"Selamat bergabung menjadi stylist kami, Mbak Alexa..." Pak Gunawan, pemred 'Piknik', majalah travel dan culture di Bali.
"Sama-sama, Pak." Saya berdiri.
"Sampai ketemu hari Senin depan."
Dan saya pun keluar dari ruang kerja Pak Gunawan.
Jadi stylist sebuah majalah. Benar-benar nggak pernah jadi impian saya. Eh, lebih tepatnya, kerja kantoran deng. Ini kerja kantoran ke tiga, dalam 9 tahun terakhir. Saya mendapatkan info bahwa majalah 'Piknik' mencari stylist dari salah seorang teman kuliah saya.
Sesungguhnya, saya masih bertanya-tanya, bisakah saya bertahan --- kerja kantoran lagi?
Ah, nggak tau ah. Gelap bok.
Lalu, tanpa antusiasme berlebihan seperti orang-orang yang baru diterima kerja, aku mengeluarkan handphone dan mendial nomor Marco ketika sudah keluar dari kantor redaksi. Terdengar nada sambung beberapa kali, lalu suara Marco : 'Halo?'
"Nyet, tebak?" tanyaku langsung,
"Lo diterima..." Jawab Marco.
"Ah, ga seru."
"Yah gimana dong, gue tau, orang kayak elo pasti diterima di mana-mana."
"Udah makan siang belum?" tanyaku.
"Belum."
"Makan yuk. Ke tempat biasa."
"OK, setengah jam lagi ya..."
....
Yah, begitulah. Akhirnya, sepulangnya liburan di Togian, saya memutuskan untuk pindah, ke Bali, mendekati Marco tinggal.
Yup, setelah liburan kemarin, kami sama-sama sadar bahwa kami lelah akan hubungan jarak jauh. Dan dia tidak mungkin pindah ke kota saya; jadi saya lah yang pindah ke kotanya. Kepada orang rumah sih, saya bilang, saya mau tinggal agak lamaan di sini, mereka nggak masalah, udah biasa soalnya. Tapi saya belum bilang bahwa saya mau pindah.
Saya sudah dua minggu di sini, luntang-lantung. Sebagai freelancer, klien saya kebanyakan di kota saya, atau Jakarta. Di sini? Nggak ada. Atau belum ada. Dan karena baru, saya juga masih blank dalam membangun jejaring *halah gayane* pertemanan yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan pekerjaan seperti yang biasa saya lakukan. :D
Akhirnya saya mencapai satu titik kesadaran bahwa ini bukan liburan, saya HARUS bekerja. Memang ada Marco yang (dengan pemurahnya) membantu saya menghemat dana, tapi kan nggak bisa gitu terus, walaupun dia nggak keberatan. Siapa dia? Suami bukan.
Saya memasuki warung makan tempat kami biasa makan dan mendapati Marco telah menunggu.
"Hey, congrats." ia memeluk saya.
"Hm.. Thanks."
Lalu kami duduk. Sebenarnya saya masih mikirin, bakalan betah nggak ya saya di sini? Bakalan tahan nggak ya saya kerja kantoran lagi?
"Nyet. Diem aja." Marco menyenggol lengan saya,"Kenapa loe?"
"Nggak apa-apa. Ih, jadinya gue beneran pindah,yak?" saya cengar-cengir.
Lalu kami mulai mengobrol, ini dan itu. Membahas banyak hal, seperti biasa.
"Nyet. akhirnya ya,..." Marco terdiam. Saya menunggunya melanjutkan kalimat,"..Kita tinggal berdekatan."
Saya tersenyum melihat betapa sumringahnya Marco.
"Jadi... jadi nih, kita ngontrak bareng?" Tampang Marco terlihat jahil.
Ah. Saya terdiam. Entah sudah berapa juta kali kami berandai-andai untuk tinggal bareng. Tapi, sebenarnya untuk benar-benar melakukannya, saya meragu.
Jangan salah, ini tawaran yang menarik. Tinggal bersamanya. menghabiskan waktu 24 jam bersama, bersenang-senang. Saya tahu, ini bakal menyenangkan.
tapi..
"Lex?" Marco memanggil saya yang tak kunjung memberi reaksi.
Gimana coba, cara ngomong dengan si Papah dan si Mamah? Karena, orangtua saya, sama seperti orangtua-orangtua lain. Masih memegang nila-nilai, norma-norma, yang yaaah, dipercaya banyak orang, tanpa mencoba melihat sisi lain. Masa sih saya ngomong gini : "Pah, Mah, aku pindah ke Bali, tinggal bareng Marco." Jedeng. Alamat ditarik pulang kaleee...
