Kamis, Agustus 27, 2009

Si Menikah: Tell me you love me...

"You should try it, tell your husband and child that you love them. Everyday," kata seorang love firm-believer yang tidak lama kemudian menjadi atasan saya kepada saya beberapa minggu lalu.

Terus terang saya agak ragu. Apakah cinta masih perlu diucapkan? Apakah tidak cukup dengan melihat apa yang kami lakukan (baca: korbankan) demi satu sama lainnya?

Terakhir saya mengatakan tiga kata ajaib itu kepada suami saya adalah sewaktu kami belum menikah. Biasa, masa pacaran kan romansanya masih yang luar biasa berapi-api. Setelah menikah, mungkin karena puya anggapan "Ah udah milik ini lah," maka sudah dianggap tidak perlu lagi yang namanya bilang I love you itu tadi.

"But hey, why not start it now?" sambung beliau itu lagi. Saya berpikir, ya kenapa tidak dimulai lagi saja.

Pulang dari perjumpaan saya dan beliau, saya meng-SMS suami saya.

"Love you, bebe." Tidak ada balasan. Pun sewaktu dia pulang dari kantor, seperti tidak terjadi apa-apa. Kapok? Ha, bukan kebiasaan saya itu sih. Besoknya saya SMS lagi. Lagi. Dan lagi. Kemudian beberapa hari kemudian saya beranikan diri untuk mengucapkan secara lisan.

"I love youu...," kata saya dengan suara manja. Suami melirik. Menyeringai bingung. Dan kembali menekuni Discovery Channel.

Saya masih belum kapok. Karena saya menyadari satu hal penting. Ketika CINTA itu diucapkan, maka hati akan membenarkan. Semakin saya mengucapkan kata CINTA, semakin saya mengasihi keluarga saya.

Dan walaupun belum mengatakan secara lisan, suami saya pun sepertinya merasakan hal yang berbeda. Dulu kami (baca: dia) buakan penggemar PDA. Public Display of Affection. Sekarang tiap ke mana-mana, suami pasti akan menggandeng saya, memeluk bahu saya. Senang!

Dan kemarin siang saya mendapat SMS dari dia, "Kangen kamu. I love you." YES!

Dengan anak kami prosesnya lebih mudah lagi. Tidak perlu berhari-hari sampai dia mau mengucapkan LOVE itu. Cukup sekali, dia langsung memeluk saya dan berkata, "I love mama.." So sweet...

Jumat, Agustus 21, 2009

Cerita Kiriman: (setengah) lajang dan (setengah) menikah

Yup, that’s me!

Seingat saya, Saya selalu ingin menikah muda sejak SMP. Jangan tanya kenapa dan bagaimana bisa karena sebenarnya saya sendiri tidak tahu, yah mungkin karena ingatan manusia (baca: saya) seringnya tidak bisa menjangkau masa yang terlalu jauh di belakang dan tidak terlalu dramatis. Tapi kalau saya tahu efeknya pada kehidupan saya sekarang, saya pasti akan sangat mengingat alasan kenapa saya ingin menikah muda.

Mungkin… ini karena orang tua saya. Ibu saya menikah saat dia berusia 19 tahun (saat itu ayah saya berusia 29 tahun), lalu dia melahirkan kakak saya di usia 20 tahun, melahirkan saya di usia 22 dan adik saya yang paling kecil di usia 27. Saat kami – seluruh anak gadisnya – menginjak remaja, ibu saya terlihat seperti kakak saya yang paling tua. Walaupun tetap ada gap pemikiran (tentu saja! dia ibu dan saya anak kan?!?) tapi dia termasuk ibu yang sangat mengerti anak-anak gadis abege-nya ini.

Melihat rumah tangga orang tua saya, saya selalu berpikir kalau menikah muda itu menyenangkan. Ibu saya adalah seorang full time wife and mother, ayah saya pekerja di sebuah perusahaan yang memonopoli penyediaan listrik negara (kenapa sih ga bilang PLN aja?!), kami –anak perempuannya- juga punya prestasi yang cukup membuat orang tua saya bahagia dan moral kami juga baik, pokoknya semuanya serba keluarga bahagia versi jendela rumah kita, rumah masa depan, atau yah sinetron keluarga macam itulah.

