Senin, Maret 23, 2009

Bohemian Wedding Dress & Pesta Potluck

Bosen nggak sih denger cerita lajang melulu dari si Alexa sok asik itu? Gue yakin, pembaca pinginnya baca cerita tentang dunia menikah, bukan dunia lajang,soalnya cerita lajang mah udah banyak --- berkunjung aja ke blog-blog para lajang, pasti ada deh cerita lajang. Hahaha. So, gue -Cecil- baru menikah dua tahun yang lalu, masih sering main dengan para lajang, dan belum punya anak, pingin ikutan eksis di blog lajang dan menikah ini.

Alah, eksis.


Kamana atuh, eksis.

Setahun yang lalu

"Potluck?" gue melotot mendengar kalimat terakhir Yara, temen gue yang berencana akan menikah tahun berikutnya. Dia bilang, ingin 'selametan' pernikahannya diadakan ala potluck; alias masing-masing tamu membawa makanan sendiri untuk kemudian dibagi dengan tamu-tamu lain.
"Iya," ia nyengir,"Seru kan?"

Gue cuma bisa geleng-geleng kepala. Nggak mungkin. Secara yaa, untuk perayaan-perayaan biasa saja, potluck ini sudah nggak wajar. Bahkan untuk arisan RT/RW sekali pun, buat yang rumahnya ketempatan, ya harus mau untuk menyediakan konsumsi --- nah apa lagi untuk pernikahan.

"Terus, gue mau ngundang seratus orang aja. Kalo bisa kurang." lanjutnya.
"Hah? Seratus orang?" tanya gue.
"Yoi, temen-temen deket gue dan laki gue aja. Ngapain gue kasih makan orang yang nggak gue kenal deket." ia nyengir makin lebar.
"Keluarga? Sodara-sodara lo? Temen bokap nyokap?"
"Nggak gue undang. Males. Lha wong nggak deket."
"Jangan bilang lo mau pake jins di hari pernikahan lo."
"Ya enggak laaaaah. Gue mau pake gaun katun putih ala hippies atau bohemian. Rambut digerai dan kasih bunga daisy putih doang."
"Lo sinting. Pasti ga terlaksana deh niat lo."
"Kenapa enggak?"
"Pasti bokap nyokap kalian nggak setuju. keluarga apa lagi..."

Ia menghela nafas, lalu menatap ke jalanan melalui jendela cafe kuno ini. Gue keinget dengan pernikahan gue, setahun sebelum hari ini. Pesta besar. Seribu orang. Di sebuah gedung cukup besar. Gue pake kebaya modern rancangan perancang kebaya terkenal yang rasanya tidak nyaman bersentuhan di kulit, dengan longtorso yang membuat lingkar pinggang gue berkurang puluhan senti (ini berlebihan tentunya), sanggul modern dengan sasak tinggi, make up setebal dosa, hak sepatu yang bikin kram, lalu dipajang di pelaminan, disuruh tersenyum pada semua tamu yang nggak semuanya gue kenal. Dan oh ya, jangan lupa, itu baru pesta pernikahannya, belum upacara-upacara adat injak-injakan, siram-siraman, gendong-gendongan, banting-bantingan di hari-hari sebelumnya. Dan, ohya, belum juga acara ngunduh mantu. Wadoooh!

BTW, ini pemikiran ga penting : download diterjemahkan dalam bahasa Indonesia mengunduh. Kalau ngunduh mantu, berarti mendownload mantu dong? :D

"Gue nggak mau pesta gede-gedean, ribet-ribetan kayak pesta lo, Sil." katanya.

Gue cuma mencibir.

"Asli ga mau. Bener-bener buang-buang duit. Padahal duit sebanyak itu bisa dipake pasangan yang baru nikah buat memulai hidupnya. Beli-beli perlengkapan rumah,kek. Apa kek." ia balas mencibir.
"Iya sih." gue menghela nafas. Memang benar, kalau dipikir-pikir, seandainya pesta pernikahan gue nggak sebesar itu, pasti gue udah memiliki satu mobil minivan baru.
"Lo kok mau sih?"
"Siapa bilang gue mau?"

