan juga si Kanti, siapa tahu ia butuh waktu untuk menyendiri.

"Udah, biarin dulu aja, barang beberapa hari sepupu loe tinggal di tempat lo..." itu usul Marco, si pacar. Hm, iya sih, tapi saya tetap berpikir, harus ada anggota keluarga yang tahu bahwa Kanti aman-aman saja di sini.

(Ehm, walaupun kayaknya nih ya, di mata keluarga besar saya, status keberadaan 'dengan-saya' itu nggak bisa disebut aman juga. Nggak tau kenapa. Emang saya bandel-bandel amat gitu? hihi)

Pikir punya pikir, akhirnya saya memutuskan untuk menelepon Bang Leo, si abang yang selalu rela memakai baju serimbit dengan anak istri saat reuni keluarga (ingat?), soalnya, he knows really well how to tell things to my mom, without giving her panic attack. ;-)

Jadi urusan keluarga, Bang Leo yang atur. Sekarang, tinggal urusanKanti dan membujuknya buat pulang, untuk menghadapi masalah, bukan menghindari seperti ini. Ehm, sekaligus supaya dia pulang aja, sejujurnya saya agak nggak demen kalau ada orang lain --- kecuali Marco, hihi--- di dalam kamar saya, nggak bebas.

"I hate my mom." cetus Kanti. Dan air matanya mulai menggenang.

ARRRGH! Please, jangan nangis! Saya sering mati gaya menghadapi orang menangis! Arggh.

"Kenapa?"
"Kita brantem hebat beberapa hari yang lalu..." air matanya semakin menggenang. Baiklah. Buru-buru saya mengambil box tissue dan menyodorkannya pada Kanti.
"Tukeran nyokap aja yuk, Mbak Alex?"
"Ih ogah!" spontan saya menjawab,"Nyokap situ kan mengerikan...!" Terbayang di benak saya, ibunya Kanti yang otoriter. NGGAK MAU!

Dan saya melihat sedikit senyum terbersit di bibir Kanti. Dan lucunya, air mata yang saya kira bakal segera tumpah, mendadak menghilang,"Mbak Alex, lo tuh kalo ngomong sembarangan banget yah."

Saya terkekeh, sambil menghela napas lega karena dia tidak jadi menangis.

"Ya itu dia. Nyokap lo enak, nyantai. Nyokap gue duuuuh...." imbuhnya.
"Emang kenapa?"
"Gue disuruh nikah...."

Dan saya pun ngakak,"Yah, gitu doang. Gue kira lo brantem karena apa. Lebay ah!" kata saya sambil mengibaskan tangan begitu tawa saya usai.

"Nggak, Mbak, gue nggak lebay. Ini masalah pelik buat gue. Gue dipaksa nikah. Karena umur gue tahun depan 29. Gue harus, catet nih ya Mbak, harus menikah paling lambat di umur 30. " Kanti berkata dengan gusar.
"Gile, ada deadlinenya yak? Kayak gawean aja. Terus, lo bilang apa?"
"Gue bilang, emang belum ada yang cocok, yang nyambung, masak mau dipaksain?"
"Dan, reaksi nyokap lo?"
"Kata nyokap gue? Gue nggak boleh terlalu pemilih, karena gue juga nggak sempurna, bla...bla..bla. Dan ini yang parah! Gue nggak perlu cinta-cintaan sama pasangan gue, ntar cinta bakal tumbuh belakangan! Ya ampuun, Mbak Alex, ngeri banget nggak sih? Kalo beneran cinta tumbuh belakangan ya oke-lah. Tapi kalo ternyata dari yang tadinya sama sekali nggak ada feeling terus malah jadi ilfeel kan ngeri. Gue seumur hidup harus bareng dengan orang yang bahkan untuk ngeliat pun males!"

Saya tercenung lama. Selama ini saya berpikir bahwa karena zaman sudah berubah, bukan zamannya kuda gigit besi lagi, sikap semua orangtua pasti sama dengan sikap orangtua saya yang super nyantai soal pasangan hidup pasangan anaknya. Tapi ternyata masih ada juga orangtua yang begitu terinspirasi oleh kisah Siti Nurbaya. Ampun.