Setelah cinta-cinta monyet masa SMP dan di awal-awal SMA, akhirnya sayapun jatuh cinta pada kakak kelas yang usianya dua tahun lebih tua dari saya, masa pacaran itu berlanjut terus sampai saya kuliah tingkat satu.

Empat tahun berpacaran, kekasih saya saat itu sudah lulus kerja dan bekerja di perusahaan milik orang tuanya sendiri (oh, saya belum bilang ya kalau pacar saya saat itu termasuk golongan “the man who has everythin, tapi setidaknya sekarang sudah tahu kan…) lalu mulailah “wejangan” dari orang tua yang…” sudah empat tahun pacaran, mau ngapain lagi?” dan “jangan kelamaan pacaran, nanti ada apa-apa” dan juga, “menikah itukan ibadah, kenapa harus takut? Udah yakin kan? Atau masih mau cari yang lain?”

Saya dan sang pacar saat itupun berpikir, “Ini sama sekali bukan ide yang buruk, malahan sangat baik…” dan dengan niat baikpun kami menikah.

Sangat benar kalau lajang dan menikah sama senangnya, sama repotnya. Tapi untuk saya saat itu, pernikahan bukan sebuah hal yang saya asumsikan dengan kebahagiaan apalagi cinta. Saat itu yang ada adalah permasalahan, air mata dan rasa sakit. Ya, ternyata masa pacaran hampir lima tahun tidak jadi jaminan kalau pernikahan akan bertahan lama dan cinta serta niat baik saja jauh dari cukup. Permasalahan yang dulu ada saat pacaran dan terlupa begitu saja karena rasa rindu, rasa takut ditinggalkan dan rasa tidak mau sendirian, kini jadi sangat sulit untuk dipecahkan. Apalagi saat anak kami lahir, anggota keluarga baru yang harusnya menjadi sumber kebahagiaan baru malah menjadi sumber rasa sakit dan masalah yang baru.

Akan butuh satu buku – yang depresif- kalau saya harus menceritakan masa pernikahan. Yang pasti, saya kemudian mengambil langkah untuk bercerai. Dengan wajah tegak dan hati yang dikuatkan dengan doa, saya mengurus segala urusan perceraian dan memperjuangkan pengasuhan anak, tanpa menuntut harta gono gini, tanpa meminta tunjangan ini itu.

Masa berlalu, dan inilah saya 7 tahun kemudian. Perempuan berusia 27 tahun dengan seorang anak laki-laki berusia 8 tahun yang terbiasa untuk hidup hanya dengan maminya yang (setengah) lajang karena tak punya partner hidup namun juga (setengah) menikah karena tetap hidup dengan tanggung jawab, kewajiban dan tentunya juga kebahagiaan seorang wanita yang sudah menikah.

Sekarang saya sering berpikir tentang saat dimana saya melajang dan juga saat dimana saya menikah. Pernah terlintas, kenapa saya tidak memilih untuk melajang lebih lama? Mungkin saat ini saya baru akan heboh mengurus pernikahan saya setelah sebelumnya menikmati masa muda bersama teman-teman saya. Mungkin saya kuliah lebih tinggi (walaupun sekarang saya juga lulusan dari Universitas Indonesia dengan IPK nyaris sempurna), mungkin saya bekerja lebih keras dan karir saya lebih tinggi.

Atau seharusnya saya berjuang lebih keras mempertahankan pernikahan saya, seharusnya saya bersabar, seharusnya saya percaya kalau orang akan berubah. Mungkin saat ini saya sudah mencapai impian terbesar hidup saya, menjadi istri, ibu rumah tangga dan penulis!

Tapi kemudian saya mengerti kalau segala sesuatu terjadi karena alasan dan selalu ada hal indah dibalik segalanya. Kalau saya memutuskan untuk tidak menikah, mungkin saya akan mengalami masa muda yang bergejolak dan penuh tawa, tapi saya tidak akan memiliki anak laki-laki yang kini jadi alasan saya untuk tetap berjuang dan tersenyum.