Iya, siapa bilang gue dan Chris, laki gue, yang mau? Kalau menuruti kemauan kami, ya kami ingin agar pernikahan kami sederhana dan menyenangkan. Di mana gue memakai gaun yang biarpun cantik, tapi tidak menyiksa. Bisa berkeliling ngobrol dan cekikikan dengan teman-teman.

"Oh, bukan elo yang mau ya? Gue pikir lo semacam cewek yang berada di bawah pengaruh cerita puteri-puterinya Walt Disney. Yang kalau nikah, pingin besar-besaran, mewah-mewahan menjadi puteri sehari."
"Bukan. Bukan gue yang mau. Orangtua."
"Hah! Yang nikah orangtua lo?" Yara berseru sinis,"Gue sih nggak mau diatur-atur kayak gitu."
"Iya deeeeh, yang pemberontak."

...

Setahun kemudian, hari ini.
Setelah menandatangani buku tamu, gue dan Chris memasuki ruang pertemuan yang terdapat di salah satu hotel bintang lima di Jakarta. Di situlah tempat Yara dan Ardho mengadakan resepsi nikah.

Gue memicingkan mata, mencoba mengira-ngira, ada berapa banyak tamu di sana. Seratus? Jelas lebih. Jauuuuuh di atas seratus. Makanan berlimpah, meja prasmanan di tengah ruangan, food stalls bertebaran di sana sini. Oh jangan lupa, ice sculpture berbentuk cupid dan berinisial Y&A.

"Salaman dulu aja yuk, Mas, sama pengantin." usul gue pada Chris,"Mumpung belum banyak antriannya."

Chris setuju. Maka mengantrilah kami, untuk mengucapkan selamat pada pengantin.

Saya mengamati gaun yang dipakai oleh Yara. Pakaian adat Solo basahan nan ribet.

Ketika sampai giliran gue dan Chris mengucapkan selamat, tiba-tiba Yara berkata,"Please don't ask why."
"Yey, orang gue nggak mau ngebahas ini sekarang..." balas gue sambil menahan geli,"Selamat yaaaa..."
"Thanks."
"Dan gue pingin lo cerita, ntar, ke mana baju pengantin bohemian dan pesta potluck seratus orang itu."

Si Cantik ini menjulingkan mata.

Gue dan Chris berlalu, karena masih banyak orang yang hendak mengucapkan selamat pada Yara dan Ardho.

Ya, apa kabar dengan Bohemian Wedding Dress dan Pesta Potluck itu?

Ke laut tentunyaaa

:))
_________________________________________________________________

.update.

Eh, eh, ikutan ngobrol yuk, soal pernikahan impian temen-temen lajang dan menikah. Maksudnya bukan kehidupan pernikahan ya, bo. Gue percaya, kalo soal kehidupan pernikahan, maunya pernikahan sih, ala credit titlenya film disney's : happily ever after. Yang mau dibahas di sini, ya itu, gimana gambaran kalian tentang resepsi pernikahan, gaun pernikahan etc, etc.

Buat yang masih single, ceritain dong...

dan buat yang udah dobel, ceritain juga pesta pernikahan impian, dan ternyata oh ternyata, pada kenyataan bentuknya gimana?

Please share di sini, ya : http://www.facebook.com/topic.php?uid=46044229403&topic=7332

Thanks

luv,
Cecil




sumber gambar: sxc.hu

Senin, Maret 16, 2009

Single (Not) Happy?

Eh, Adisti berkunjung lhooo. .

Jadi saya pun 'terpaksa' mengabaikan Marco selama seminggu. (Maaf tjintah!). Saya dan Adisti menghabiskan waktu hampir 24 jam dalam sehari. Iya lah, dia kan nginep di tempat kost saya. Kami bersenang-senang, Adisti yang biasanya suka mengeluh capek atau jenuh atau apalah, kali ini cuma mengeluhkan satu hal : 'Please stop singing that song!'