Lalu berbohong?
Saya, seriously, benci berbohong. Apalagi berbohong pada orangtua. Lagipula, saya bukan pembohong yang baik, seringnya kalau bohong ketauan. Duh.
"Yeh, malah diem dia..." Marco mengacak rambut saya.
"Ntar deh, ya Co, ya... gue pikirin dulu..." jawab saya.
Marco terlihat kaget. Mungkin, karena kami sudah pernah membahasnya dengan menggebu-gebu, ia berpikir akan langsung mendapat jawaban 'ya.'
"Ya sudah, pikirin aja. Gue cuma berpikir, bakal nyenengin aja. Gitu..." begitu katanya, pada akhirnya.
Saya menatapnya. Seperti biasa, ia tidak pernah memaksa.
Rabu, Januari 28, 2009
Jumat, Januari 16, 2009
Si Lajang : Pakar Telematika Relationship dan Pria ?
“Jadi, sekarang lo pacaran sama siapa?” Tanya seorang sepupu perempuan, menikah, pada saat kami bertemu di sebuah resepsi pernikahan. Tolong catat, saya dan dia tidak pernah dekat sama sekali, jadi dari dulu, tidak pernah tuh ada sesi curhat bersama tentang pacar masing-masing. Pacarnya --- yang sekarang jadi suami--- saja baru saya tahu saat mereka mengadakan resepsi nikah.
Dan entah kenapa, setiap kami bertemu, pertanyaan pertamanya bukan apa kabar, tapi ya itu.
Nah, mengingat ketidakdekatan kami, boleh dong, saya menganggap bahwa ini pertanyaan yang malesin. Eh, wait. Nggak apa-apa deng, kalau pertanyaannya berhenti setelah saya jawab. Nah, yang males, kalau misalnya pertanyaannya berkembang ---dan, ehm, kalau dia yang bertanya, tentunya berkembang.
Saat pertemuan kami di reuni keluarga akhir tahun dua tahun yang lalu, saya kebetulan sedang jomblo alias off dengan Marco maka saya jawab”Nggak ada”. Yah sial, tiba-tiba saya dikuliahi begini : Aduh, makanya, jangan terlalu picky, nggak ada cowok sempurna di dunia ini. Udah lah, jangan terlalu percaya sama mitos Mr. Right, Prince Charming apa lah itu, nggak ada itu. Pada akhirnya ketika kita menikah yang diperlukan cuma pengertian aja.
Well, pertama, saya tahu bahwa Mr Right (Atau Prince Charming apa-lah-itu) tidak ada, sudah di’tek’ semua oleh Walt Disney’s Princesses. Yang kedua, sepertinya pria model begitu, definitely not my type. Kurang badung gicu, ganti.
Nah pas resepsi kemarin, kebetulan saya sedang nyambung lagi dengan Marco (deuh.) dan bilang ‘Ada’. Eh dia malah ngeledek :“Yang sekarang serius nih? Nggak putus-putus lagi?” Yah elah. Mbok ya'o. Sutralah. Lalu (tanpa diminta) berlanjut, dengan tips dan trik supaya hubungan langgeng, supaya nggak putus-putus melulu kayak saya, supaya cepet nikah.
Hmpf. Belum lagi kalau ia mengembangkan pembicaraan tentang pria. Bahwa semua pria itu bakal penasaran dengan perempuan yang susah didapat. Terus, ia bilang, bahwa ego semua pria begini-begitu. Bahwa sebagai perempuan kita harus memperlakukan semua pria begitu. Tralala, Trilili.
Semua pria? Duh, kalau saya pribadi sih percaya bahwa masing-masing pria itu butuh penanganan yang berbeda. (hehe).
Ampun deh kalau ketemu Mbak yang satu ini. Kadang-kadang saya pengen bilang 'Mbok yo wis tho, Mbak.. lha wong saya aja ndak pernah ngurusin urusan situ, situ ngapain ngurusin kisah kasih sini" *yo olo, kisah kasih.. delapan puluhan banget*
Memang nggak semua perempuan menikah begitu. Tapi ada lho, yang seperti itu; SELALU menempatkan dirinya sebagai pakar atau konsultan relationship dan pria --- sekaligus menganggap para lajang ini --- karena belum berhasil menaklukkan pria manapun menjadi suami, ya nggak tau apa-apa soal relationship dan pria. *ehm, ini saya tangkap secara tersirat lho, dari sekian banyak kalimatnya.
