Selasa, Oktober 27, 2009

Si Lajang/Si Menikah : Monster Tukang Larang.

"Eh, Maia, nggak boleh buka-buka rok kayak gitu ah!" Icha mengerutkan kening, ketika putrinya yang berusia (kalau tidak salah) lima tahun mengangkat-angkat roknya. Maia mendelik pada Icha tanpa mengatakan satu patah kata pun, lalu berlalu dari hadapan kami,menghilang ke dalam kamarnya,"Hhhh, lagi demen-demennya ngelawan dia." desah Icha.
"Cha, Maia cantik ya?" kata saya tulus.
"Oh." Icha tersenyum sumringah. Ibu mana sih, yang tidak suka jika putrinya dipuji.
"Cepet gede aja, berasa lahir baru kemarin..."
"Iya, time flies..."
"Tau-tau udah remaja aja..."
"Duuh, ga kebayang..." Icha menggelengkan kepala.

....

Saya bersahabat dengan Icha sejak kami masuk ke SMA yang sama. And she hated her parents, khususnya ibunya. Soalnya, ibunya itu memang basi banget, banyak peraturan dan tukang ngatur. Emang sih, ibu-nya Icha kolot banget. Sori, sori aja ya, rada basi. Setiap hari harus sudah ada di rumah jam dua siang. Kalau weekend boleh sampai jam lima sore (Cuma kalau main ke rumah saya, boleh sampai jam tujuh atau delapan malam). Keluar rumah nggak boleh pakai celana pendek/rok mini. Harus pakai baju yang dibelikan ibunya (padahal aduh, baju-baju pilihan ibunya itu... enggakbanget! kalau nekad pakai baju itu keluar rumah, kau bakal jadi bulan-bulanan). Ke mana-mana harus antar jemput. Nggak boleh nginep-nginep. Nggak boleh pergi sama cowok (apalagi pacaran). Lalala.. Lilili.... pokoknya masih banyak lah, hal-hal yang membuat saya merasa beruntung, karena Ibunya Icha bukan Ibu saya.

Tapi Icha bukanlah anak penurut. Akibatnya saya sering jadi bumper ya, bok. Icha sudah pacaran sejak kelas satu SMA --- dan setiap ia hendak berkencan, ia akan meminta supirnya untuk mengantar sampai ke rumah saya. Dari rumah, ia meminta izin untuk main ke rumah. Begitu sampai di rumah saya, ia selalu mewanti-wanti saya

"Gue bilang, gue ke rumah lo. Jadi kalo lo ditelepon nyokap gue, jangan bilang nggak tau..."
"Lah terus gue kudu bilang apa dong, kalo nyokap lo nelpon...?"
"Apa kek..."

Daaan,akhirnya setiap ibunya Icha menelepon saat Icha sedang berkencan, saya harus menjawab "Ada tante, tapi lagi di toilet, ntar saya bilang kalo tante nelpon...". Untung saja, Icha selalu sudah ada di rumah saya sebelum supirnya menjemput, kalau nggak berabe, aja.

Kalau pergi dari rumah,tentu saja Icha memakai pakaian layak-pakai menurut standar ibunya, tapi tentu saja ia akan sangat niat segera mengganti bajunya dengan tanktop dan rok mini di toilet mall yang kami kunjungi.

Kalau saya disuruh membuat daftar kebadungan Icha (dan ehm.. saya.. juga sih), pasti bakal panjang sekali!

Saya masih ingat banget, suatu hari, saat kami mengobrol ngalor-ngidul di kamar saya sambil menonton film dan memamah popcorn, Icha sempat bertanya-tanya, kenapa orangtua itu hobi sekali melarang-larang.

Waktu itu saya hanya mengangkat bahu --- walaupun orangtua saya juga suka melarang ini dan itu, dan kadang saya bete juga; tapi saya sih nggak segitunya memberontak, nggak kayak Icha. Pada dasarnya, saya sebangsa orang yang malas berfriksi. Cinta damai, bok. Lagipula,orangtua saya tidak se-strict orangtua Icha. Segala larangan masih bisa lah, ditoleransi (walaupun nggak jarang juga saya menabrak larangan-larangan tersebut kecil-kecilan--- gimana ya, rules are meant to be broken, aren't they?)