Lagu apa?

Single Happy-nya Oppie Andaresta.

Berhubung single 'Single Happy'-nya Oppie Andaresta ini sering banget diputar di radio-radio, lama kelamaan ni lagu jadi earworrm, terngiang-ngiang terus di telinga --- membikin saya menyenandungkan lagu ini terus menerus. Padahal sebenarnya saya tuh nggak pernah dengan sengaja ngomong 'I am single and happy',lho. Nggak suka malah sama istilah itu. Kenapa? Soalnya, Saya pribadi menganggap nggak ada hubungannya antara kelajangan (atau menikah) dengan kebahagiaan. Kebahagiaan itu state of mind kok. Jadi, mau lajang atau menikah, ya orang bisa bahagia atau nggak bahagia.

Duh, gara-gara keseringan diputar niiih, jadi gini. Dan, sebagai orang yang sering dikatain 'Daripada nyanyi, mending lo ngepel deh.', maka kebiasaan saya menyenandungkan 'Single Happy' ini mendorong Adisti untuk melancarkan protes (Tapi tidak sekeras satu tahun lalu, saat saya berulang-ulang menyenandungkan lagu 'Madu dan Racun' setelah mendengar pengamen di salah satu warung tempat makan. Adisti sampai bilang "AARRGH! CUKUUP!")

"Lu nyanyi lagu itu diulang-ulang secuplik gitu lama-lama bikin tekanan batin deh,"omelnya Lalu dia lanjut nyeletuk,"Tu lagu liriknya terdengar denial sekali ya.".

Jujur-jujuran aja, setelah membaca keseluruhan lirik, saya merasa bahwa lagu itu memang berkesan antara denial dan menghibur diri. Haha.

Anywaaaay... hal ini yang ujung-ujungnya membuat kami ngobrol cukup lama dan 'mengarang' dua hipotesa iseng-isengan.

Hipotesa#1 : kebanyakan ketika orang mendengar seorang lajang berkata 'I am single and happy' maka, mereka akan menganggap itu state of denial.

Hipotesa#2 : Kebanyakan seorang lajang, bilang 'I am single and happy' agar orang-orang nggak bawel.

Dengan semangat kami membuat semacam polling.

Dan ini hasilnya, dua-duanya benar. Betapa cerdasnya saya dan Adisti. *eits, ga kena.*

Untuk hasil polling pertama, kebanyakan orang memang menganggap, ketika orang mendengar para lajang berkata 'I am single and happy', maka dianggap bahwa para lajang ini sedang berada dalam keadaan denial (pura-pura happy padahal enggak)

Kenapa eh kenapa?

Dalam sesi obrol mengobrol ngebahas ini, kami ngerasa memang ada semacam kekompakan yang menuduh bahwa 'Single itu pasti nggak bahagia'. Orang-orang menganggap bahwa 'yang normal' atau 'yang sehat' adalah orang yang menikah. Kelajangan itu dianggap sebagai kondisi abnormal atau sakit. Nah orang yang abnormal atau sakit kan nggak bahagia. Betul begitu, yang ada dalam pikiran Bapak-bapak serta Ibu-ibu sekalian?

Begitu melihat ada lajang yang berkeliaran, maka mereka bakal ribut, mempertanyakan 'keanehan' si lajang, menanyakan alasan si lajang bertahan dalam keanehan bahkan ada yang buru-buru ingin membantu 'menyembuhkan' penyakit lajang ini. Liat aja di bait pertama Single Happy-nya Oppie.

Mereka bilang aku pemilih dan kesepian
Terlalu keras menjalani hidup
Beribu nasehat dan petuah yang diberikan
Berharap hidupku bahagia

Lalu ada lagi:

Mereka bilang sudah saatnya karena usia
Untuk mencari sang kekasih hati

Pokoknya si lajang, nggak boleh 'menderita' sakit lajang lama-lama. Harus sembuh, cari pasangan, nikah, supaya bahagia.