Ampyun. Padahal kan, kalau dipikir-pikir lagi, selama dia menikah entahlah berapa tahun itu, saya sudah pacaran dengan berapa banyak pria coba? Sementara dia -- katanya sih, dia pacaran lama banged dengan suaminya --- nah kan? Selama periode waktu yang lamanya itu, dia hanya bersama satu pria sahaja (kalau bener sih, hehe)
Siapa yang lebih pengalaman coba, kalau gitu?
Ya jelas saya, lah!
Hehehehe.. yuk ah mari..
*kabur sebelum dirajam batu.
Dan entah kenapa, setiap kami bertemu, pertanyaan pertamanya bukan apa kabar, tapi ya itu.
Nah, mengingat ketidakdekatan kami, boleh dong, saya menganggap bahwa ini pertanyaan yang malesin. Eh, wait. Nggak apa-apa deng, kalau pertanyaannya berhenti setelah saya jawab. Nah, yang males, kalau misalnya pertanyaannya berkembang ---dan, ehm, kalau dia yang bertanya, tentunya berkembang.
Saat pertemuan kami di reuni keluarga akhir tahun dua tahun yang lalu, saya kebetulan sedang jomblo alias off dengan Marco maka saya jawab”Nggak ada”. Yah sial, tiba-tiba saya dikuliahi begini : Aduh, makanya, jangan terlalu picky, nggak ada cowok sempurna di dunia ini. Udah lah, jangan terlalu percaya sama mitos Mr. Right, Prince Charming apa lah itu, nggak ada itu. Pada akhirnya ketika kita menikah yang diperlukan cuma pengertian aja.
Well, pertama, saya tahu bahwa Mr Right (Atau Prince Charming apa-lah-itu) tidak ada, sudah di’tek’ semua oleh Walt Disney’s Princesses. Yang kedua, sepertinya pria model begitu, definitely not my type. Kurang badung gicu, ganti.
Nah pas resepsi kemarin, kebetulan saya sedang nyambung lagi dengan Marco (deuh.) dan bilang ‘Ada’. Eh dia malah ngeledek :“Yang sekarang serius nih? Nggak putus-putus lagi?” Yah elah. Mbok ya'o. Sutralah. Lalu (tanpa diminta) berlanjut, dengan tips dan trik supaya hubungan langgeng, supaya nggak putus-putus melulu kayak saya, supaya cepet nikah.
Hmpf. Belum lagi kalau ia mengembangkan pembicaraan tentang pria. Bahwa semua pria itu bakal penasaran dengan perempuan yang susah didapat. Terus, ia bilang, bahwa ego semua pria begini-begitu. Bahwa sebagai perempuan kita harus memperlakukan semua pria begitu. Tralala, Trilili.
Semua pria? Duh, kalau saya pribadi sih percaya bahwa masing-masing pria itu butuh penanganan yang berbeda. (hehe).
Ampun deh kalau ketemu Mbak yang satu ini. Kadang-kadang saya pengen bilang 'Mbok yo wis tho, Mbak.. lha wong saya aja ndak pernah ngurusin urusan situ, situ ngapain ngurusin kisah kasih sini" *yo olo, kisah kasih.. delapan puluhan banget*
Memang nggak semua perempuan menikah begitu. Tapi ada lho, yang seperti itu; SELALU menempatkan dirinya sebagai pakar atau konsultan relationship dan pria --- sekaligus menganggap para lajang ini --- karena belum berhasil menaklukkan pria manapun menjadi suami, ya nggak tau apa-apa soal relationship dan pria. *ehm, ini saya tangkap secara tersirat lho, dari sekian banyak kalimatnya.
Ampyun. Padahal kan, kalau dipikir-pikir lagi, selama dia menikah entahlah berapa tahun itu, saya sudah pacaran dengan berapa banyak pria coba? Sementara dia -- katanya sih, dia pacaran lama banged dengan suaminya --- nah kan? Selama periode waktu yang lamanya itu, dia hanya bersama satu pria sahaja (kalau bener sih, hehe)
Siapa yang lebih pengalaman coba, kalau gitu?
Ya jelas saya, lah!
Hehehehe.. yuk ah mari..
*kabur sebelum dirajam batu.
Selasa, Januari 13, 2009
Si Lajang : Jadi, Kalo mau Kawin Nikah, Buruan!