Icha sempat memberi label Ibunya sebagai 'monster tukang larang' dan 'monster curigaan'. Menurut Icha, orangtua macam ibunya ini-lah yang membuat masa remaja jadi tidak indah.

"Pokoknya, kalo gue udah jadi ibu-ibu, gue mau bebasin anak gue kalo udah remaja, mau pulang malem kek, mau ngapain kek. Anak gue bakal gue kasih kepercayaan sepenuhnya. Gak deh, gue gak mau jadi monster tukang larang dan monster tukang curigaan. Biar anak gue menikmati masa remajanya.'

"Lagian,bukannya kalo semakin dilarang, anaknya bakal semakin memberontak? Siapa bilang anak di depan iya-iya, tapi di belakang nggak nakal-nakal? Daripada gitu, mending dilepas aja kali, ya nggak?" katanya lagi.

"Iya kali..."

....

Segala aturan dan segala curfew ala Ibu-nya Icha itu masih eksis, bahkan sampai ia lulus kuliah. Iya sih, agak melonggar, tapi tetap aja masih bisa dimasukkan dalam kategori kuno. Saya sempat ketawa-ketawa saat jam tujuh malam, di satu malam minggu, di umur Icha yang ke-23, mendadak sang Ibu meneleponnya dan menyuruhnya pulang. Ya ampun, dua puluh tiga tahun dan masih disuruh pulang! Dan saya tambah geli, karena melihat Icha ngomong "Iya bu, ntar lagi aku pulang." di telepon dengan suara ala anak manis sedunia, padahal ia memberot-berotkan mukanya tanda sebal.

"Gue pengen kawin aja deh, biar bebas dari aturan nyokap." kata Icha setelah telepon ditutup, sambil buru-buru menyeruput minumannya dan bersiap-siap untuk pulang.

Anyway, Icha menikah di usia dua puluh empat. Saya nggak tau dia menikah karena memang merasa sudah waktunya menikah, atau karena ingin bebas dari aturan ibunya.;-) Setahun kemudian, lahirlah Maia.

.....

"Kebayang ga sih lo, sepuluh taun lagi dia tau-tau bawa cowok, terus bilang 'Kenalin, ini pacar aku, Mama...'" seloroh saya.
"Hhh, iya euy, gue suka serem aja mikir gitu. Pengennya sih Maia nggak usah gede-gede lah, terus gue pingit di rumah."

Saya tertawa geli mendengarnya.

"Eh, gue masih inget lu dulu pengen ngebebasin anak lu mau ngapain aja..." cetus saya.
"Er, gue tarik deh perkataan gue. Seriusan, gue nggak mau ngebebasin blas anak gue ngapain aja, takut dia ngelakuin yang ga bener!"
"Emm, mungkin itu juga yang ditakutin nyokap lo sampe lo dilarang-larang segitunya."

Icha terdiam.....

"Iya sih, bisa jadi. Setelah punya Maia, gue jadi tau gimana perasaan nyokap gue dulu." katanya sambil menghela napas.
"Artinya lo mau mengekang Maia seperti nyokap lo mengekang lo?" ledek saya.
"Oh, tentu enggak. Gue nggak bakal deh terlalu kayak nyokap gue. Gue bakal mendidik Maia bebas tapi terkendali. Gue berusaha jadi sahabat Maia, supaya ntar kalo udah gede, dia bisa ngelakuin segala sesuatu tanpa harus sembunyi-sembunyi."
"Ah teooriiii..."
"Hu, liat ajaaa..."
"Baiklah. So, ntar kalo mendadak anak lo jujur sama lo dan bilang "Mama, tadi aku ciuman dong sama pacar aku. French Kiss, lho."
"IIIIH! GA MAAU..." Icha mendelik.
"Atau mendadak kalo dia bilang 'Mama, tadi toket aku dipegang-pegang sama pacar aku, kok rasanya gitu ya?"
"Ga mauuuu..." Icha mendelik sambil menggelengkan kepala.
"Atau..."
"Udah cukup! Jangan bikin gue pengen ngurung anak gue yaaaaaa..."