Kalau saya memutuskan untuk tetap menikah apapun alasannya, mungkin sekarang saya sedang menjadi pecandu kopi untuk meredakan beban pikiran (dulu saya sempat begitu), kurus karena tidak pernah napsu makan dan terus menerus merasa tidak bahagia. Mungkin saya tidak akan bekerja di tempat saya bekerja sekarang dimana saya bisa bertemu banyak orang-orang luar biasa yang menginspirasi hidup saya. Dan saya tidak akan pernah menyadari satu kalimat dengan pasti, “cobaan, rasa sakit, kekecewaan, apapun itu, kalau itu tidak bisa membunuh kamu, itu hanya akan membuat kamu makin kuat”

Saya telah memilih jalan hidup saya. Saya pernah menikmati senang dan repotnya jadi lajang dan juga hidup dalam sebuah pernikahan, dan kini saya sedang menjalani masa saya sebagai si (setengah) lajang dan (setengah) menikah. Sedikit lebih berat memang, saat tak ada pendamping sementara sang anak harus masuk rumah sakit (bahkan masuk sekolah pun cukup menegangkan bagi si setengah lajang dan setengah menikah), saat orang-orang senang menjadikan kita bahan diskusi atau obrolan di sela minum kopi atau saat ingin mendiskusikan kemana langkah saya akan dibawa (tentunya bersama seorang anak kecil dalam genggaman tangan).

Masa lajang dan menikah, sama senangnya, sama repotnya dan juga sama – sama harus disyukuri nikmatnya. Saya mungkin tidak akan pernah lagi bisa merasakan masa melajang, tapi saya tidak sabar untuk bisa menikmati lagi senang dan repotnya menikah. Saya tidak trauma kok, dan saya percaya Tuhan akan mengizinkan saya bahagia dalam pernikahan, satu kali lagi.

Picture credit : svilen001. Taken from : http://sxc.hu

-amila si (setengah) lajang dan (setengah) menikah-

Minggu, Agustus 16, 2009

Si Menikah Cecil : Chopper dan Onion Slicer.

Gue lagi di rumah Mami. Ibunya Chris, suami gue. Gara-garanya satu saat sekitar dua mingguan yang lalu, Mami nelepon dan katanya ngerasa kesepian. Emang kelamaan juga sih, gue dan Chris nggak sowan ke Mami. Sementara Mami cuma tinggal bedua dengan Grahito, cucunya, anak kakak pertama Chris yang kuliah, sebagai pria muda jaman sekarang, Grahito jarang banget ya di rumah. Sementara anak-anaknya bertebaran di seluruh penjuru , dan yang paling memungkinkan untuk lebih sering berkunjung adalah Chris. Jakarta - Bali mah nggak jauh kalau dibandingkan Papua - Jakarta, Makassar-Jakarta, Singapore-Jakarta dan Los Angeles - Jakarta.

Jadi atas usul gue, kami berdua mengambil cuti dalam waktu yang nyaris berbarengan.

Wih, Mami senang banget lho, waktu kedatangan kami berdua, dengan cerianya dia langsung mengatur menu harian buat kami. FYI, Mami jago masak banget. Semua makanan yang dimasaknya, selalu enak. Pokoknya most likely, berat badan gue dan Chris nambah aja kalau seminggu di rumah Mami.

Anyway, walaupun Mami nggak minta, gue selalu dengan sukarela mengajukan diri untuk membantunya masak, walaupu kalau dipikir-pikir lagi, bantuan gue seringnya sungguh kecil :)

Kalau sudah di dapur , gue sering takjub dengan tenaga Mami. She cooks in 'jadul way.

Beliau ngiris bawang merah pakai pisau sambil berurai air mata. Kalau sudah begini gue nggak tega, jadinya aja gue-lah yang menawarkan diri untuk memotong-motong (dan sambil menangis berurai air mata bak tokoh protagonis dalam sinetron yang dizhalimi, gue kepikir, betapa enaknya kalau memotong pakai onion slicer, masuk-masukin bawangnya dan putar tuasnya. Voila! Jadilah potongan tipis bawang.)

Beliau ngulek bumbu pakai cobek dan ulekan. Kalau sudah begini, dengan berat hati (jujur gue bok!) gue bantuin beliau ngulek (dan sambil merasa pegal, gue berpikir; she needs a chopper, masukan semua bahan dan tekan tombolnya. Tadaa... bahan-bahan pun halus.)

Beliau memeras santan dengan tangan sendiri (dan gue mikir, kenapa nggak beli santan instan aja sih?)

Caranya memasak benar-benar buang waktu.
....