"Susul dong, Mbak!" seru Bubi, sepupu saya yang umurnya masih tujuh belas. Sedari tadi ia berisik banget mengomentari cara menyetir saya yang santai. Bawel! Padahal sudah sempat saya ancam, kalau misalnya komentarnya nggak berhenti, saya turunin di tengah jalan.
"Bentar ah, masih penuh." saya berusaha memunculkan sedikit kendaraan dari balik truk pantura yang baknya bertuliskan 'Birahi Tak Tertahan.' Oh ya, sekarang kami menuju Bandung, setelah merayakan tahun baru keluarga dan ulang tahun Oma di Jogja. Keluarga kami semua melanjutkan kunjungan keluarga ke Jawa Timur, sedangkan saya punya rencana untuk ketemu Marco di Jakarta, dan lanjut ke Togian. Sedangkan Bubi, katanya sih, banyak tugas kuliah (tapi saya curiga, dia itu nggak tahan jauh-jauh dari pacarnya. Dasar ABG)
Whoops. Ada truk dari arah yang berlawanan. Saya kembali ke belakang truk.
"Iiiih... segitu mah masih sempat nyelip kaleeee..." celanya,""Payaaaah... payaaaah... payahhh..."
"Biaaaar... biaaaar... Biaaaar..." balas saya nggak mau kalah.
"Udah rentaaa... udah rentaaa... udah renta...."
"Berarti makin bijaksana... bijaksanaa... bijaksana..."
"Sini, biar gue yang nyetir aja..."
"GAK! Ntar tabrakan! Situ kan kalo nyetir suka ga bisa bedain antara boom boom car sama mobil beneran."
"Hmpf." Ia pun menyilangkan lengan di dada dan membantingkan punggungnya ke sandaran kursi penumpang,"Jogja-Bandung kalo lo yang nyetir bisa seminggu, Mbak."
Saya hanya nyengir.
Ehm, kalau dipikir-pikir, akhir-akhir ini saya semakin berhati-hati dalam bertindak. Selalu berpikir jauh ke depan, terutama soal risiko. Apa pun yang hendak saya lakukan, saya harus memastikan bahwa itu nggak membahayakan/merugikan diri saya sendiri dan orang lain. Bahkan kadang-kadang saya, sebelum bergerak, membuat SWOT Analysis dulu untuk rencana saya. :D
Padahal, dulu, waktu seumur Bubi. Duh. Jangan ditanya. Saya suka segala hal yang menyerempet bahaya. Kalau kata si Mamah, saya tuh ora nduwe udhel (nggak punya udel, sih artinya --- tapi itu semacam istilah kalau seseorang nggak punya rasa takut.). Jangankan mikir risiko --- masih pakai otak saja sudah sukur.
Euh, mungkin pertambahan umur membuat saya lebih bijaksana.
Atau...
jadi penakut yang nggak berani ambil risiko?
......
Seperti layaknya reuni keluarga di tahun baru, pertanyaan kapankawin nikah membabi buta memberondong saya. Dan tahun ini, tidak seperti tahun sebelumnya, di mana saya selalu punya jawaban asal...
("santai, menopause masih jauh". Atau "Nikah? Yuk! Sekarang?". Atau *ini khusus buat yang terlalu reseh* "Ah, gue sih nungguin situ siap aja." -buat penanya cowok-, atau "Ah, gue sih nungguin laki situ siap aja" -buat penanya cewek-)
...saya memilih hanya tersenyum dan tidak berkomentar apa-apa.
Lalu, saya berbincang dengan Nesta (Ingat? Sepupu saya yang dicela-cela sepupu lain gara-gara parah dalam urusan keterampilan domestik?). Dia masih dua puluh tiga tahun. Menikah umur dua puluh satu.
"Mbak, emang Mbak nggak mikirin nikah?" tanya Nesta.
"Hm, kadang-kadang mikir, kadang-kadang nggak." saya nyengir.
"Kok bisa sih?"
"Ya bisaaa laaah."
"Sementara cewek-cewek di luaran, bahkan temen-temenku tuh pengen married banget."
Teman-teman Nesta. Artinya, cewek-cewek seumurannya.
Well, dulu waktu saya masih berumur awal dua puluhan, saya merasa sangat siap untuk menikah. Bahkan saya sempat tunangan. Tapi karena satu dan lain hal, bubar. Nah, keinginan menikah yang menggebu itu mulai padam saat saya melewati dua puluh tujuh --- terutama karena secara objektif saya melihat keadaan teman-teman saya yang menikah.