"Nyokap lo.... serem amat sih?" saya berkata perlahan.
"EMANG!" ia menyahut dengan semangat,"Dan pertengkaran karena ini bukan baru sekarang doang... tapi sudah lama. DAN GUE MUAK!"

....

Seminggu kemudian.
Setelah melalui kesepakatan yang dibuat oleh Bang Leo dan si Mamah dengan Ibu-nya Kanti; dan setelah melalui proses panjang membujuk Kanti yang saya dan Marco lakukan, akhirnya, pagi tadi Kanti pulang, naik pesawat paling pagi.

Malamnya, si Mamah nelepon. Katanya barusan ada pertemuan keluarga di rumah, untuk merekonsiliasi antara Kanti dan ibunya. Deu.

"Udah damai?" tanya saya tanpa basa-basi.
"Keliatannya sih udah. Tadi waktu pertemuan keluarga mereka saling terbuka dan saling nangis-nangisan gitu deh."
"Kayak sinetron..." celetuk saya.
"Emmang. Tapi baguslah hasilnya begitu, walaupun mamah nggak tau, sekarang mereka gimana di rumahnya. Itu sih bukan urusan kita lagi, yah?"
"Iya."
"Padahal tadinya Mamah pikir bakal terjadi peperangan lagi begitu Kanti sampe Jakarta. Soalnya Tante Vie tuh emosinya tinggi banget dari semalam. Kudu ditenangin sama Mamah, papah dan bang Leo."
"Terus bisa tenang karena apa?" tanya saya penasaran.
"Yah, mamah bilang aja ke dia 'Emangnya kamu Tuhan, mau ngatur-ngatur kehidupan anakmu?'"
"Serius mamah bilang gitu?"
"Iya, jodoh orang kan di tangan Tuhan, nggak akan ada yang bisa maksain. Lah siapa dia, maksa-maksain anaknya untuk menikah, padahal ya emang belum aja."

Saya terdiam. Lama. Apa ini juga yang menyebabkan si mamah, sama sekali tidak pernah ngomongin masalah menikah ya?

"Halo?" suara Mamah di seberang sana mengejutkan saya,"Kamu masih di sana?"
"Eh, i-iya Mah.?"
"Masih mau denger gosipnya nggak?"
"Iya, mau." saya menyeringai.
"Iya, terus Mamah bilang, memangnya menikah itu penyelesaian masalah? Lah, menikah kan sama saja bersiap berperang menghadapi masalah baru. Untuk itu, kesiapan diri dan pasangan kudu gila-gilaan. Pasti bakal ribet, kalau menikah cuma karena deadline umur thok....."

Dan si mamah pun terus menyerocos, menceritakan tentang kisah tante Vie.

"....akhirnya mamah bilang, bahwa anak kita itu bukan miliki kita, kita cuma kebetulan aja dititipin untuk ngerawat dan membesarkannya dengan baik. Anak kita itu adalah individu tersendiri, yang punya jalan hidup sendiri, kita nggak punya hak penuh pada kehidupan anak kita, yang bisa kita lakukan hanyalah ngasih tau dan ngedoain yang terbaik. Itu saja."

Sekarang, yang ada dalam pikiran saya adalah, betapa beruntungnya saya memiliki ibu seperti beliau; yang bukan soal jodoh saja membebaskan saya, tapi soal segala hal.

Yes, mom. I love you.

sumber gambar : sxc.hu

Sabtu, Juni 06, 2009

Rejeki Anak


Tiga minggu yang lalu, gue sempet nggak masuk kantor karena kena flu. Apa lagi yang bisa gue lakuin untuk membunuh waktu, kalau nggak menonton TV. Setelah pindah channel sana-sini, ada satu acara talkshow, gue lupa lagi namanya apa, tapi yang jadi host-nya Desy Ratnasari.

Topik hari itu adalah tentang memberikan/menjual anak pada orang lain. Narasumber sesi satu adalah sepasang pengamen (sepertinya sih, soalnya dia kerap bilang, bermusik di jalanan, atau apalah gitu, agak lupa).