Dan being a good daughter in law, tanpa mengajak Chris, gue pun berinisiatif membelikan Mami dua alat yang gue pikir Mami butuhkan : chopper dan onion slicer.

"Ini buat mami," gue membuka kotak onion slicer,"....buat ngiris bawang. Jadi Mami nggak usah nangis-nangis lagi, tinggal kupas bawang, masukin, terus puter tuasnya. Udah deh jadi..."

Mami tersenyum.

Dan gue pun melanjutkan,"Kalo yang ini, macem-macem, bisa ngehalusin bumbu, cincang daging dan macem-macem."

"Makasih ya Cil,"Mami masih tersenyum. Dia memandang dua alat tersebut.

Gue menoleh sejenak pada Chris yang tersenyum dikulum. Sementara gue ngerasa bangga karena merasa bahwa gue telah membuat Mami senang.

"Sini deh, aku kasih liat cara pakenya." kata gue, sambil menggandeng lengan Mami.
"Mami pernah punya dua-duanya, Sil."
"Oh..." gue terduduk kembali,"... terus kenapa nggak dipake?"
"Mami ngerasa nggak afdol masak pake alat-alat ini. Berasa nggak masak. Lagian, kata Mami sih, kalau pake alat listrik gini buat ngalusin bumbu, masakannya jadi nggak enak. Kamu tau nggak, cobek dan ulekan itu bisa ngasih rasa sendiri di makanan."

Errr....

Gue menoleh pada Chris. Senyumnya semakin dikulum.

"Tapi, terima kasih, Sil, atas perhatiannya." Mami menepuk bahu gue, mungkin beliau melihat gurat kecewa di wajah gue.

.....

Iya, gue memang nggak segitu kenalnya dengan Mami. :) Dari sini gue sadar, bahwa Mami itu berbeda banget dengan gue. Mami itu semacam ibu-ibu konvensional jaman dulu, tipikal ibu-ibu yang membaktikan diri sepenuhnya pada (kebutuhan) keluarga. Dan sungguh sangat total dalam melakukan itu, dia bilang, pekerjaan rumah tangga itu memiliki seni tersendiri dan harus dilakukan dengan cara khusus.

Totalitas Mami tercermin dari cara Mami masak. Mami punya kecenderungan untuk mengabaikan keberadaan alat-alat dan benda-benda yang selayaknya bisa membuat cara kerja rumah tangga menjadi lebih praktis. nggak pol, nggak afdol-menurutnya . (BTW, gue baru tau, semua hadiah chopper, blender, bahkan onion slice bahkan rice cooker hadiah dari anak-anaknya, lewat --- nggak ada yang kepake.

Sementara gue, sebisa mungkin memilih semua alternatif cara yang sekiranya bisa menghemat waktu gue. Bahkan, kalau sedang nggak sempat, gue beli makanan. Maklum, gue kan kerja *ngeles*

Yah, pepatah 'Progress means simplifying, not complicating' dari Bruno Munari, mentah bo, di Mami.

Nggak apa-apalah, yang penting Mami senang. Dan kami tetap makan enak. *loh?*

Hail, Mami aja lah pokoknya!

Sumber : sxc.hu

Sabtu, Agustus 15, 2009

Interview : 95,6 FM Radio-B Ardan Continued Bandung


Karena sudah kelamaan berada di Bandung, maka Nita pun pulang. Padahal hari Sabtu, 15 Agustus 2009, ada promo talkshow di 95,6 FM Radio-B Ardan Continued Bandung. Susah yah, kalau sudah menikah sih, bawaannya inget rantang di rumah *dumdidum*.

Anyway, akhirnya cuma Okke sendiri yang membanci tampil di sana.

Yah,ternyata dunia itu memang selebar celana kolor daun kelor, ternyata Mia Sugiat, penyiar hari itu adalah istri dari Intan, temen kuliahnya Okke.;-) Jadilah, di sela-sela talkshow, terutama saat iklan dan lagu, mereka ngobrol-ngobrol :)

Dalam setiap talkshow, pasti aja ada satu pertanyaan yang sering muncul, yaitu : enakan single atau enakan menikah sih? (dan mostly nanya tips juga sih)

Well, dari judulnya, Lajang dan Nikah : Sama Enaknya, Sama Ribetnya, seluruh tulisan di dalamnya cuma memaparkan banyak kejadian umum yang sering terjadi pada si menikah dan si lajang,yang asik-asiknya dan yang ribet-ribetnya. Bahwa single dan menikah itu cuma stage of life, dan setiap stage of life (bahkan SD, SMP,SMU kuliah etc), ya ada keribetan sendiri, dan kesenangan sendiri. Jadi nggak ada yang lebih enak, nggak ada juga yang lebih nggak enak. Sama ribetnya, sama enaknya.