Menikah itu rumit. Buat saya. Dan saya nggak siap menanggung kerumitan itu. Kalau isu menikah diangkat, yang ada di benak saya, ya sejuta 'What if...".
Kalau ntar begini. Kalau entar begitu. Kalau entar begono.
Yah itu lah, sama dengan bertingkah gila-gilaan, saya jadi terlalu banyak mikir, untung-rugi, bahkan sampai bikin SWOT menikah dan melajang *yang mana sampai sekarang saya tetep ngerasa S dan O-nya lebih menyenangkan di melajang* :D
Ehm, jadi.. pointnya... kalau mau kawin, buru-burulah kawin. Makin muda umur makin baik, soalnya kau belum banyak mikir. *hahahaha.... saran menyesatkan*. Dan ketika kau menghadapi permasalahan dalam pernikahan, setidaknya kau sudah kawin dan harus menghadapi itu. Jangan seperti saya, menunda-nunda, jadi males kawin.
*bertanduk*
BTW, kenapa sih, orang-orang meributkan diksi menikah dan kawin? Sama aja, bedanya tipis. Kawin kan proses prokreasi, sedangkan menikah, proses prokreasi yang bersurat :D *pis ah*
Yah, Jogja Bandung kami capai dalam waktu 6 jam. Cepat? Oh tentu, soalnya begitu memasuki daerah Jawa Barat, kemudi diambil alih oleh Bubi.
Gila, cara Bubi nyetir ngebikin saya menyerukan Doa Bapa Kami berulang-ulang!
Haduh. Gusti. Tobaaaaat!
"Bentar ah, masih penuh." saya berusaha memunculkan sedikit kendaraan dari balik truk pantura yang baknya bertuliskan 'Birahi Tak Tertahan.' Oh ya, sekarang kami menuju Bandung, setelah merayakan tahun baru keluarga dan ulang tahun Oma di Jogja. Keluarga kami semua melanjutkan kunjungan keluarga ke Jawa Timur, sedangkan saya punya rencana untuk ketemu Marco di Jakarta, dan lanjut ke Togian. Sedangkan Bubi, katanya sih, banyak tugas kuliah (tapi saya curiga, dia itu nggak tahan jauh-jauh dari pacarnya. Dasar ABG)
Whoops. Ada truk dari arah yang berlawanan. Saya kembali ke belakang truk.
"Iiiih... segitu mah masih sempat nyelip kaleeee..." celanya,""Payaaaah... payaaaah... payahhh..."
"Biaaaar... biaaaar... Biaaaar..." balas saya nggak mau kalah.
"Udah rentaaa... udah rentaaa... udah renta...."
"Berarti makin bijaksana... bijaksanaa... bijaksana..."
"Sini, biar gue yang nyetir aja..."
"GAK! Ntar tabrakan! Situ kan kalo nyetir suka ga bisa bedain antara boom boom car sama mobil beneran."
"Hmpf." Ia pun menyilangkan lengan di dada dan membantingkan punggungnya ke sandaran kursi penumpang,"Jogja-Bandung kalo lo yang nyetir bisa seminggu, Mbak."
Saya hanya nyengir.
Ehm, kalau dipikir-pikir, akhir-akhir ini saya semakin berhati-hati dalam bertindak. Selalu berpikir jauh ke depan, terutama soal risiko. Apa pun yang hendak saya lakukan, saya harus memastikan bahwa itu nggak membahayakan/merugikan diri saya sendiri dan orang lain. Bahkan kadang-kadang saya, sebelum bergerak, membuat SWOT Analysis dulu untuk rencana saya. :D
Padahal, dulu, waktu seumur Bubi. Duh. Jangan ditanya. Saya suka segala hal yang menyerempet bahaya. Kalau kata si Mamah, saya tuh ora nduwe udhel (nggak punya udel, sih artinya --- tapi itu semacam istilah kalau seseorang nggak punya rasa takut.). Jangankan mikir risiko --- masih pakai otak saja sudah sukur.
Euh, mungkin pertambahan umur membuat saya lebih bijaksana.
Atau...
jadi penakut yang nggak berani ambil risiko?
......
Seperti layaknya reuni keluarga di tahun baru, pertanyaan kapan
("santai, menopause masih jauh". Atau "Nikah? Yuk! Sekarang?". Atau *ini khusus buat yang terlalu reseh* "Ah, gue sih nungguin situ siap aja." -buat penanya cowok-, atau "Ah, gue sih nungguin laki situ siap aja" -buat penanya cewek-)
...saya memilih hanya tersenyum dan tidak berkomentar apa-apa.