Dan saya pun ketawa-ketawa mendengar protes Icha.

Ehm, mendadak kepikir, jangan-jangan, begitu punya anak, memang seorang perempuan akan selalu menjadi monster tukang larang, karena kuatir pada anaknya?

If you've never been hated by your child, you've never been a parent.

Bette Davis

Thank you, Gaby, atas quotation pagi-paginya di twitter yang mendadak menginspirasi :)

sumber gambar : sxc.hu

Rabu, Oktober 21, 2009

Cerita Kiriman : Miss A(nnoying)


Saya bukan orang yg rese dengan cerita nostalgia soal mantan pasangan, mengingat saya pun pernah punya cerita dengan mantan-mantan yg (mungkin) sulit saya lupakan. Rasanya saya sangat toleran terhadap masa lalu. Tapi saya paling sebel kalau ada orang dari masa lalu yang terang-terangan datang dan mengganggu 'masa sekarang'.

Tersebutlah 1 teman suami yg hobi sekali mengupdate info tentang saya, esp waktu saya dan suami masih pacaran. Kita sebut saja dia Miss A(nnoying). Setiap dia online di messenger, pasti dia akan sok ramah menyapa saya dan bertanya ini-itu. Dimana saya bekerja, berapa gaji saya, fasilitas business trip saya, sampai dimana tempat gaul saya. Hohoho.. penting yaaa?

Mengingat dia teman suami dan lebih tua beberapa tahun di atas saya, saya selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan dia dengan ramah. Tapi setelah pertanyaan-pertanyaannya berubah menjadi pernyataan-pernyataan berbau kompetisi, saya mulai terganggu.

Rasanya sebel setengah mampus dengar cerita soal ibu suami a.k.a mertua saya yang suka banget sama dia, sampai pengen banget menjadikan dia sebagai menantu waktu itu. Juga soal suami yg dulu semasa SMA rajin banget mengupdate dia soal info chart lagu indonesia, sampai bela-belain kirim surat ke negara tetangga. *ceritanya waktu SMA dia sempat ikut pertukaran pelajar.

Karena sebel dengan cerita rese yg diulang-ulang hampir di setiap chat, secara tidak langsung saya mengkonfirmasi cerita-cerita itu, baik kepada ibu mertua maupun kepada suami. Dan hasil yang saya dapatkan tidak se'berbunga' ceritanya.

Ternyata, ibu mertua malah mengatakan kalo keluarga Si Miss A-lah yang gencar ngajak besanan. Sedangkan suami mengatakan kalo dia ga penah membayangkan menjadi seorang anak SMA yg pergi ke kantor pos untuk rajin berkirim surat. Moreover waktu itu si suami udah punya pacar. Well, saya tidak berminat untuk berkomentar lebih jauh. Saya hanya menyimpulkan kalo mungkin si Miss A naksir suami (yang waktu itu masih berstatus sebagai pacar saya).

Kemudian dari cerita teman-teman suami (yg notabene para pria), saya jadi tahu kalo si Miss A ini memang punya hobi ngarang cerita, seolah-olah semua pria di dunia pernah naksir sama dia. Sakit jiwa menurut saya. Saya sempat heran, si A ini cantik dan pintar. Benar-benar tidak ada yg salah dengan dia. Saya yakin (kalo dia anteng, ga kebanyakan ngarang cerita) yg naksir dia juga banyak. Kok ya bisa-bisanyaaa.. Anyway, itu bukan urusan saya.

Waktu berlalu. Sekarang si Miss A sudah menikah. Begitupun saya dengan suami. Tapi saya sungguh heran mendapati habit si Miss A tidak berubah.

Dia masih suka mengarang cerita soal suami saya yg kata dia dulu ‘blablabla’ sama dia. Lalala.. saya tidak terlalu peduli hingga suatu hari, menjelang lebaran, dia mengarang cerita yg menurut saya sudah menjurus ke arah adu domba suami istri. Disinilah saya mulai membencinya setengah mati.