Rabu, Agustus 12, 2009

Baraya Blogger, 12 Agustus 2009

'Aku suka banget sama cerita Lajang dan Nikah!" ujar Nadia saat sesi tanya jawab dalam talkshow Baraya Blogger, Ruang Putih Bandung pada hari Rabu,12 Agustus 2009.

Jeda sejenak.

Kemudian, Nadia melanjutkan pertanyaannya"Dari mana sih, dapat ide nulis cerita di Lajang dan Menikah?"

Well, banyak yang 'menuduh' bahwa cerita-cerita yang ada di blog ini adalah pengalaman pribadi, dan kami hendak mengklarifikasi : EMANG!

Maksudnya, memang cerita-cerita yang ada di blog ini, adalah pengalaman pribadi kami sendiri, pengalaman pribadi teman-teman sekitar, bahkan pengalaman pribadi orang-orang yang kami nggak kenal tapi kebetulan,tanpa sengaja 'kekuping' oleh kami.Ada juga yang browsing sih, terutama browsing di situs-situs yang berkaitan dengan masalah keperempuanan.

Glad you like our stories, Nad.

(kredit foto dimiliki oleh Bagus Rully. Aish, betapa banci fotonya kami....sempet ya, lagi di panggung cengar-cengir ngadep kamera. Dooh!)

Anyway, acara book promo seminggu ini sebenarnya nggak padat-padat amat, tapi entah kenapa rasanya kok capeeeeek banget. Badan sakit semua kayak dilindes panser.

Oh ya, buat yang mesen personalized autographed edition buku kami, sudah terkirim ya, kemarin, maaf terlambat sehari dari waktu yang dijanjikan, soalnya tepar boook...


Bonusnya berupa pin dengan desain seperti ini :


Enjoy! ;-)

Senin, Agustus 10, 2009

Interview di PR FM 107, 5 FM Bandung

Kali ini, ada yang spesial dari promo interview Lajang dan Nikah! Filltico, sebagai band yang membawakan so-called soundtrack website ini, tampil live, bok! Padahal mereka harus manggung di tempat lain,yang waktunya cuma beda-beda tipis dengan waktu siaran, jadi agak rusuh dan juga gak degdegan, apalagi pas ternyata lampu mati. Untung cuma 5 menitan. Kalau lebih, yuk mari, mereka kepaksa nggak main,soalnya bakal telat untuk dateng ke tempat manggung mereka. Terima kasiih, guys! Oh iya, anggotanya sebenarnya 4 orang, tapi David si pemain perkusi,terpaksa ditinggal, manteng di tempat manggung berikutnya. He-he-he. So yang 'tersisa adalah : Danto, Toto dan Arie.

Oh ya, ini dia penyiar yang mewawancara kita :Nensi (foto dicolong tanpa bilang-bilang dari facebooknya)


Thank you, Kang Opick, Nensy dan kru PRFM, juga Mas Luvi dari Andi Publishing.




Dan, pulangnya...ditilang. Kamfret.

foto yang lain di sini.

Sabtu, Agustus 08, 2009

Interview di MGT 101,1 FM Bandung dan Booksigning di Pameran Buku IKAPI

Interview di MGT 101,1 FM seru, soalnya penyiarnya, Harrna, rameee. Ketawa-ketawa aja gitu, nggak berhenti. Dan ketawa-ketawa sintingnya, berlanjut pas kita ngobrol dengan Jeung Aiko, program Directornya yang cacat.

"Apa ada alasan tertentu kenapa yang menikah harus terlihat menikah?" tanyanya. :D

Dan, hari itu dilanjut dengan booksigning. Hari yang melelahkan, tapi menyenangkan. Saking capeknya, mau bilang booksigning aja jadi bookshining. Doh. Lidah kepleset.

Thanks for coming guys.Oh ya, ini kita sempat berbanci foto sebelum acara bookshining *sengaja*nya mulai.