Lalu, saya berbincang dengan Nesta (Ingat? Sepupu saya yang dicela-cela sepupu lain gara-gara parah dalam urusan keterampilan domestik?). Dia masih dua puluh tiga tahun. Menikah umur dua puluh satu.
"Mbak, emang Mbak nggak mikirin nikah?" tanya Nesta.
"Hm, kadang-kadang mikir, kadang-kadang nggak." saya nyengir.
"Kok bisa sih?"
"Ya bisaaa laaah."
"Sementara cewek-cewek di luaran, bahkan temen-temenku tuh pengen married banget."
Teman-teman Nesta. Artinya, cewek-cewek seumurannya.
Well, dulu waktu saya masih berumur awal dua puluhan, saya merasa sangat siap untuk menikah. Bahkan saya sempat tunangan. Tapi karena satu dan lain hal, bubar. Nah, keinginan menikah yang menggebu itu mulai padam saat saya melewati dua puluh tujuh --- terutama karena secara objektif saya melihat keadaan teman-teman saya yang menikah.
Menikah itu rumit. Buat saya. Dan saya nggak siap menanggung kerumitan itu. Kalau isu menikah diangkat, yang ada di benak saya, ya sejuta 'What if...".
Kalau ntar begini. Kalau entar begitu. Kalau entar begono.
Yah itu lah, sama dengan bertingkah gila-gilaan, saya jadi terlalu banyak mikir, untung-rugi, bahkan sampai bikin SWOT menikah dan melajang *yang mana sampai sekarang saya tetep ngerasa S dan O-nya lebih menyenangkan di melajang* :D
Ehm, jadi.. pointnya... kalau mau kawin, buru-burulah kawin. Makin muda umur makin baik, soalnya kau belum banyak mikir. *hahahaha.... saran menyesatkan*. Dan ketika kau menghadapi permasalahan dalam pernikahan, setidaknya kau sudah kawin dan harus menghadapi itu. Jangan seperti saya, menunda-nunda, jadi males kawin.
*bertanduk*
BTW, kenapa sih, orang-orang meributkan diksi menikah dan kawin? Sama aja, bedanya tipis. Kawin kan proses prokreasi, sedangkan menikah, proses prokreasi yang bersurat :D *pis ah*
Yah, Jogja Bandung kami capai dalam waktu 6 jam. Cepat? Oh tentu, soalnya begitu memasuki daerah Jawa Barat, kemudi diambil alih oleh Bubi.
Gila, cara Bubi nyetir ngebikin saya menyerukan Doa Bapa Kami berulang-ulang!
Haduh. Gusti. Tobaaaaat!
Sabtu, Januari 10, 2009
Si Lajang : Status Menikah Itu Penting (di saat-saat tertentu)
Srini Mahadewi and Lukman Mufti ended their relationship.
Begitu tulisan yang tertera begitu saya log in ke dalam facebook. Ih, padahal kan mereka pacaran udah lama banget. Kalo nggak salah malah sudah tunangan. Maka, saya pun berkomentar...
Lho kok?
Sudah. Cukup. Begitu saja.
Dan saya pun mulai bermain-main dengan Alexandrine, pet saya di pet society ( barangnya siapa ikutan pet society, tolong ditolong ya Alexandrine jangan dimandiin kalau kalian kebetulan mengadakan kunjungan mencari koin. Dikasih makan boleh, dielus-elus juga boleh, di kasih hadiah berupa tempat tidur juga boleh ; soalnya kata teman saya, kalau nggak dimandiin, lama-lama dia bisa pup. Saya mau lihat, bener apa nggak *maklum pemain baru*)
...lima belas menit kemudian, saya mengakhiri permainan saya. Dan mengklik tab 'home', ingin lihat ada notifikasi apa lagi.
Pembaharuan status dua kawan saya itu ditanggapi oleh banyak orang. Mungkin mereka sama-sama kaget, seperti saya. Dan reaksinya juga mirip-mirip.
Hah?
Lho?
Weleh-weleh.
Kok Iso?
Nah lo.
Asyikkk *nah yang terakhir ngarang*
Lalu pembaharuan lebih baru lagi.
Srini Mahadewi is now listed as single
Lalu 'tring', tanda amplop berkelap-kelip muncul di ujung kanan layar. Tanda e-mail masuk. Maka saya pun tenggelam membaca e-mail dan membalasnya. Dari Bang Leo, abang saya --- bertanya kapan saya pulang (BTW, saya nggak lagi di pulau Jawa looh, lagi jalan-jalan bareng Marco --- tapi teteub, berusaha online.)