Kali ini si Miss A mengarang cerita kalo suami saya mengajaknya berbuka puasa bersama di luar sepengetahuan saya. Waktu saya mengetikkan 1 kalimat “Oh iya?”, dia langsung semangat mengeluarkan kalimat-kalimat pengundang depresi seperti "Oh, kamu ga tahu ya? Aduh, maaf. Aku kira suami kamu cerita", atau "aduh, aku jadi ga enak nih. uhm.. nanti aku tanya suami kamu lagi aja", “Uhm.. atau kamu aja yg tanya. Aduh, aku beneran jd ga enak, nih” etc. Waktu itu pengen banget saya membalas “Aduh, kamu lucu banget sih mba, jadi pengen nabokin”. Hehe..

Well, pada waktu itu akhirnya saya memilih untuk segera memasang status “busy” dan tidak lagi menanggapi window messenger yg terus berkedip-kedip, tapi saya langsung marah-marah pada suami. Bukan menuduhnya ini-itu karena termakan omongan si Miss A tadi, tapi karena saya butuh tempat untuk ngomel panjang lebar sebagai pelampiasan agar saya tidak menyemprot si Miss A secara langsung atas nama sopan santun (selain males ribut sama orang gila). Suami saya tentu saja hanya tertawa. Dia malah membodoh-bodohkan saya yg gampang banget menjadi emosi, padahal saya sudah tahu bagaimana habbit si Miss A.

Saya tahu dan sepenuhnya sadar kalo saya bodoh. Membuang-buang energi untuk marah-marah dan sebel, bahkan sampai benci setengah mati sama orang gila. Tapi saya rasa kebanyakan perempuan yang ada di posisi saya akan melakukan hal serupa, ngomel-ngomel dan memaki-maki untuk menumpahkan kekesalan. Apalagi kali ini cerita si Miss A sudah menjurus ke arah adu domba. Itu yg membuat saya (bodohnya) jadi benci sama dia. Coba kalau saja saya belum tahu bagaimana ‘kondisi kejiwaan’ si Miss A. Ada kemungkinan terjadi percekcokan rumah tangga kan? Apalagi usia pernikahan saya dengan suami baru jalan 3 bulan.

Setelah emosi saya reda, saya jadi berpikir betapa mudahnya saya ter-provokasi dengan kegilaan si Miss A. Nyaris saja saya tertular jadi ikut gila (dengan ngomel-ngomel ga berujung). Benarkah semua wanita mudah ter-provokasi oleh orang-orang seperti Miss A, atau jangan-jangan hanya saya?

Btw, kalo dipikir-pikir saya jahat sekali ya memvonis si Miss A sakit jiwa. Hehe..

Sumber gambar : sxc.hu

Kamis, Oktober 15, 2009

Si Lajang : Karena Cinta, Perempuan Jadi Bodoh.

Saya harus ke dokter gigi. Alih-alih menuruti saran ibu saya untuk mendaftar dulu via telepon, saya nekad datang dan daftar di tempat, tokh selama ini, saya nggak pernah tuh lihat terlalu banyak pasien menunggu. Deuh, ternyata tempat praktiknya, rameeee. Bermasalah dengan gigi memangnya lagi musim yah? :)

Karena bosan menunggu, maka oh maka, saya pun memutuskan untuk membaca salah satu majalah yang tersedia di sana. Karena semua majalah berbau-bau politik, maka pilihan jatuh pada majalah perempuan nasional --- tapi bukan semacam majalah panduan bergaya hidup sangat konsumtif--- inisialnya K. (ada yang bisa nebaaak?)

Dalam majalah tersebut saya membaca satu kasus di mana seorang remaja, berusia sekitar 16 tahunan rela 'dijual' oleh pacarnya untuk berhubungan seksual dengan teman-temannya. Anjir, pra-remaja masa kini ya, mainannya! Parah.