Nah, sebenarnya, si lajang ini bahagia nggak sih?

Yaaaaa, bisa bahagia, bisa nggak. Kan seperti yang sudah saya sebutkan di atas, bahagia itu state of mind, jadi semuanya dikembalikan pada masing-masing lajang *tsah, kapan minjemnya?*

Lalu, kenapa polling ke-dua hasilnya : para lajang bilang bahwa seringnya mereka mengatakan 'I am single and happy' itu juga untuk membuat orang-orang di sekeliling para lajang nggak reseh soal status mereka?

Berarti emang seorang lajang nggak hepi dong?

Eits, nggak gitu juga...

Mungkin tepatnya bukan nggak hepi. Tapi gerah.

Beberapa lajang yang pernah saya tanyain dan sekaligus saya sendiri (tapi nggak tau tuh yang lain), tidak menganggap bahwa yang jadi masalah adalah kelajangan/kejombloan mereka, mereka justru pusing dengan 'kehebohan' orang-orang sekitar. Dan bagi saya, wajar saja, sih. Siapa juga yang tahan diperlakukan sedemikian rupa sampai titik di mana kau merasa bahwa kau beneran 'abnormal' atau sakit. Dan nggak aneh juga kalau timbul sikap defensif (atau mungkin terbaca bagai denial) atau sikap-sikap lain, demi untuk membungkam kerewelan orang di sekitar. Mengatakan bahwa para lajang ini baik-baik saja, tidak seperti yang diduga semua orang (padahal dalam hati sebel karena kerewelan orang sekitar)

Ada yang menanggapinya dengan nyolot. Tapi saran saya sih, jangan buang energi, mending cengengesan aja. Hehe.

Contohnya terwakili oleh lirik 'Single Happy' yang ini:

Aku baik-baik saja
Menikmati hidup yang aku punya
Hidupku sangat sempurna
I’m single and very happy

Mengejar mimpi-mimpi indah
Bebas lakukan yang aku suka
Berteman dengan siapa saja
I’m single and very happy.

kemudian

Tapi ku yakin akan datang pasangan jiwaku (ini saya agak nggak setuju, saya masih percaya ada orang yang ditakdirkan untuk selibat dan ada yang memilih juga untuk melajang)
Pada waktu dan cara yang indah

lalu

Waktu terus berjalan
Tak bisa kuhentikan
Kuinginkan yang terbaik untukku

Giiicu...

update.
Barusan ngobrol-ngobrol dengan Marco soal tulisan ini (ihiw, ternyata dia baca aja gitu blog indang) dan saya suka dengan satu kalimatnya : Kalau misalnya lo beneran happy, lo nggak bakal berusaha untuk meyakinkan orang-orang bahwa lo happy.


Anyway, kalau diperhati-perhatiin terjadi miskomunikasi nih antara lajang dan masyarakat.

Masyarakat menganggap para lajang menderita karena kelajangannya, sehingga harus dibantu. Sedangkan para lajang, merasa bahwa orang-orang di sekitarnya terlalu menekan sehingga mereka berusaha untuk bertahan. Makanya banyak lajang yang sebel-sebel dan curhat melalui blog, atau nunjukin bahwa mereka baik-baik aja.

Nah bentuk usaha bertahan, terutama yang nyolot, kemudian disimpulkan sebagai pembenaran anggapan bahwa lajang memang menderita karena tidak punya pasangan.

Jadi gituuuu aja terus, muter-muter.

Udah ah!
Ayo sana, (pura-pura) kerja lagi sampai waktunya pulang!
Selamat hari Senin!

Minggu, Maret 08, 2009

Menurut Anda : Single Happy.



Gara-gara liat videoklipnya single happy (Oppie Andaresta) jadi kepikir ini dan pengen nanya...