Senin, Agustus 03, 2009

Personalized Autographed Edition

Hai haiiiii...

Denger-denger banyak yang kesulitan ya buat ngedapetin buku kami?

Nah untuk mengatasi hal itu (bahasanya!), kami membuka penjualan lewat situs ini. Plus dapet tanda tangan juga loh hehe.

Mau pesan, gampang banget.

Tinggal email ke lajangdanmenikah@gmail.com dengan subyek "PESAN BUKU"

Cantumkan di dalam email tersebut data di bawah ini:

Nama Pemesan:

Nomor telepon:

Alamat pengiriman:

Nomor telepon pengiriman:

Buku ditujukan untuk (kalau mau dikasihin ke orang lain):

Jumlah buku yang dipesan:

Harga per eksemplar Rp. 30,000 saja. Di luar ongkos kirim ya.

Nanti kami akan membalas email kamu dengan jumlah yang harus ditransfer dan ditransfer ke mana.

Ditunggu pesanannya loh :)

Oh ya, edisi ini cuma kami buka dari hari ini tanggal 3 Agustus sampai tanggal 8 Agustus ya. Jadi buruan mumpung stok masih ada ;)

Catatan : Semua pengiriman dilakukan dari BANDUNG. Menggunakan TIKI JNE. :)

Minggu, Agustus 02, 2009

The Interview : 'Apa Kabar Indonesia' TV One, Minggu, 2 Agustus 2009


Ini kenapa sih ketawa-ketawa heboh gini? Lupa lagi ngomongin apaan.
Anyway, it was fun. Thanks for the opportunity, guys! :) More pictures here.
Untuk rekaman wawancaranya, semoga bisa diminta yah,ntar dimasukkin ke youtube. ;-)

Sabtu, Agustus 01, 2009

Cerita Kiriman Pembaca : The Chef

Aku menatap cermin. Good, you’re just look like ninja, Dinari! Kataku dalam hati. Baju lengan panjang, kaos tangan kulit punya Guruh-suamiku-dan scarf Armani oleh-oleh papa dari Milan yang kuikat menutupi setengah wajahku. Sorry pap, tapi aku memang gak pernah suka sama motifnya. Well, I guess I’m ready. Kutarik napas dalam-dalam dan kulangkahkan kakiku. Pelan-pelan kunyalakan apinya, dan ketika semakin panas, kurasakan tetes-tetes keringat mulai membanjiri. Oke, rileks Dinari, you can do it! Aku ambil tupperware di atas meja, kutuang isinya, dan langsung meloncat ketika mendengar suara “Sreeeeeeeeeeeng….” dari penggorengan. Nyaring sekali, dan oh percikan minyaknya begitu banyak, sampai-sampai aku tidak berani mendekat. Apalagi kemudian terdengar suara-suara letupan dari ayam yang kugoreng , sangat menakutkan. Makin lama, makin banyak percikannya dan semakin nyaring letupannya. I’m scared, I admit it. Dan Setelah suara percikan dan letupan mereda, aku mulai mendekat, dan langsung kumatikan apinya. Dengan takut-takut aku mulai membalik ayamnya, dan …gosong aja gitu ayamnya, sementara sisi sebaliknya masih mentah. Aku menghela napas, Honey kayanya malam ini kamu akan makan spaghetti bolognaise lagi.

Berawal dari status. Status facebooknya Guruh maksudku. It quite irritated me.

Guruh Satyawardana : Mom, you’re still the best chef, ever!

Apalagi teman-teman kami mulai berkomentar macam-macam, dari testimoni teman-teman Guruh yang memuji kepiawaian nyokapnya Guruh dalam memasak, ungkapan kekangenan sepupunya sama masakan nyokapnya. Dan tidak ketinggalan temen –temenku yang menyindir ketidakbecusanku di dapur. Aku sih cuma berkomentar singkat:

Dinari Andarany : @winda, eka, marina, teguh, lo tau kan gue ratunya tempat tidur, bukan di dapur ;p

