Jumat, Oktober 15, 2010
Salah Satunya Salah Kostum
Menjadi pasangan suami istri memang ga selamanya harus punya cara pikir yang sama. Contohnya saya dan suami. Entah karena perbedaan umur yang cukup jauh (13 taun), entah karena memang gaya berpikir yang sama sekali lain, saya dan suami banyak memandang hal yang sama dari sisi yang berbeda. Terjebak dalam perbedaan pendapat, ya udah biasa. Untungnya nggak sampe berantem, tapi dia justru sering mentertawakan cara berpikir saya yang berbeda 180 derajat dengannya. Demikian juga kebalikannya, saya sering dengan mata terbelalak memandang dia dan berpikir betapa aneh cara berpikirnya dia. Dan kemudian berujung berpikir, ini gimana orang yang sedemikian lainnya dari saya, kok bisa jadi pasangan hidup?
Perbedaan cara berpikir saya dan suami nggak cuma dalam hal yang serius. Cuma perihal kostum aja kita bisa beda banget. Ini contohnya :
Dia : hari ini ada acara reuni, ikut ya
Saya : OK, dress code nya apa ?
Dia : Santai aja kok
BUM !
Saya kemudian muncul dengan celana pendek plus kaos dengan sepatu keds, dia muncul juga dengan sepatu keds, tapi dengan celana panjang jeans dan kemeja tangan panjang yang digulung tangannya. Baiklah. Santai buat saya adalah celana pendek dan kaos, sementara standar santainya dia adalah kemeja panjang dengan lengan digulung. Untung serumah, yang begini-gini bisa diperbaiki seketika.
Kali lain perihal yang lebih serius. Seorang teman kami 'terpaksa' menikahi pacarnya, karena si pacar hamil. Kemudian, pendek kata, setelah melahirkan, si teman tahu bahwa anak yang dikandungnya ternyata bukan anaknya. Posisi yang sulit, saya bahkan tidak berani memberi ide dan pandangan apa-apa ketika si teman bercerita. Tapi saya kemudian mendukung ketika dia akhirnya memutuskan untuk menceraikan istri yang baru dinikahinya selama 7 bulan itu. Kelar urusan cerai, suami saya mengerutkan kening pertanda punya pendapat lain. Menurutnya, kendati itu bukan anak darah dagingnya, dia tetap harus menikahi si pacar. Alasannya karena, toh hamil nggak hamil, dia pernah meniduri perempuan itu. Oh man, inilah saat saya saya terbelalak dan menyadari betapa 'kuno' nya suami saya! Perbincangan berlanjut dengan 'pembelaan' saya bahwa kalau itu bukan anaknya, berarti kan ada lelaki lain yang pernah berhubungan sex dengan perempuan itu. debat berlangsung agak panjang dan tiada berujung sampai akhirnya saya menyerah tanpa mengiyakan bahwa pendapat dia masuk akal.
Itu 2 contoh hal yang pernah terjadi diantara kita. Kalau sudah begini, jangan tanya selera ya. Jauuuh beda. Kalau taun 80an dulu, kata Ari Wibowo “kau suka keju, aku suka singkong: :). Saya suka tempat ramai, saya menikmati jalan ke mall dan makan di tempat yang berdesakan. Suami saya memilih diam di rumah saat libur, tidur sepanjang hari, atau nonton atau bikin betul ini itu di rumah. Saya menikmati menjelajah tempat-tempat makan baru, suami saya akan makan apa aja yang disediakan untuknya. Saya menikmati musik yang akrab di telinga alias lagu-lagu populer yang ringan, suami saya menyukai musik njelimet yang menurut saya semakin didengar, semakin bikin pusing.
Beda halnya dengan sepasang suami istri yang baru saya kenal beberapa bulan lalu. Saya pernah mengobrol terpisah dengan keduanya. Ketika ngobrol dengan si istri, saya sempet kaget karena apa yang dibilang si istri persis sama dengan apa yang pernah dibilang si suami pada saya sebelumnya. di lain kesempatan, kami bertiga ngobrol sama-sama, Lucunya, mereka saling melengkapi kalimat karena masing-masing tau persis apa yang mau diomongin sama pasangannya. Dengan tepat dan tanpa salah. Cara pandang yang sama, umur yang ngga terpaut jauh, dan selera yang sama pula. Kayaknya mereka nggak bakalan pernah ngalamin yang namanya salah kostum seperti yang sering saya alami bersama suami. Mereka juga cenderung pergi kemana-mana berdua, maklum dua-duanya sama-sama suka jalan.
Terus, apakah dengan memiliki minat yang sama persis satu sama lain maka hidup rumah tangga akan jadi lebih mudah? Eits jangan salah, sama hobby, sama umur, sama selera dan sama gaya biasanya berujung sama tabiat :). Bisa jadi sama-sama tukang marah, bisa jadi sama-sama tukang memendam amarah.
Engga, saya nggak bilang mana yang lebih baik. Menjalani hidup rumah tangga, dua-duanya sulit. Nggak ada yang lebih gampang. Saya merasa banyak dimenangin karena saat saya marah, suami saya selalu lebih adem, akhirnya marah saya menguap begitu aja. Di sisi lain, saya sering kehilangan partner untuk jalan-jalan cari makanan baru itu tadi. Teman saya yang suami istri itu tadi mungkin nggak pernah kesepian saat jalan-jalan karena selalu ada untuk satu sama lain, tapi pasti sulit menghadapi pasangan ketika sama-sama marah.
Siapa yang bilang menikah itu mudah? Semua sulit dengan ragamnya masing-masing. Dan semua bisa diatasi dengan caranya masing-masing :)
note : gambar pinjem dari www.clipartof.com
Langganan:
Postingan (Atom)