Menurut narsum, mereka sudah memiliki lima anak, yang dua mereka serahkan kepada orang lain, yang tiga bersama mereka. Pertamanya, gue mikir, mereka menjual anak, tapi ternyata nggak, mereka cuma meminta agar sang pengadopsi anak membayar biaya persalinan, selebihnya, mereka nggak menuntut apa-apa.

Alasan mereka menyerahkan anak, karena merasa tidak mampu (secara finansial) untuk membesarkan anak mereka. Dan itu sudah disadari sejak mereka memiliki anak ke-tiga.

Itu membikin kening gue berkerut. Lha, kalau memang merasa tidak mampu, kenapa hamil juga?

Tapi kemudian gue berpikir lebih lanjut lagi, bisa jadi kebobolan (Tapi sampai dua kali? Duuh...).

Yang bikin gue sebel adalah para penonton yang mencecar si narasumber serta menyudutkannya; menganggap bahwa mereka adalah orang tua nggak bener, karena tega membuang anak.

Helloo... justru bagi gue, mereka melakukan keputusan yang benar, lagi! Mereka menyerahkan dua anaknya ke tangan yang diyakini lebih mampu membesarkan (dengan layak). Kata gue, mereka orangtua yang 'tidak egois', memikirkan masa depan anak mereka, dibandingkan dengan mempertahankan ego untuk ngekepin anak, tapi end upnya tumbuh kembang kedua anak tersebut tidak maksimal, akibat permasalahan ekonomi.

Jadi inget reaksi seorang teman di reuni sekolah bulan lalu, saat mendengar jawaban gue soal punya anak.

"Kapan punya anak?" itu pertanyaannya.
"Belum, rencananya dua tahun lagi..." jawab gue.
"Aduh, kamu emang sengaja nunda?" dan sebagai informasi, pertanyaan terakhir keluar dari mulutnya dengan nada semi memekik terkejut. Lebay deh. Apalagi kalau melihat mimik wajahnya yang mendelik-delik seperti pemain sinetron yang menerima kabar bahwa pasangannya masuk rumah sakit karena tabrakan.

Kayaknya itu berita biasa kali ya? :P

Iya. Memang gue dan Chris sengaja menunda punya anak. Alasan kami --- setelah melakukan perhitungan panjang --- belum siap secara mental dan finansial. Kalau boleh jujur, kehidupan kami memang nggak melarat, cukupan lah, tapi kalau ditambah anak,belum bisa. Tabungan kami habis-habisan gara-gara (dipaksa keluarga) mengadakan resepsi nikah besar-besaran, kami menikah dengan tabungan NOL. Seriously. Thanks to budaya resepsi nikah besar-besaran. Makanya, sekarang kami memang sedang beneran nabung, nyiapin beasiswa pendidikan anak, nyiapin biaya asuransi kesehatan sampai menyicil rumah. Dan dari hitungan, kami akan 'siap' dua tahun lagi.

"Jangan ditunda-tunda kaliiii. Ntar pas pingin, malah susah dapet anaknya." katanya.
"Ya kalau emang belum siap mental dan finansial, gimana dong?" bodohnya gue adalah nanggepin ya bok. Kudunya, gue ngelengos aja dan membaur dengan teman-teman yang lain.
"Aduh, kalau soal siap kapan siapnya sih?"

Gue nyengir. Baiklah.

"Dan soal finansial, gue yakin ntarnya ada rejeki juga. Rejeki anak namanya. Buktinya, gue dan si Mas, kami punya anak waktu keadaan finansial kami di bawah banget, tapi nggak ada masalah secara ekonomi tuh soal membesarkan Angga dan Bisma, selalu ada rejeki yang datang, saat kami membutuhkannya untuk kedua anak kami."

Hmmm... gambling banget nggak sih?
Kalau nggak ada?

"Dan, Cil, kamu harus liat juga orang-orang lain, mereka punya anak dalam keadaan ekonomi yang mungkin di bawah kamu, tapi urusan membesarkan anak nggak ada masalah. Tuhan itu mengaruniakan anak, pasti dengan ngasih rejeki juga..."