Apa kesan kalian kalau mendengar seorang lajang bilang 'Single But Happy' dan 'Single By Choice' ?

(a) They are really happy.
(b) They pretend to be happy, mencoba menunjukkan pada dunia bahwa mereka baik-baik saja biarpun single.
(c) lainnya, jelaskan.

Dan kalo misalnya kalian single, dan pernah bilang 'I am single but happy', sebenarnya:

(a) you are really happy.
(b) you just want to show to those who keep questioning your singleness that you ARE okay.
(c)others, jelaskan...

please give us your opinion... :)

THANK YOU!

UPDATE
LAH? Sekarang kok bisa diedit? Blogger aneh ih. Kemarin tombol edit-nya lenyap. So, di sini yang dipermasalahkan bukan 'saya single, dan saya happy.', yaaa, tapi ketika seorang lajang bilang 'Saya single dan saya happy', apa dia benar-benar merasa demikian atau enggak (atau justru jawaban itu cuma buat menunjukkan bahwa mereka baik2 aja, jadi lo -para mahluk yang suka rese maksudnya- diem aja deh.)

Dan buat para single, ketika kalian bilang 'saya single dan saya happy', apa di saat itu kalian ngerasa seperti itu? Atau justru jawaban itu untuk bikin orang yang reseh diem?

Anyway, kalo nggak mau komen, ini ada pollingnya



ARRGH! Seperti biasa, dari iseng, jadi serius dipikirin... :))

Rabu, Maret 04, 2009

Lupa Nama.

Bloon deh, dulu nih, waktu saya kecil, saya pernah mikir, seseorang itu berjodoh dan diizinkan menikah kalau punya nama yang sama.

Seperti orangtua teman-teman saya. Bapak Mujahid, beristrikan Ibu Mujahid. Bapak Nainggolan, istrinya Ibu Nainggolan. Bapak Wijaya, istrinya Ibu Wijaya.

Atau setidaknya memiliki unsur nama yang sama. Nama ibu saya, yang sering saya dengar kalau ada acara pertemuan orangtua murid di sekolah : Gayatri Manengkey. Dan Bapak saya, walaupun namanya bukan Gayatri Manengkey juga, melainkah Johan Manengkey, tapi tetap ada kan nama Manengkey di belakang namanya.

Saya baru sadar, kalau ternyata nama lengkap Ibu saya tuh : Gayatri Handayani, di kelas empat SD, waktu beliau membongkar-bongkar dokumen penting macam ijazah dan seterusnya untuk keperluan entah apa.

"Mamah namanya Gayatri Handayani, kok jadi Gayatri Manengkey sih?" saya masih ingat betul saya bertanya dengan penuh kebingungan.
"Karena, Mamah menikah dengan Papah, Lex. Jadi harus pakai nama Papah." jawab Ibu saya.
"Kenapa? Kenapa nggak Papah aja pake nama Mamah, jadi Johan Handayani."
"Memang begitu aturannya..."

Aturan yang aneh.

Dan saya pun menyebarkan wacana ini pada teman-teman saya. Dan mereka berhasil saya bujuk untuk menjadi detektif yang menyelidiki nama asli ibu mereka masing-masing.

Ternyata, nama ibu Mujahid adalah Erlinawati. Ibu Nainggolan bernama Tiurma Christina. Ibu Wijaya bernama Silvie Yo.

Hm. Sayang amat ya, ibu-ibu itu, udah susah-susah dikasih nama oleh orangtua masing-masing, eh namanya dihilangkan.

....

"Yaaa, gue sih pinginnya tetep pake nama gue sampe kapan pun" cetus Anna, kawan sekantor saya saat saya menceritakan kisah 'penemuan nama ibu' jaman SD dulu,"Tapi ya, begitu gue nikah sama Donnie, semua orang mendadak latah memanggil 'Ibu Donnie, ibu Donnie."