Di artikel tersebut dibeberkan secara runut, bagaimana awalnya sang pra-remaja tersebut 'rela' diperlakukan demikian oleh sang pacar. Menurut pengakuannya, semua diawali oleh ajakan sang pacar untuk berhubungan seksual; remaja putri tersebut tidak mau, namun akhirnya sang pacar berhasil membuat remaja putri tersebut mau, tentunya dengan ancaman terselubung : bahwa kalau tidak mau, maka sang pacar akan meninggalkannya. Kesediaan sang remaja putri jadi semacam 'bukti cinta'nya pada sang pacar.

Nah sialnya, nggak cuma berhenti sampai situ saja, tapi sang pria dengan geblek-nya menawar-nawarkan si remaja putri pada teman-temannya. Sang remaja putri mau, karena (sekali lagi) takut kehilangan pacarnya. Aww, so sweet.... NOT!

Sumber dari semua ini adalah rasa ketakutan sang remaja putri kehilangan sang pacar. Miris waktu membacanya. Dan satu hal yang tersirat dalam benak adalah, perempuan ini bodoh. Atau untuk memperhalus, naif, lah. Tentu saja karena masih muda dan level pendidikannya pun belum terlalu tinggi (dia masih SMU), 'nalar'-nya nggak nyampe. Alih-alih menganggap dirinya lebih penting dari segalanya, ia malah memutuskan untuk melakukan hal yang awalnya tidak dikehendaki hanya agar tidak kehilangan sang pacar.

Sepulangnya dari dokter gigi, kebetulan saya harus bertemu dengan beberapa teman.

Semua sepakat dan mengatakan hal yang sama seperti yang saya pikirkan ketika selesai membaca artikel tersebut : Gila ya tu anak, bodo benerrr....

Sampai di sana topik berpindah, membicarakan sepak terjang teman-teman yang lain. Si Alya yang dapat beasiswa ke luar negeri. Si Benita yang kerjanya beranak lagi beranak lagi. Si Callista yang baru membuka bisnis unik.

Lalu pembicaraan tiba pada si Dina, yang setelah satu dekade putus-nyambung-putus-nyambung dengan pacarnya,akhirnya bertunangan juga. Setahu saya, pacar si Dina ini semacam pria-nggak-asik lah, punya kecenderungan untuk melakukan kekerasan secara psikologis. Dina pernah mati-matian diet dan olahraga karena dikatain 'Gendut', Dina sempat terisolasi dari pergaulannya, karena pacarnya memonopoli waktunya, Dina sempet stress karena selalu dicurigai dan dicemburui, bahkan setahu saya, sekitar sembilan tahun yang lalu, sewaktu pertama kalinya Dina balikan lagi dengan pacarnya, itu karena... sang pacar mengancam akan bunuh diri kalau ditinggal (And it's oh so lame)

Kami bilang Dina bodoh. Dan salah satu dari kami nyeletuk, tapi ya sudahlah, namanya juga cinta.

Lalu perbincangan lanjut pada Elsa. Perempuan yang berasal dari keluarga super mampu, sempat mengenyam pendidikan sampai jenjang S2, memiliki karir luar biasa --- eh menikah dengan seorang pria, yang kuliah S1 pun hanya sampai semester 1, dan... pengangguran. Mending cakep (ha! fisik!), tapi ini enggak! Mending juga punya karakter baik, nggak! Semacam pria-pria tak berguna tapi belagu gitu deh. But they got married anyway. Dan Elsa menjadi tulang punggung keluarga; kalau sudah gitu, mbok ya'o sang pria ikutlah berpartisipasi dalam kehidupan berkeluarga mereka. Eh enggak ya. :P

Kami bilang Elsa bodoh. Dan salah satu dari kami nyeletuk, tapi ya sudahlah, namanya juga cinta.

...

Sepulangnya dari pertemuan tersebut, saya berusaha mengingat-ngingat bagaimana saya kalau sedang jatuh cinta/sikap saya terhadap pasangan.

Well, yang pasti sih, kalau memang sedang jatuh-jatuhnya cinta *heyah!*, mendadak saya 'membutakan' diri saya untuk banyak fakta/hal, yang sebenarnya nggak sreg di hati, bisa jadi dari habitnya, bisa jadi dari cara dia bekerja, bisa jadi dari kelempengennya/ ketidakekspresifannya *er, curcol ajah ya belakangan ini*, bisa jadi dari perilaku teman-temannya dan seterusnya.