Mungkin benar rejeki anak itu ada.

Tapi gue nggak mau untung-untungan dan berakhir seperti pasangan pengamen yang gue tonton di talkshow-nya Desy Ratnasari.

Salah?

Gambar : sxc.hu

Rabu, Juni 03, 2009

Simply Adorable and Irresistable.

Jadi begindang, begitu tahu bahwa saya (kebetulan sedang) berdomisili di tempat liburan sejuta umat ini, mendadak banyak orang menghubungi saya untuk menjadi semacam tour guide gratisan kalau kebetulan mereka berlibur di Bali. Kadang-kadang, malah menumpang di hotel prodeo saya, alias nebeng nginep gratisan --- dibayar dengan traktiran sih ---- di kamar kost saya. Yeuk mari. Mari Yeuk.

Kemarin Adisti. Rencananya Kiara bulan depan. Terus, kemarin tiba-tiba Fe, teman seangkatan saya meninggalkan offline message di YM.

Eh, denger2, lo domisili di Bali ya? Gue mo liburan ke Bali nih. Ketemuan yuuuk. No hape lo berapa? Nomer gue 0812346789.


Sebenarnya saya nggak akrab-akrab amat dengan Fe. Dan jujur, saya selalu jengah berdekatan dengannya. Kenapa? Soalnya, she hated men. Inget banget deh, semasa kuliah saya sampai tershocked- shocked mendengar segala amarahnya soal cowok. Ngeri juga ngebaca segala opininya tentang cowok di blognya (ngeri tapi teteub baca. hehehe). Dia tampak ingin memusnahkan spesies pria dari muka bumi ini; supaya kehidupan para perempuan menjadi aman tenteram dan damai.

We have to vanish all selfish bastards named men from this supposed-to-be-lovely planet earth to live better life.


Itu tulisnya satu saat, yang tentunya, mengundang banyak reaksi dari para komentator blognya. Dia termasuk celeblog juga, hitnya nggak pernah kurang dari angka 'ratus' per hari. Plus, komentar di entrinya, pasti melewati angka 50.

Ya oloh! Saya nggak setuju soal pemusnahan pria. Kering kerontang bisa-bisa kehidupan ini tanpa mereka. ;-) Dan soal ketidakadilan-ketidakadilan yang diterima oleh perempuan --- untuk beberapa poin saya setuju --- tapi saya nggak sepenuhnya setuju kalau dikatakan bahwa penyebab dari kesusahan perempuan adalah pria. Bukan! Sistem sosial yang bernama patriarki,bok! Pria-pria mah, sama seperti pere, korban yang terjebak sistem juga. Tapi ya sudahlah, emang sudah begitu, kalau belum ganggu-ganggu amat, nggak usah bereaksi segitunya, deh.

Beberapa teman menggosipkan bahwa dia benci cowok dan lesbian.

Yang mana, saya nggak setuju. Saya ngerasa, she also hated women. Dia mencela semua perempuan, yang menyek-menyek dan gemulai. Yang senang dandan. Yang memilih untuk menjadi domestic goddess alias ibu rumah tangga saja. Yang berpakaian minim. Berapa kali saya (dan teman-teman) kena cela gara-gara kami membahas soal sepatu keren. soal dandanan.dan semua yang berbau-bau soal fashion. Dan dia sedikit pseudo intellectual juga, jadi sambil mencela, dia senang mengutip sana-sini pernyataan Betty Friedan, dan siapa-lah lagi saya lupa, yang menurut saya, pengutipannya sepotong-sepotong, demi mendukung opininya.

Bok, berat amat. Padahal kami kan cuma membahas soal fashion, yang ada, saya dan teman-teman pandang-pandangan dan bubar. Ada yang pura-pura ke WC, ada yang mendadak dipanggil pulang, ada yang bilang harus ke dokter. Hehehe. Saya dan beberapa teman sempat menganalisa sikapnya. Ada yang berhipotesa bahwa dia patah hati berat, makanya jadi benci cowok. Tapi setelah kami mencoba mengecek analisa kami, akhirnya kami sadar, bahwa kami nggak sekenal itu dengan Fe --- iya, kami nggak pernah tahu Fe secara pribadi, boro-boro hubungan percintaan, rumahnya di mana saja, kami nggak tau!