Weekend kemarin aku sama Guruh menginap di rumah orangtua Guruh di Cibubur. Dan memang, Bunda Alya, nyokapnya Guruh bener-bener memanjakan lidah kami. Dari semur lidah, iga panggang, gurami asam manis, termasuk sambel goreng hati pete favoritnya Guruh terhidang di meja makan. Belum lagi camilannya, Bunda bikin Kroket, baked potatoes, chicken wings. Haduh pokoknya maknyus gila. Bayangkan aja selama 2 hari penuh 3x makan dalam sehari menunya beda-beda terus. Yang hebatnya lagi, kayanya Bunda tuh gak kelihatan repot meskipun hampir 3 jam sekali masak. Masaknya pun cepet banget, kayanya cuma sreng-sreng-sreng, plung-plung-plung, jadi deh, gak lama gitu masaknya. Kalo aku? Hehehe, aku memang kurang enjoy di dapur, kayanya kok repot, ribet, panas, apalagi kalo soal goreng menggoreng, gak bisa banget. Buktinya ya ayam gosong itu tadi. Sebenarnya bukan sekali dua kali aku mencoba untuk masak, dulu waktu trying to impress Guruh, untuk pertama kalinya aku masuk dapur.

Setelah berkonsultasi sama Nitya, bestfriend of mine, dia menyarankan aku bikin spaghetti bolognaise, gampang bgt masaknya. Cuma tinggal beli spaghetti, daging cincang, bumbu spaghetti botolan, saus tomat, sama keju, aku bahkan gak perlu ngiris-iris bawang,karena rasa bumbu botolannya udah oke banget menurutku. And I did it, Guruh terpesona. Dan akhirnya spaghetti bolognaise selalu jadi menu andalanku kalo lagi pengen manjain Guruh. Soal bosen sih, itu urusan dia, hehehe, yang jelas aku selalu ngeles dengan bilang…”Sayang, aku lagi pingin nostalgia masa pacaran niy, jadi aku bikinin spaghetti bolognaise …” alasan itu udah 3 kali aku pake selama 9 bulan ini kami menikah. Dan malam ini akan jadi keempat kalinya.

“ Waks? Lo mo bikin spaghetti lagi, gak naik kelas banget sih lo, disitu-situ aja, pantes Guruh masih adore banget masakan nyokapnya..” nitya mengejekku saat aku curhat lewat telepon

“ Aaaargh rese banget loo, gue lagi sensi nih, emang segitu pentingnya ya punya istri yang bisa masak? Lagian sepinter-pinternya gue masak tetep aja gak bakalan bisa nyaingin masakannya Bunda, she will always be the best chef ever..” kataku merajuk.

“ Duuh gitu aja ngambek, apa sih yang lo pikirin? Lo tuh beruntung banget punya mertua kaya Bunda Alya, baik banget orangnya, gak pernah marah sama menantu, gak pernah sok ikut campur, gak suka ngomentarin ini itu, jago masak lagi. Emang gue, punya mertua rese…” kata nitya lagi.

“Lhah kok elu jadi curcol sih? Walopun mertua lo rese, laki lo kan gak pernah banding-bandingin elu sama nyokapnya…” ujarku lagi. gini nih penyakit perempuan suka membanding-bandingin,dan justru seneng kalo merasa paling menderita, hahaha.

“hehehe, mumpung lo telpon bo, keceplosan curcol akhirnya..eniwe, selama ini kan elo nyante-nyante aja walopun lo gak suka masak. Guruh juga gak complain kan? Lagian kalo Guruh bikin status FB itu, I think, it doesn’t mean anything, gak berarti dia minta lo masak kaya nyokapnya. Dia cuma bilang, nyokapnya jago masak, that’s it. “

“tapi dua hari weekend kemarin tuh tiap saat dia muji-muji masakan nyokapnya mulu,dan dia lahap banget makannya, kaya orang kalap. Terus waktu dia bikin status fb itu, gue jadi makin teriritasi, apa iya penting banget kalo gue bisa masak?” uangkap ku lagi

“Halah ampun deh FB itu gara-gara status bisa bikin salah paham suami istri. Emang bener tuh kalo diharamin, gue dukung deh! Bok, tiap orang kan punya kelebihan dan hobi, hobi dan kelebihan lo adalah bikin accessories, dan gak semua orang bisa sekretif elo, and you make a lot of money from it.terus elo juga jagonya beberes, apartemen lo selalu rapih. Cuma elo gak hobi masak, itu aja. Gue yakin lo sebenarnya bisa, tapi kalo emang gak enjoy di dapur ngapain maksa. Kalo Guruh keliatannya lahap banget makannya ya wajar lah, kan jarang makan masakan rumahan, lo juga lahap kan makannya. Emang Bunda Alya jagonya…ya kan?” cerosos Nitya panjang lebar

“mungkin…” kataku tidak yakin.