Lalu, jiwa pemaaf saya mendadak besaaaaaar sekali. Saya memiliki kecenderungan untuk memaafkan pasangan - telat, lupa telepon,lupa janji, pasti maaf saya lewat lah. Lalu saya mendadak jadi sangat pemaklum, dia emang orangnya gitu, jadi gue harus terima dia apa adanya. Pokoknya jadi fleksibel,lah. Pun jika telat-nya dan lupa-nya pasangan itu mengakibatkan jadwal harian saya amburadul, paling saya hanya ngambek dikit, dan sudah, begitu saja. Ada kecenderungan di diri saya untuk bilang 'Ya sudaaaah....'

Memang sejauh ini, saya fleksibel hanya untuk hal-hal yang tidak prinsipil. Tapi, bisa juga kan dikatakan bahwa ini adalah bentuk kebodohan? Soalnya, jika dipikir-pikir lagi, kalau yang melakukan itu adalah orang lain, tentu saya nggak segitu pemaafnya, segitu pengertiannya, segitu fleksibelnya. Yup,aslinya, saya benci banget kalau ada orang yang merusak jadwal/hal-hal yang berkaitan dengan saya karena kelalaiannya.

Jangan-jangan, memang semua perempuan mendadak 'bodoh', kalau sedang jatuh cinta. Tanpa peduli umur dan tingkat pendidikan. Buktinya bukan remaja putri yang masih SMA saja yang 'bodoh', tapi juga Dina dan Elsa. Dan... saya!

Bagaimana dengan anda?;-)

gambar ilustrasi oleh aznswt33 untuk sxc.hu

Minggu, Oktober 04, 2009

Si Lajang : Gonta-ganti Pantyliners Pacar

Ceritanya beberapa waktu yang lalu saya dan seorang teman jalan-jalan di sebuah mall di Bandung. Niat saya mengganti kacamata, niat teman saya, er..menemani saya mengganti kacamata.

Setelah urusan perkacamataan beres, dia mengajak saya ngupi-ngupi bergaya di salah satu warung kopi kapitalis berinisial S.T.A.R.B.U.C.K.S yang ada di mall tersebut. Kami mengobrol panjang lebar mengenai banyak hal sambil menikmati susu yang dinodai kopi (well, maksudnya latte gitu). Di tengah-tengah obrolan mendadak teman saya ini menghentikan kalimatnya, lalu menjulurkan kepala ke arah pintu masuk.

"Apaan?" tanya saya sambil menoleh ke arah matanya memandang. Di sana tampak sepasang remaja yang bergandengan tangan super-mesra memasuki warung kopi ini.
"Ponakan gue." jawabnya.
"Oh." saya membalas,"Terus?"
"Nggak apa-apa..."

Kemudian kami melanjutkan mengobrol lagi. Tak berapa lama, teman saya mendadak tersenyum. Saya jadi menoleh kembali, sepasang remaja tersebut mengarah ke meja dekat kami.

"Eh, tante..." sang remaja putri terkejut.
"Halo,Vien." jawab teman saya.

Saya bisa membaca bahwa ia malas-malasan menghampiri kami. Mungkin kalau sebelumnya ia tahu bahwa tantenya --- teman saya ini --- ada di tempat ini, ia akan lebih memilih untuk menyambangi warung kopi lain.

"Udah lama,Tante?" katanya basa-basi.
"Lumayan." jawab teman saya.

Jeda.

"Eh,iya, kenalin, ini...ngng... pacar saya..." keponakan teman saya memperkenalkan sang cowok yang berdiri super canggung.
"Riza." kata sang cowok sambil menjabat tangan teman saya--- dan teman saya pun menyebutkan namanya.

Jeda.

"Eh, silahkan lho,kalau mau lanjut..." kata teman saya.

Jelas sekali keponakan kawan saya itu merasa lega.