Saya cuma nyengir. Kami - saya, Anna dan Abel, putrinya yang berumur 4 tahun ---sedang berada di sebuah resto cepat saji. Anna berbaik hati menemani saya berbelanja keperluan rumah tangga untuk tempat kost baru saya di weekend kemarin. Sekalian mengajak jalan-jalan Abel.

"Sampe sekarang gue masih bertanya-tanya, aturan dari mana, istri kudu pake nama suami setelah nikah? Nggak adil banget, kan? Yang ilang nama kita." saya berseloroh.
"Harusnya, suami pake nama istri ya?" balas Anna.
"Ya enggak juga, nggak adil, nama suami ilang. Pake nama sendiri-sendiri aja, biar fair..."
Anna terkekeh,"Nggak tau lah, Lex. Dari sononya udah gitu."

"Mama, Abel mau main..." cetus Abel sambil menunjuk kolam bola yang terdapat di restoran ini, tidak jauh dari tempat kami duduk.
"Ya udah, sana. Tapi ati-ati. Mama sama tante Alex nungguin di sini."

Dan bocah kecil nan tampan dan berambut curly tersebut pun menyerbu kolam bola dan bergabung dengan keriangan anak-anak lainnya.

Lalu kami membahas hal lain. Tentang Nisya dan pacar brondong barunya. Pak Gunawan. Dan beberapa teman kantor lainnya. Namun, lima belas menit kemudian...

"MAMAAAAA!"

Tiba-tiba terdengar lengkingan Abel. Saya menoleh.

"Nna, Abel tuh, kenapa? Liat sana, gue nungguin meja." seru saya.
"Ya ampun. Jatuh jangan-jangan." Anna bangkit dari kursinya dan, sepertinya memang Abel jatuh. Anna terlihat sibuk membujuknya dan membawanya kembali ke meja kami.

"Udah ah, cuma benjol dikit, jangan nangis. Cup.Cup.Cup." Anna duduk sambil berusaha membujuk Abel yang menangis tersedu-sedu di pangkuannya. Kepalanya benjol. Saya hanya memerhatikan ibu-anak ini dalam diam.

Tak berapa lama, seorang perempuan masuk ke dalam restoran cepat saji, bersama seorang anak perempuan mungil.

"Eh, Mama Abel..." sapa perempuan tersebut, ketika melihat Anna dan Abel.
"Eh, Bunda Amanda... apa kabarrr?" balas Anna.

Lalu mereka pun mengobrol sejenak. Anna memperkenalkan perempuan tersebut pada saya.

"Bundanya Amanda." katanya sambil menjabat tangan saya.
"Alexa." jawab saya.

Lalu setelah berbasa-basi, perempuan bernama Bundanya Amanda itu pun berlalu.

"Eh, gue lupa bilang ya? kalo cewek, udah nikah, namanya ilang, ikut suami. Nah, kalo udah punya anak, namanya tambah ilang, ikut nama anak, ditambahin kata Mama atau Bunda." kata Anna sambil nyengir.

"Lama-lama lo lupa nama asli lo, Nna." ledek saya.
"Sekarang sih enggak, lha di kantor kan masih dipanggil Anna gitu kok. Tapi dulu gue sempet lupa, waktu masa hamil dan pasca kelahiran Abel, gue kan ga kerja gitu, bergaulnya sama ibu-ibu kompleks, yang kenal gue setelah nikah dengan Donnie dan setelah hamil. Jadi mereka selalu manggil dengan Ibu Donnie dan setelah Abel lahir, jadi Mama Abel ."
"Ih becanda lo?"
"Serius! Waktu lagi jalan-jalan bareng misua dan Abel, gue ketemu temen SMA dan manggil gue 'Anna! Anna!', eh bo, gue nggak noleh dong, soalnya kebiasaan dipanggil Ibu Donnie atau mama Abel."

Saya pun terkekeh mendengar ceritanya.
Blog Widget by LinkWithin