Kamis, April 12, 2012

Di-i VS Me-i

icha rahmanti ( @cintapuccino)

sumber : gettyimages.com
Beberapa waktu yang lalu saya sempat nge-twit begini: “Dicintai vs mencintai. Saat gak bisa saling, pilih yg mana?” 

Ya, saat saling tidak bersanding dengan cinta sehingga kadarnya nggak seimbang, pilihannya hanya pada dua pasangan imbuhan-akhiran ini: di-i vs me-i

Kebanyakan perempuan memilih di-i  karena kata mereka:  @deedinadee "Meskipun sensasinya lebih 'dapet' yg mencintai. Milih dicintai *inget cinta matinya Rahmi ke Nimo*”, lalu Neng @dhilaibtida pun memilih dicintai karena, “Mencintai kalau ga saling, cuma bikin capek” dan @anovita "Teh,milih dicintai, setelah itu biasanya bisa belajar 'mencintai'. Jenis cinta karena terbiasa tea geuning jenisnya”.
Ada seorang perempuan yang punya opini berbeda dari kebanyakan mojang yang memilih dicintai saja walau masih sambil berharap bisa dapat pasangan dengan kadar cinta yang saling. Kata @sihesty ,"effort besar menunjukkan bahwa mencintai ditujukan bukan ke sembarang orang. Memang nggak selalu mencintai dibalas dgn dicintai, seringnya malah dilewatkan begitu saja, tapi banyak orang yang belajar member setelah menerima,” argumennya.

Sementara itu, di sisi kaum bujang, kebanyakan ingin mencintai. Kata 
@oenank “Mencintai, soalnya kalo dicintai doank suka serasa punya utang”. Nah tapi seperti tembang dangdut A.Rafik – Tidak Semua Laki-laki.... *sambil nyanyi hehehe*  ada juga cowok yang berkomentar sebaliknya. @rezaFRoDiSCo “Dicintai dong, kalo mencintai banyakan sakitnya”.

So it’s safe to say that the choice, even one sex in general prefer being loved compare to majority of the opposite sex, generally it’s just us: human being in  battlefield of mighty love.

Tetapi baru-baru ini saya sempat ngobrol-ngobrol dengan seorang psikolog perempuan yang usianya jauh di atas saya. Ibu Psikolog ini bercerita teori menarik versinya. Katanya, untuk urusan mencari jodoh alias pasangan (yang niatnya) akan sehidup semati dalam pernikahan, sebaiknya perempuan kalau tidak bisa mendapatkan cinta yang seimbang, memilih laki-laki yang paling menggilainya *putar Shanty – Menggilaimu J *, yang paling mengejarnya sehingga sang perempuan berada di posisi dicintai. 

Kenapa?

Karena semodern apapun, menurut beliau perempuan punya dorongan domestik, ada tali rahim sebagai pengikat dengan rumah dan anak sehingga lagi-lagi, semodern dan sesibuk apapun karirnya di  luar, ikatan ini akan tetap membawanya pulang.

Sementara lelaki, tidak punya ikatan ini sehingga bisa “bebas” semau-maunya. Usaha, pengorbanan saat mengejar sang calon istri dululah yang akan membawanya selalu kembali ke rumah. Tanpa itu, akan terlalu mudah bagi laki-laki untuk cabut begitu saja ketika kehidupan pernikahan mengambil yang terbaik dari sayang diantara pasangan.  Akan terlalu mudah juga buat laki-laki untuk menyepelekan istri yang ibaratnya didapatnya dengan “mudah”. 

Kata Ibu Psikolog ini,  ada suatu kualitas yang “laki banget” untuk mempertahankan kepunyaan/ properti, dan ini akan berbanding lurus dengan tingkat kesulitan. Makin sulit makin dipertahankan. 

Tapi setelah selesai mengobrol dengan beliau, saya tiba-tiba terpikir sesuatu. Hati perempuan itu adalah kunci dari segalanya. Dalamnya bisa mengalahkan palung terdalam sekalipun dan dengan lika-liku yang rumitnya seperti birokrasi di negara kita –diperlukan trik khusus untuk bisa menanganinya.  Dan perempuan, biasanya, punya hati hanya untuk satu nama, seumur hidup.

 Jadi, terpikir oleh saya, akankah berada di posisi mencintai membuat perempuan mengeluarkan kualitas tabah cenderung bodoh dalam menjalani segala macam prahara rumah tangga termasuk pasangan yang menyepelekannya atau hal-hal lainnya? Kabarnya, jangan pernah meremehkan kekuatan perempuan yang mencinta, betulkah?

Ceritakan opini atau pengalaman kamu ya, Lajang-ers / Menikah-ers!


Blog Widget by LinkWithin