"Kita ke sana, ya Tante..." katanya sambil menarik sang pacar ke arah yang berbeda.
"Yuk.. salam ya buat Mami di rumah."

Dan mereka pun berlalu. Teman saya kembali berkonsentrasi pada saya.

Ia menggelengkan kepala.

"Apaan?" tanya saya.
"Anak muda jaman sekarang ya..." katanya sambil menggantungkan kalimat.
"Apaan sih?"
"Perasaan minggu lalu pacarnya bukan yang ini deh..."
"Ya terus kenapa?"
"Terus bulan lalu,pacarnya juga beda. Dia ganti pacar seminggu sekali gitu kali ya?" ia mengernyitkan kening"Duh, dia tuh, ganti pacar sesering ganti pantyliners ..."

Lebay. Katakanlah keponakan teman saya itu berganti pacar seminggu sekali; saya nggak bisa membayangkan apa jadinya kalau saya berganti pantyliners seminggu sekali. Keputihan akut kali.

"Ya biar aja lah, namanya anak muda..." kata saya.
"Iya sih, tapi tu anak udah diomongin gitu sama keluarga besar. Omongannya rada negatif."

Well, saya bisa ngebayangin gimana omongan negatif tentang cewek yang sering berganti pacar. Antara playgirl, gampangan, agresif atau yang paling parah, murahan. Pokoknya nggak baik aja!

'Jangan gonta-ganti pacar melulu, sama satu orang aja. Perasaan orang dulu tuh belasan tahun pacaran, terus menikah aja. Ora ilok perempuan gonta-ganti pacar, kesannya negatif.'

Gitu deh, katanyaaa...

'Ya namanya pacaran, harusnya sih, saling bertoleransi, jangan kalau nggak cocok dikit, udahan...'

Gitu juga katanya.

Iya, tau, namanya juga dua orang berbeda latar belakang yang mencoba bareng-bareng dan mencoba untuk berhubungan lebih mendalam,pasti bakal menemukan banyak hal yang berhubungan dengan 'asli'nya pasangan. Pacaran itu adalah ajang untuk latihan saling menyesuaikan diri... TAPI kalau ternyata 'aslinya' tidak bisa ditolerir dan membahayakan, apa kabar? Abusif misalnya.

Duh, masa sih harus dipertahankan? Dan masa juga dipertahankan hanya demi menghindari image negatif?

Nggak deh.

Lagipula, keponakan teman saya itu masih ABG ya bok. Seingat saya, di masa ABG, saya sering salah 'mengartikan' perasaan, sering banget cinlok. Baru kenal sebentar, tapi begitu 'merasakan' getar-getar aneh *tsaaah bahasanya!*, langsung hayuk saja begitu ditembak. Saya sama sekali tidak mencoba menilik lebih jauh lagi ini-itu tentang gebetan saya. Pokoknya kalau orangnya (berasa) asyik (saat pedekate yang seumur jagung), jadian!

Dan di saat remaja itu, karena nggak benar-benar kenal, begitu jadian, saya baru menemukan bahwa saya mengambil keputusan yang salah; ternyata si pacar jelesan. Ternyata abusif. Ternyata nggak segitu nyambungnya. Ternyata ini dan ternyata-ternyata lainnya yang bikin kehidupan saya nggak hepi. Well,saya sih,daripada nggak hepi mending putus, duh, masih remaja kok hidup harus susah, apalagi kalau gara-gara cowok.

Terus terang, sampai saat ini saya merasa, ya nggak apa-apa juga gonta-ganti pacar, selama gonta-gantinya karena ketidakcocokan, bukan karena gatelan saja. Hehe. Namanya juga lagi masa penjajagan, sebelum menjalani hubungan yang komitmennya lebih kuat, boleh dong memilih-milih yang terbaik? Daripada entarnya terjebak dengan orang yang salah?

