Itu celetukan Alexa dua hari lalu, ketika aku (lagi-lagi) mengeluh tentang betapa penatnya aku menjalani kehidupan *halah* di Jakarta. Well, bukan hidup-nya yang membuatku suntuk.
I’m lucky. I know.
Punya pekerjaan tetap dan kehidupan nyaman, punya tunangan yang sangat mencintaiku, punya orang tua baik hati yang tidak pernah mempermasalahkan bahwa di usia mendekati kepala tiga begini aku masih menumpang hidup dengan mereka dan tidak pernah memberi subsidi bulanan sama sekali (yup, gajiku selalu habis untuk diri sendiri, plus sekarang aku harus menabung untuk biaya pernikahan).
Dari bayi diurusin, sampai sebesar ini, aku sama sekali belum membalas budi orang tua. Duh, Mama, Papa, maaf banget ya. Abis gimana dong…
Meski orang tua Rizky kekeuh ingin menanggung seluruh biaya pernikahan kami, aku tak kalah bersikeras ingin ikut berkontribusi, meski sedikit. Bukannya aku sungkan. Males aja kan, kalau (calon) mertuaku yang sebelas-dua belas sama nenek sihir itu berkicau ke semua orang bahwa pernikahan ini terlaksana karena campur tangan mereka. Aku jadi bulan-bulanan di keluarga besar Rizky? Nggak usah ya.
Gini-gini juga, aku masih punya harga diri.
“Ke sini aja yuk, Ra. Lo boleh tinggal sama gue deh. Sekali-sekali liburan kan nggak ada salahnya. Tiga-empat hari kek, biar muka lo segeran.”
Bali? Yeah right.
I wish.
“Gue lagi nabung buat nikahan gue.”
Sunyi sebentar. Alexa tampaknya sedang berusaha memproses fakta bahwa aku baru saja menolak ajakan-menginap-gratisnya dengan alasan nggak punya uang. Fakir miskin sejati.
“Bukannya mertua lo orang kaya, ya?”
“Calon,” ralatku. Entah kenapa, aku merasa risih setiap kata itu disebut. “Iye, filthy rich, malah. Doesn’t mean I’ll let them pay for everything, though.”
"I see.” Alexa tertawa, “punya mertua kaya ternyata nggak menjamin kelangsungan hidup, ya?”
“CALON, Lex.” Aku menghela nafas, mulai sangsi apakah Alexa memang lemot atau sengaja meledekku, “selama janur kuning belum nyantol, mereka belum resmi jadi mertua gue.”
“Got it.”
“Dan, nggak. In fact, menurut gue kelangsungan hidup nggak ada hubungannya sama status ekonomi calon mertua. Yang kaya itu mereka. Gue sama Rizky, ya segini-segini aja, kayak yang lo lihat. Setelah married dan punya anak pun gue bakal tetap kerja, kok.”
“Lha? Jadi apa gunanya punya calon mertua tajir melintir?”
“Gak ada gunanya, karena yang gue nikahin anaknya, bukan bokap-nyokapnya,” tegasku, dan sejurus kemudian pikiran nakal –semi jahat sih, sebenarnya—muncul di otakku, “kecuali ya... gue mungkin bisa kaya, kalau warisan dari mereka udah cair.”
Boleh dong, berkhayal? Tentu saja, aku tidak menginginkan calon mertuaku
“That, or married to one of the Riadis,” usul Alexa si Ratu-Sejuta-Ide-Gila.
“Yang sayangnya, udah nggak mungkin,” kilahku. “Let’s stick to plan no. 1.”
“Lo gila,” Alexa tergeli-geli.
Percakapan itu berlangsung dua hari lalu, ketika aku menelepon Alexa dan berkeluh-kesah tentang betapa sengsaranya hidupku, betapa kejamnya calon mertuaku, betapa tidak menyenangkannya perlakuan yang aku terima, dan betapa suram masa depanku kelak. Yang tentu saja, disambut dengan gelak tawa dan komentar Alexa bahwa aku terlalu tegang menjalani semua ini.
Nikah aja belum, hidup udah serasa di neraka. Gimana kalau udah resmi?
Menikahi seseorang, sama saja dengan mengikatkan diri pada seluruh keluarganya, kalau istilah ‘ikutan kawin sama mertua’ terdengar terlalu kejam. Dan itu akan terjadi dalam hitungan bulan. Think about that. Membayangkannya saja bisa membuatku pusing dan mual.
Oke. Mungkin aku memang berlebihan, tapi aku benar-benar tidak sanggup membayangkan kehidupan yang akan kujalani setelah namaku tercatat sebagai Nyonya Rizky Maulana di Pengadilan Agama. Sekarang aja, bawaannya udah stres melulu. Gimana nanti?
But you will be very happy with Rizky. You love him, don’t you? Lagi-lagi suara kecil dalam hatiku mengingatkan. That should be enough, Kiara.
...
Betul. Aku mencintai Rizky. Sangat, malah.
Dan seharusnya itu cukup, kan, untuk membuatku merasa bahagia menjelang hari pernikahan?
This is what you want, right?
Tapi kenapa hati ini susah sekali diajak kompromi, sih?
--drrt--drrt—
Getaran ponsel di atas meja membuyarkan lamunanku. Seharian ini HP sengaja kusetel ke modus diam supaya tidak menginterupsi ketenanganku. Siapa tahu, dengan tidak diganggu dering telepon, aku jadi bisa berpikir lebih jernih.
Tapi bergetar. Sama juga bohong.
Aku meraih benda mungil itu, melirik layarnya malas-malasan.
You received 1 message from Wini A.
(By the way, sekadar informasi, tadinya nomor itu kusimpan dengan nama ‘Wini The Poop’ dan aku sedang mempertimbangkan untuk menggantinya dengan ‘Wini The Witch’, ketika mendadak aku sadar bahwa konsekuensi yang bakal kuhadapi seandainya ketahuan Rizky sama sekali tidak sepadan dengan kesenangan jahat ini.)
Ra, sepatu yg kamu pilihin gak cocok buat tante. Terlalu norak modelnya. Kita harus balik ke tokonya, tuker sm yg baru.
Baru saja aku hendak membalas, getaran kedua muncul.
Sekarang Ra, mumpung blm sore.
Menikah dengan Rizky. Menjadi istri (dan ibu) teladan yang disayang suami (dan anak). I could take that.
Menjadi menantu dari Wini Astuti?
--drrt—drrt—-
Ra, SMS tante msk gak? Kok gak dibls? Cepetan ya, keburu sore, macet.
Jempolku menari di atas keypad. Lincah dan terlatih.
Siap, Tan. Sebentar lagi Kiara ke sana ya. :)
Aku menyambar tas dan kunci mobil.
Menjadi menantu dari Wini Astuti bukan sebuah pilihan, melainkan konsekuensi. Yang harus kuterima dan kutelan bulat-bulat seumur hidup demi ‘Maulana’ di belakang namaku. So much for happiness.
But for all I know, it’s worth the cost.
.....
At least, I hope so.
*Gambar dipinjam dari gettyimages.com
--------------------------------------------
Tunggu tanggal terbitnya 'Lajang dan Nikah, Sama Enaknya, Sama Ribetnya!' :)
--------------------------------------------
--------------------------------------------