icha rahmanti ( @cintapuccino)
sumber : gettyimages.com |
Beberapa waktu yang lalu saya sempat
nge-twit begini: “Dicintai vs
mencintai. Saat gak bisa saling, pilih yg mana?”
Ya, saat
saling tidak bersanding dengan cinta sehingga kadarnya nggak seimbang,
pilihannya hanya pada dua pasangan imbuhan-akhiran ini: di-i vs me-i
Kebanyakan
perempuan memilih di-i karena kata
mereka: @deedinadee "Meskipun sensasinya lebih 'dapet'
yg mencintai. Milih dicintai *inget cinta matinya Rahmi ke Nimo*”, lalu Neng @dhilaibtida pun memilih dicintai karena, “Mencintai
kalau ga saling, cuma bikin capek” dan @anovita "Teh,milih dicintai, setelah itu
biasanya bisa belajar 'mencintai'. Jenis cinta karena terbiasa tea geuning
jenisnya”.
Ada seorang
perempuan yang punya opini berbeda dari kebanyakan mojang yang memilih dicintai
saja walau masih sambil berharap bisa dapat pasangan dengan kadar cinta yang
saling. Kata @sihesty ,"effort besar menunjukkan bahwa
mencintai ditujukan bukan ke sembarang orang. Memang nggak selalu mencintai
dibalas dgn dicintai, seringnya malah dilewatkan begitu saja, tapi banyak orang
yang belajar member setelah menerima,” argumennya.
Sementara itu, di sisi kaum bujang, kebanyakan ingin mencintai. Kata @oenank “Mencintai, soalnya kalo dicintai doank suka serasa punya utang”. Nah tapi seperti tembang dangdut A.Rafik – Tidak Semua Laki-laki.... *sambil nyanyi hehehe* ada juga cowok yang berkomentar sebaliknya. @rezaFRoDiSCo “Dicintai dong, kalo mencintai banyakan sakitnya”.
So it’s
safe to say that the choice, even one sex in general prefer being loved compare
to majority of the opposite sex, generally it’s just us: human being in battlefield of mighty love.
Tetapi baru-baru ini saya sempat
ngobrol-ngobrol dengan seorang psikolog perempuan yang usianya jauh di atas
saya. Ibu Psikolog ini bercerita teori menarik versinya. Katanya, untuk urusan
mencari jodoh alias pasangan (yang niatnya) akan sehidup semati dalam
pernikahan, sebaiknya perempuan kalau tidak bisa mendapatkan cinta yang
seimbang, memilih laki-laki yang paling menggilainya *putar Shanty –
Menggilaimu J *, yang paling mengejarnya sehingga sang
perempuan berada di posisi dicintai.
Kenapa?
Karena semodern apapun, menurut beliau
perempuan punya dorongan domestik, ada tali rahim sebagai pengikat dengan rumah
dan anak sehingga lagi-lagi, semodern dan sesibuk apapun karirnya di luar, ikatan ini akan tetap membawanya
pulang.
Sementara lelaki, tidak punya ikatan ini
sehingga bisa “bebas” semau-maunya. Usaha, pengorbanan saat mengejar sang calon
istri dululah yang akan membawanya selalu kembali ke rumah. Tanpa itu, akan
terlalu mudah bagi laki-laki untuk cabut begitu saja ketika kehidupan
pernikahan mengambil yang terbaik dari sayang diantara pasangan. Akan terlalu mudah juga buat laki-laki untuk
menyepelekan istri yang ibaratnya didapatnya dengan “mudah”.
Kata Ibu Psikolog ini, ada suatu kualitas yang “laki banget” untuk
mempertahankan kepunyaan/ properti, dan ini akan berbanding lurus dengan tingkat
kesulitan. Makin sulit makin dipertahankan.
Tapi setelah selesai mengobrol dengan
beliau, saya tiba-tiba terpikir sesuatu. Hati perempuan itu adalah kunci dari
segalanya. Dalamnya bisa mengalahkan palung terdalam sekalipun dan dengan
lika-liku yang rumitnya seperti birokrasi di negara kita –diperlukan trik
khusus untuk bisa menanganinya. Dan
perempuan, biasanya, punya hati hanya untuk satu nama, seumur hidup.
Jadi,
terpikir oleh saya, akankah berada di posisi mencintai membuat perempuan
mengeluarkan kualitas tabah cenderung bodoh dalam menjalani segala macam
prahara rumah tangga termasuk pasangan yang menyepelekannya atau hal-hal
lainnya? Kabarnya, jangan pernah meremehkan kekuatan perempuan yang mencinta,
betulkah?
Ceritakan opini atau pengalaman kamu ya,
Lajang-ers / Menikah-ers!