Soalnya saya rasa nggak semua orang 'seberuntung' orang dulu --atau mungkin juga ada orang sekarang --- yang mendapatkan pasangan 'langsung cocok' sampai menikah.(Uhm, jangan-jangan, sebenarnya bukan 'beruntung' juga, tapi daripada dicap jelek, mending dipertahankan? Siapa tau kan? hehe)

"Ya nggak apa-apa lah,keren ponakan lo, laku." kata saya sambil terkekeh.

sumber gambar : sxc.hu

Jumat, Oktober 02, 2009

Lajangdanmenikah Jalan-jalan : Batik One Day Project

Hari ini, rasanya begitu mudah menemukan orang-orang yang memakai batik. Well, iya sih, memang ada orang-orang yang di tempatnya beraktivitas memakai batik di hari Jumat, tapi kayaknya, kalau hari-hari biasa, yang pakai batik nggak akan sebanyak ini.

Agen Lajangdanmenikah.com yang ada di Bandung (haha, agen? kayak koran ada agennya) mendadak iseng turun ke jalan, dengan maksud 'menangkap' mereka-mereka yang memakai batik. Tempat yang kami satroni (Ya ampun, satroni, sungguh istilah jadul...) adalah Ciwalk alias Cihampelas Walk, sebuah mall bernuansa pedestrian yang berada di bilangan cihampelas. Alasannya adalah... ya karena kami suka saja tempat itu. Hehehe.

Seru juga berburunya --- agak canggung juga menegur orang yang tidak kami kenal, tapi berbekal muka tebal, maka kami pun memberanikan diri menghampiri, memanggil dan menahan serta mengajak ngobrol buruan kami. Awalnya ada beberapa yang kaget, tapi semuanya bersikap ramah dan memperbolehkan kami untuk mengambil foto mereka. Dari hasil bertanya-tanya, sebagian besar, mereka memang khusus memakai batik (siang-siang) di tanggal 2 Oktober ini, sedangkan di hari-hari biasa, bisa dikatakan jarang. Ada juga yang memakai batik karena tempatnya bekerja mewajibkan karyawan memakai batik tanggal 2 Oktober.

"Biasanya kalau ada hal-hal khusus saja, misalnya harus presentasi." kata Nurul.

Berbeda kasusnya dengan Sarah, "Sebenarnya nggak ngaruh, karena tiap hari jumat, di kantor emang wajib pake batik."

Anyway, inilah hasil perburuan kami.

Marina dan Fian yang kamu temui di dekat tempat sholat.

Nurul, mahasiswi farmasi ITB



Sarah, karyawati BRI
Dita, Anggun dan Mima,mahasiswi Psikologi UNPAD


Yulis,karyawati Century


Iwan dan Shinta, staf Yogya Department Store


Teman-teman dari Starbucks

Dan ini... errr ... kami. (maab,jiwa banci tampil tak tertahankan)
Anyway, apakah anda memakai batik hari ini? Berminat untuk berbagi foto outfit? Silahkan post outfit batik anda hari ini di blog masing-masing dan tinggalkan tautan di commenting system entri ini, atau entri sebelumnya.

Sekarang, menunggu Agen lajangdanmenikah.com di Jakarta! *wink*

Kamis, Oktober 01, 2009

Pakai Batik :)

Tanggal 2 Oktober 2009 mendatang Lembaga PBB untuk Pendidikan, Sains, dan Budaya (UNESCO) bakal menetapkan batik sebagai warisan budaya dari Indonesia (the world cultural heritage of humanity from Indonesia).

Dari Kompas.com

Sebenarnya memakai 'batik' sebagai outfit harian bukanlah hal yang asing bagi beberapa orang, namun berhubung besok bisa dikatakan 'hari spesial', nggak ada salahnya kalau kita ikutan rame-rame pakai batik. Ya daripada rame-rame menghujat negara yang menjiplak, mendingan yang seneng-seneng aja. Hehe.

So,sudahkah anda menyiapkan pakaian batik anda untuk dipakai besok? Kami sudah --- dan besok kami akan memajang apa yang kami pakai di sini. :D

Dan, untuk kalian yang memakai batik besok, dan tidak berkeberatan untuk memfoto kalian, dan ingin share dengan teman-teman,boleh lho, kalian post di blog masing-masing dan ninggalin tautan blog post yang memuat foto kalian di commenting system entri yang ini.
Blog Widget by LinkWithin