Dan, Fe ini.... bilang kalau dia mau ketemuan dengan saya di Bali.

Dan... anehnya, saya memberi nomer telepon. Dan seminggu sebelum kedatangannya, ia sempat menelepon saya. Cara ngomongnya masih silet sih, ada dalam kromosomnya kali, tapi saat nelepon, saya merasa bahwa siletnya sudah rada tumpul. Nggak segahar dulu lagi. Sempat saya ketar-ketir, menyangka bahwa ia akan menginap di tempat saya, tapi ternyata... phew, enggak. Dia emang murni cuma pingin ketemuan.

Oke deh.

.....

"Halo, Leeex..." sapa Fe ketika kami bertemu di sebuah kafe,"Gila, masih aja ya lo korban kapitalis..."

Nyeh. Oke, saya tau, saya tau, dia mencela penampilan saya. 'Korban kapitalis' dan 'Merayakan kapitalisme' adalah salah satu dari sejuta celaannya pada cewek-cewek yang ingin putih, yang pengikut trend parah, yang dandan, yang kemakan iklan, de es te. Duuuuh! Kalau dulu, sih emang parah banget lah saya, di jaman kuliah, ikut trend abis. Maklumlah, masih Ababil, alias ABG labil, belum kenal jati diri sendiri. Sekarang kayaknya enggak, I just love to look good. Dan saya suka memakai barang-barang bagus. Salah?


Terima kasih lho atas celaannya, Fe.

I got premonition that this ngopi sore thing bakal menyebabkan saya bete.

"Tapi, dengan ngupi di sini, kita juga korban kapitalis yak? Hahaha..." katanya.
"Iya lah. Dan kayak elu enggak aja, segala barang-barang yang lo konsumsi juga produk kapitalis juga."
"Mber. Hidup kapitalis." ia tersenyum.

Baru kali ini saya benar-benar memerhatikannya. Dia jauh lebih feminin sih. Lebih kelihatan cewek, wajahnya pun nggak judes-judes amat.

Saya pun duduk di hadapannya. Saya kira pertemuan ini akan menyebalkan. Tapi ternyata saya salah. Kami mengobrol panjang lebar, tentang banyak hal, dan harus saya akui, dia teman mengobrol yang menyenangkan (ternyata). Mungkin dulu saya sudah anti padanya, sehingga selalu ada penolakan untuk mengenalnya lebih jauh.

---trrrt----trrrt---

Di tengah obrolan, ponselnya berbunyi. Ia mengangkatnya dengan sumringah.

"Yes, Darling?
Oh, aku lagi bareng temen kuliahku.
Kamu udah selesai seminarnya?
Oh lagi tea break ya? Ya udah, deh...
Sampai ketemu pas dinner..."

Dan ia menyudahi percakapan. Saya melihat sesuatu yang berbeda, she's glowing.

"Apa?"
"Nothing." saya mengangkat bahu.
"Ummm... kalo dari sini mau ke Cafe Wayan, gimana ya?"
"Cafe Wayan, ya.... hmmm..."
"Iya, janjian dinner sama cowok gue ntar malem."

....

Dalam perbincangan kami, sedikit pun kami tidak pernah membicarakan kenapa sikapnya segitunya di masa kuliah. Tapi apa pun alasan kemarahannya dulu, saya merasa, bahwa sistem sosial mungkin saja membuat cowok-cowok itu menjadi bangsat.

Tapi, pada dasarnya cowok itu adorable dan simply irresistable, jadi jangan dibenci, dikasih tau aja. Atau getok kalau sudah keterlaluan.

hihihi....

BTW, jadi inget quotation yang saya taruh di agenda pemenang lomba cipta tagline lajang dan menikah.

Sometimes I find men are as annoying as puppies, fortunately, I can handle dogs.


Foto puppy di atas diambil dari sxc.hu, sedangkan foto agenda, diambil dari blognya Tari.
Blog Widget by LinkWithin