“eh, aku tadi coba bikin ayam goreng asam manis…kayanya gampang, abis cuma ayam digoreng trus ditumis sama sausnya. Tapi bok, gila perjuangan banget goreng ayamnya. Sumpah gue kapok goreng ayam lagi, kaya gunung mau meletus..” lanjutku lagi.

“Hahaha bo, elu kan paling anti penggorengan, kebayang gue lo pasti make masker,malah klo ada helm lo pake helm deh buat ngegoreng” kata Nitya lagi

“hehehe tau aja lo…Nit, laki gue telpon nih, I’ll catch you later oke hun? Thanks a lot ya bok. Apalah gue ini tanpa elo, hehhee, muaaah”

“iyeeee…oke bye say..”

“yes honey..” jawabku begitu menyambar telepon.

“sayang, aku punya order besar buat kamu, Mbak Fibri punya klien yang suka banget mengoleksi kalung dan gelang etnik, pas dia lihat Mbak Fibri pake Kalung buatan kamu, dan nunjukin website kamu, dia langsung jatuh cinta, dan mau pesen banyak sekaligus. Dia minta kamu buat hubungi dia. Kata Mbak Fibri, dia juga punya koneksi ibu-ibu pejabat yang doyan banget sama kalung batu-batuan kaya yang kamu bikin.”

“Aaaaah…yang bener? senangnya…makasih ya hun, bilang makasih banyak juga buat Mbak Fibri…oke berapa nomernya?”

“aku sms in aja deh ya nomernya..udah ya, aku mau miting. Luv u”

“oke, luv u to”

Suddenly aku merasa happy lagi. Yep, I’m a jewelry artist, sebenarnya udah dari smp aku bikin-bikin accessories, kalung gelang, dan yang awalnya cuma untuk dikasih teman-teman, akhirnya jadi bisnis beneran. Tapi begitu sma, aku tergila-gila sama majalah, terutama fashion magazine, aku tertarik untuk melay out majalah, mendesign, dan fotografi. Akhirnya aku putuskan untuk masuk kuliah design grafis. Sempat satu tahun kerja di majalah fashion terkemuka, aku keluar. Karena tersiksa sama tekanannya. Apalagi kalo disuruh mendesign hal-hal yang berurusan sama iklan, bolak balik revisi tuh klien, dikiranya bikin design gampang apa? Apalagi kalo AE (advertising executive) nya iya-iya doang ama kliennya. Pengen gue cekek tuh AE. Anehnya disela-sela stress karena kerjaan itu, aku justru bikin accessories untuk menenangkan diri. Sampai akhirnya Mama dan kak Upi, kakakku menyarankan aku untuk lebih memperdalam hobiku. “Daripada Mama liat kamu ngeluh mulu, sering sakit, Mama juga ikutan stress..mending kamu tekuni aja hobi kamu, mama yakin bisa mendatangkan uang..” Dan sebagai support Mama dan Papa mengirimku ke Perancis untuk kursus perhiasan. Dalam perjalanan ke Perancis itulah, aku berkenalan sama Guruh yang mendapat beasiswa arsitektur di Perancis. Aku cuma setahun di Perancis, sementara Guruh dua tahun. Begitu dia pulang aku langsung dilamar dan enam bulan kemudian kami menikah.

Tit..tit..BB ku bunyi, sms dari Bunda ternyata,

“Dinari sayang, makasih ya satu set perhiasan yang km ksh kemarin bnyk bgt yang muji. Hari ini bunda pke ke Arisan, wah rame deh tmn2 bunda mujinya. Katanya bunda untung bgt punya menantu yg pinter bikin perhiasaan, namanya jg ibu2 paling semangt klo soal perhiasaan. Sebagai barteran nanti bunda suruh pak marno buat anterin cumi saus tiram.”

Aku tersenyum lagi, aaah kayanya gak penting aku bisa masak apa engga… as long as I can make my family happy with who I am…

Sumber gambar : Sxc.hu

Pengirim : Nina. S Subagyo
Blog Widget by LinkWithin