Setelah itu, kembali ke facebook, bermaksud log out karena Marco sudah manyun-manyun nggak jelas jaya gara-gara saya (menurutnya) kelamaan. Ih. Setengah jam lamanya dari mana coba? Cowok-cowok itu kadang-kadang suka nggak pengertian.
Anyway, ada notifikasi baru.
Srini Mahadewi moved from single to it's complicated
Tiba-tiba yang kebayang dalam benak saya, kejadiannya seperti ini
Srini : Kita putus.
Lukman : Tap..tapi
Srini : Pokoknya putus. Titik.
Lalu Srini pun pulang. Dengan marah ia mengganti statusnya di facebook. Sementara Lukman yang masih belum mau, kekeuh jumekeuh tidak mau merubah status. Tapi sejurus kemudian, saat kemarahan reda, Srini menyesal dan menelepon Lukman. Nah, si Lukman yang sudah diperlakukan demikian JM dong, Juwal Mahal. Lalu terjadilah negoisasi.
Lukman : Yah kita jalan lagi aja dulu, deh. Daripada saling menyakiti.
Dan Srini pun, kembali mengganti statusnya di facebook.
Iyeee. Saya ngarang.
....
Nggak, jangan salah sangka, dari dulu saya nggak pernah jadi cewek yang dikejar-kejar cowok. Atau kemana pun berjalan semua mata memandang --- nggak kok. Biasa aja. Yah, gimana mau jadi men-magnet, kalau kata orang-orang ekspresi wajah saya seperti orang yang mau ngajak tawuran. Dan kalau orang yang nggak kenal-kenal amat, pasti langsung bilang "Kayaknya nama tengah ni orang 'ngeselin'." hehe.
Nah itu, dia. Dengan keadaan yang nggak men-magnet banget, tapi masih dideketin, berarti ada yang salah kan? Nah, bagi saya, yang salah itu status lajang (diumur yang bukan remaja lagi.Duh!). Antara para kumbang itu yang desperate dan me'nyamber' siapa saja, dengan motto, selama janur kuning belum melengkung, hajar terus bleh. Atau they think I AM desperate, jadi mau sama siapa aja.
Dan keadaan seperti itu nggak selamanya menyenangkan. Kau nggak bisa bergerak bebas, harus serba hati-hati bertingkah laku, berkata-kata, memberikan sinyal --- semua serba terbatas; karena kau tidak mau ada seorang pun yang nantinya salah tanggap dan membuat kau ribet.
(Akhirnya kebingungan saya terhadap seorang kawan sekelas yang fotomodel jaman dulu, bilang kondisi dikejar-kejar banyak cowok itu nggak asyik terjawab sudah.)
Nggak asyik. Reseh malah.
Nah, kalau status lajang itu magnet, status menikah itu tameng. Coba deh, bilang kau sudah menikah, pasti kumbang-kumbang itu mundur teratur atau bahkan ada yang langsung mental karena ilfil. (kecuali yang tambeng dan bermotto : biarpun janur kuning sudah melengkung, hajar terus bleh... :D)
Hmmm... kadang-kadang, kalau kepepet (alias dihadapkan dengan pasukan berani maju nggak peduli sinyal negatif), dan berada di lingkungan baru, saya ngaku sudah menikah lhoo.. hihihi.
BTW, facebook itu kok jujur banget ya sistemnya, sangat kekeluargaan, bahkan lebih, secara semua aktivitas yang kita lakukan, terekam plek. Buset.
Begitu tulisan yang tertera begitu saya log in ke dalam facebook. Ih, padahal kan mereka pacaran udah lama banget. Kalo nggak salah malah sudah tunangan. Maka, saya pun berkomentar...
Lho kok?
Sudah. Cukup. Begitu saja.
Dan saya pun mulai bermain-main dengan Alexandrine, pet saya di pet society ( barang
...lima belas menit kemudian, saya mengakhiri permainan saya. Dan mengklik tab 'home', ingin lihat ada notifikasi apa lagi.
Pembaharuan status dua kawan saya itu ditanggapi oleh banyak orang. Mungkin mereka sama-sama kaget, seperti saya. Dan reaksinya juga mirip-mirip.
Hah?
Lho?
Weleh-weleh.
Kok Iso?
Nah lo.
Asyikkk *nah yang terakhir ngarang*
Lalu pembaharuan lebih baru lagi.
