Rabu, April 28, 2010

Cerita?, Nggak Cerita?




Wah udah lama ga update ya. Maaf, maaf. maklum kalo kontributornya mentri ya repot sih. Yang satu mentri pendidikan alias berkarya di bidang pendidikan, yang stau lagi mentri sosial, dimana kerjaannya bersosialisasi alias kebanyakan nongkrong. Oh well......

Udah ah, semoga mulai hari ini dan seterusnya kita bisa terus apdet di Lajang Dan Menikah ya, secara cerita mah sebetulnya ga pernah abis.

Sebelum menikah dulu, saya nggak pernah terbayang bahwa di dalam satu pernikahan khas Indonesia dimana banyak orang yang terlibat (baca:keluarga), akan ada seabruk-abruk masalah yang justru tidak datang dari pasangan kita sendiri, tapi dari sekitar (baca lagi:keluarga). Kalo dipikir-pikir lagi tidak semuanya juga kemudian menjadi masalah sih, bisa juga jadi sebuah perhatian atau tanda sayang. Ya, tergantung kita melihatnya dari sudut mana.

Sebelum mulai cerita kesana kemari, saya kelihatannya harus bilang kalau saya sebetulnya memang orang yang nggak terlalu perhatian sama kiri-kanan. Ada kalanya saya perhatian sekali, tapi sering kali saya juga agak cuek dan sama sekali nggak ada perhatian. Bagian apa yang harus saya perhatikan dan bagian apa yang nggak terperhatikan, semuanya subjektif, gimana saya aja. Dalam hal beginian, ada banyak hati dan sedikit otak yang mempengaruhi sikap saya. Namanya juga subjektif kan.

Dalam keluarga, tentu wajar banget yang namanya saling memperhatikan kan. Apalagi dari nggak punya keponakan, tiba-tinba saya punya 8 orang keponakan, umurnya lagi lucu-lucunya pula. Ada yang beranjak remaja ada pula yang masih kecil-kecil. Mereka semua tinggal di luar kota, ketemuannya ya cuma kalo liburan aja sih. Seru juga, anak-anak kelihatan banget pertumbuhannya, selalu beda tiap ketemu. Nggak seperti nan tulang (tante) nya ini yang begini-begini aja.

Di kumpulan keluarga, saya termasuk orang yang agak jarang bercerita-cerita (padahal kalo nge-blog bisa banjir semua ceritanya, hehe). Paling banter yang saya ceritakan, ya soal Freiya, soal kelucuannya dan tingkahnya yang selalu bikin gemes aja. Eh jarang bercerita ini dalam konteks lagi ga ketemuan ya. Maksudnya kalo sengaja-sengaja telepon atau SMS berpanjang2 untuk cerita sih engga, tapi kalo udah ketemu sih ya suka juga cerita-cerita.

Sialnya membagi apa yang sebaiknya diceritakan dan apa yang sebaiknya ngga usah diceritakan itu nggak ada patokan atau standarnya.. Ada kalanya menurut kita ini perlu diceritain, eh ternyata engga. Ada juga waktu kita berpikir ini nggak usah diceeritain, eh malah dibahas “kok ngga cerita-cerita sih” Hal-hal begini lumayan membuat saya kepingin garuk-garuk tanah (cari berlian).

Kalo saya sedang dalam masalah, saya agak jarang cerita. Bukan sombong ya, tapi kalo emang nggak bisa juga menyelesaikan masalah, buat apa sih cerita-cerita. Apa? supaya bisa didukung dalam doa? Oh oke deeeh :).

Biasanya saya cerita kalo masalah udah selesai justru. Kayak beberapa bulan lalu, Freiya tiba-tiba kakinya sakit lalu dibawa ke rumah sakit. Di rumah sakit saya harus memutuskan sendiri tindakan operasi. Urusannya sih ringan tapi berhubung dia masih kecil, otomatis perlakuannya istimewa. Waktu itu saya ambil keputusaan sendiri dan menandatangani surat kesepakatan operasi. Suami sedang di luar kota waktu itu, lagi meeting pula. Saya memutuskan untuk nggak bilang sama dia sampai operasinya selesai dan Freiya baik-baik saja. Dia tentu kaget tapi nggak sempat lagi marah waktu tau akhirnya Freiya dioperasi. Saya sengaja nggak bilang, karena buat apa? malah ganggu yang lagi meeting dong, sementara saya tau dia juga nggak bisa mendadak pulang menemani saya di rumah sakit. Di sisi lain, saya juga membiasakan ebrbagi tugas dengan suami. Salah satu dari kami harus memperhatikan anak saat dalam keadaan sakit seperti itu, sementara yang lainmnya harus tetap konsentrasi pada pekerjaannya. Siapa yang mikir anak siapa yang mikir kerja, tentu bergantian, sesuai keperluan aja. Pernah juga waktu Freiya sakit dan saya harus kerja, suami yang diam di rumah ngurus anak. Saya pergi kerja karena memang ada kerjaan yang nggak bisa ditinggalin.

Nah waktu operasi hari itu, saya sama sekali nggak bilang siapa-siapa. Iya, bawel dikit di Twitter sih, secara masih perlu diperhatiin teman-teman yang manis manis itu. Tapi sama keluarga, saya justru nggak bilang. Sama seperti pada suami, saya cerita setelah operasi usai, Freiya baik-baik saja, bahkan sudah pulang ke rumah.

Coba bayangkan kalo sebelum operasi saya udah bilang-bilang, apa nggak jadi pada panik sih ya? terus juga nggak menutup kemungkinan mereka lalu berinisiatif datang menemani saya. Sementara saya juga dalam keadaan panik dan males ngomong sama orang, eee, bukannya malah jadi repot ya.

Berhubung umur pernikahannya baru, belum genap 4 tahun, saya yang juga masih suka bingung membagi apa aja yang harus diceritain, apa yang nggak harus diceritain. Yang jelas saya sih berpikir sederhana aja. Kalo sekiranya bakal bikin repot dan nggak menambah nilai terhadap apapun juga, saya memilih diam ga cerita. Tapi kalau memang dengan cerita ada nilai lebih yang bisa didapat, baiklah saya akan cerita.

Untungnya, keluarga suami dan keluarga saya cukup banyak mengerti kalau saya sering nggak bilang-bilang mengenai apa-apa yang kita alami. Nggak ada sih tudingan-tudingan macam mencerca saya sombong atau dll dll. Saya pikir memang harus demikian. Bagaimanapun, keputusan membagi cerita itu kan ada di tangan kita, atau dengan kata lain, “gimana gue aja kaleee”.
Blog Widget by LinkWithin