Srini Mahadewi is now listed as single
Lalu 'tring', tanda amplop berkelap-kelip muncul di ujung kanan layar. Tanda e-mail masuk. Maka saya pun tenggelam membaca e-mail dan membalasnya. Dari Bang Leo, abang saya --- bertanya kapan saya pulang (BTW, saya nggak lagi di pulau Jawa looh, lagi jalan-jalan bareng Marco --- tapi teteub, berusaha online.)
Setelah itu, kembali ke facebook, bermaksud log out karena Marco sudah manyun-manyun nggak jelas jaya gara-gara saya (menurutnya) kelamaan. Ih. Setengah jam lamanya dari mana coba? Cowok-cowok itu kadang-kadang suka nggak pengertian.
Anyway, ada notifikasi baru.
Srini Mahadewi moved from single to it's complicated
Tiba-tiba yang kebayang dalam benak saya, kejadiannya seperti ini
Srini : Kita putus.
Lukman : Tap..tapi
Srini : Pokoknya putus. Titik.
Lalu Srini pun pulang. Dengan marah ia mengganti statusnya di facebook. Sementara Lukman yang masih belum mau, kekeuh jumekeuh tidak mau merubah status. Tapi sejurus kemudian, saat kemarahan reda, Srini menyesal dan menelepon Lukman. Nah, si Lukman yang sudah diperlakukan demikian JM dong, Juwal Mahal. Lalu terjadilah negoisasi.
Lukman : Yah kita jalan lagi aja dulu, deh. Daripada saling menyakiti.
Dan Srini pun, kembali mengganti statusnya di facebook.
Iyeee. Saya ngarang.
....
Saya nggak mau ngomongin soal status online, tapi status di dunia nyata. Di saat-saat tertentu saya ngerasa orang yang berstatus menikah itu lebih diuntungkan dibandingkan para lajangers. Status dalam arti status itu sendiri,lho ya. Nggak ada hubungannya dengan kehidupan. Orang yang berstatus menikah itu berada dalam kondisi yang ‘sedikit’ lebih aman dibandingkan para lajang.
Nggak, jangan salah sangka, dari dulu saya nggak pernah jadi cewek yang dikejar-kejar cowok. Atau kemana pun berjalan semua mata memandang --- nggak kok. Biasa aja. Yah, gimana mau jadi men-magnet, kalau kata orang-orang ekspresi wajah saya seperti orang yang mau ngajak tawuran. Dan kalau orang yang nggak kenal-kenal amat, pasti langsung bilang "Kayaknya nama tengah ni orang 'ngeselin'." hehe.
Nah itu, dia. Dengan keadaan yang nggak men-magnet banget, tapi masih dideketin, berarti ada yang salah kan? Nah, bagi saya, yang salah itu status lajang (diumur yang bukan remaja lagi.Duh!). Antara para kumbang itu yang desperate dan me'nyamber' siapa saja, dengan motto, selama janur kuning belum melengkung, hajar terus bleh. Atau they think I AM desperate, jadi mau sama siapa aja.
Dan keadaan seperti itu nggak selamanya menyenangkan. Kau nggak bisa bergerak bebas, harus serba hati-hati bertingkah laku, berkata-kata, memberikan sinyal --- semua serba terbatas; karena kau tidak mau ada seorang pun yang nantinya salah tanggap dan membuat kau ribet.
(Akhirnya kebingungan saya terhadap seorang kawan sekelas yang fotomodel jaman dulu, bilang kondisi dikejar-kejar banyak cowok itu nggak asyik terjawab sudah.)
Nggak asyik. Reseh malah.
Nah, kalau status lajang itu magnet, status menikah itu tameng. Coba deh, bilang kau sudah menikah, pasti kumbang-kumbang itu mundur teratur atau bahkan ada yang langsung mental karena ilfil. (kecuali yang tambeng dan bermotto : biarpun janur kuning sudah melengkung, hajar terus bleh... :D)
Hmmm... kadang-kadang, kalau kepepet (alias dihadapkan dengan pasukan berani maju nggak peduli sinyal negatif), dan berada di lingkungan baru, saya ngaku sudah menikah lhoo.. hihihi.
BTW, facebook itu kok jujur banget ya sistemnya, sangat kekeluargaan, bahkan lebih, secara semua aktivitas yang kita lakukan, terekam plek. Buset.
Kamis, Januari 01, 2009
Si Lajang dan Si Menikah Mengucapkan...
Langganan:
Postingan (Atom)